Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pilih Mana, Kenaikan BBM atau Penguatan Rupiah?

Ongkos produksi rata-rata BBM dari Pertamina mencapai Rp 2.000 per liter, dan harga pasar Rp 3.500 seliter. Harga BBM terpaksa terus dinaikkan, kecuali pemerintah mampu mengatrol nilai rupiah.

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENAKSIR harga BBM sebenarnya gampang-gampang susah. Gampang, bila kita mengacu ke harga BBM di Singapura, yang kira-kira Rp 3.500 per liter. Atau bisa juga mengacu ke Amerika Serikat, yang harga bensinnya berfluktuasi sekitar US$ 2 per galon. Bertolak dari berat segalon yang setara dengan 4,54 liter, berarti di AS rata-rata harga 1 liter bensin berkisar Rp 4.700 (US$ 1 = Rp 11 ribu). Memang, harga bensin di AS berubah-ubah, antara lain karena pengaruh harga di pasar internasional. Kini US$ 2 per galon, setahun lalu cuma sekitar US$ 1,6 per galon. Kendati harga BBM di Indonesia jauh lebih murah (harga premium Rp 1.450 per liter), kenaikan 30 persen yang ditetapkan pekan lalu tetap saja memberatkan masyarakat. Padahal, dalam penetapan harga BBM, peran pemerintah sangat menentukan--melalui subsidi yang dikucurkan. Begitu pula dalam kalkulasi harga, Departemen Pertambangan harus berkonsultasi dengan Pertamina. Barulah setelah itu pemerintah membahasnya dengan DPR. Di tengah kemelut kenaikan harga BBM yang memancing aksi-aksi protes di berbagai daerah, timbul pertanyaan apakah kenaikan harga BBM 30 persen itu pantas. Harga BBM di Singapura ataupun AS memang bisa jadi acuan, tapi juga penting untuk mengetahui berapa ongkos produksi per liter BBM yang dihasilkan di sini. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2001 mengasumsikan biaya produksi BBM Pertamina Rp 1.700 per liter pada kurs Rp 9.600 per dolar AS. Ternyata, perkiraan ini meleset karena kurs rupiah bertengger pada Rp 11 ribu per dolar AS sejak Mei lalu. Akibatnya, biaya produksi BBM per liter makin tinggi. Selain itu, harga minyak mentah dunia naik menjadi US$ 27,5 per barel. Jelas, kenaikan ini ikut mempertinggi biaya produksi. Seperti diketahui, hampir 80 persen komponen biaya produksi dihabiskan untuk membeli minyak mentah. Dengan nilai kurs Rp 11 ribu per dolar dan harga minyak mentah US$ 27,5 per barel, biaya pokok BBM, menurut pengamat perminyakan Kurtubi, adalah Rp 2.000 per liter. Ini berarti harga jualnya tentu harus lebih tinggi dari Rp 2.000, walaupun tidak usah mencapai Rp 3.500 (seperti di Singapura) atau Rp 4.700 (AS). Bahwa harga BBM Indonesia masih lebih murah dari bensin Singapura, itu tak lain karena ada subsidi, juga karena Indonesia sendiri masih memproduksi minyak. Masalahnya, tidak saja kenaikan harga BBM sudah dianggap terlalu tinggi, tapi subsidi BBM dalam APBN 2001, yang Rp 41,3 triliun, kini juga terpaksa digelembungkan. Soalnya, semester I tahun 2001 saja sudah tersedot Rp 35,17 triliun. Jadi, baiklah kita hitung angka sisa anggaran untuk subsidi, yang didapat dari pengurangan biaya pokok Pertamina dengan hasil penjualan BBM. Menurut data Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Anshari Ritonga, jumlah selisih rata-rata yang didapat empat bulan pertama tahun ini saja Rp 6,638 triliun. Ini berarti sebesar itu pula subsidi BBM yang harus ditanggung anggaran negara setiap bulannya. Kalau DPR bersikukuh dengan subsidi Rp 41,3 triliun, berarti dalam enam bulan ke depan cuma tersedia anggaran subsidi Rp 6 triliun (Rp 1 triliun per bulan). Pemerintah lantas merevisi angka subsidi BBM menjadi Rp 66,8 triliun, tapi ditolak DPR. Akhirnya, didapatlah angka Rp 53,4 triliun sebagai nilai subsidi tahun ini. Artinya masih ada anggaran sekitar Rp 18,53 triliun (selama enam bulan) atau sekitar Rp 3 triliun per bulan yang harus ditombok. Dan Pertamina lagi-lagi harus mengetatkan pengeluaran karena ongkos produksinya berkurang hingga 50 persen. Mungkin karena itu pula, Kurtubi berpendapat bahwa sudah saatnya rakyat Indonesia rela membayar BBM seharga Rp 2.000 per liter. Harga itu didapat dari ongkos Pertamina memproduksi BBM. Pada tingkat harga itu, Pertamina belum mendapat untung sama sekali. Jalan keluar lain adalah, pemerintah harus bisa menekan kurs rupiah di bawah Rp 10 ribu per dolar. Saat kurs mencapai Rp 9.600 per dolar, biaya produksi BBM akan turun menjadi Rp 1.700-an per liter. Makin rendah kurs dolar AS, makin baik. Seperti disebutkan pada awal tulisan ini, harga seliter BBM di Singapura rata-rata Rp 3.500 per liter. Di pasar minyak, harga ini dikenal sebagai untaxed retail pump price (harga sebelum dipotong pajak pompa bensin). Asalkan kualitasnya sama, di seluruh dunia harga BBM seharusnya sama dan cuma berbeda pada biaya angkutannya. Harga inilah yang dipakai sebagai patokan bagi pemain asing untuk masuk ke pasar BBM atau tidak. Yang juga membedakan harga BBM di berbagai negara di dunia adalah pajaknya. Di Inggris dan Belanda, 80 persen dari struktur harga BBM didominasi oleh komponen pajak, sedangkan di AS 35 persen. Berdasarkan hitungan ini, pekan lalu didapat harga bensin tanpa timbel (unladded gasoline) oktan 87 sekitar US$ 0,84 (Rp 5.000-6.000) per liter. Jadi, menekan harga BBM lebih rendah sungguh mustahil, kecuali jika kurs rupiah bisa tiba-tiba menguat. Siapa tahu?! IG.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus