PERKIRAAN Menteri Keuangan Rizal Ramli ternyata benar, kendati tidak seluruhnya. Gara-gara kenaikan 30 persen harga bahan bakar minyak (BBM), masyarakat berunjuk rasa di banyak tempat. Aksi mogok angkutan relatif terkendali, tidak rusuh dan mengancam keberadaan pemerintah yang sah seperti yang dikhawatirkan Rizal.
Sepanjang Sabtu-Selasa pekan lalu, ribuan pengemudi angkutan umum mogok di hampir semua kota besar di Indonesia. Puluhan juta penumpang telantar berjam-jam. Gara-gara aksi tersebut, pelaksanaan evaluasi belajar tahap akhir sekolah menengah pertama di Bandung sebagian ditunda. Begitu pula ujian semesteran di Universitas Tadulako, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Jakarta dan Makassar bahkan sempat dilanda demo mahasiswa yang cenderung eksplosif. Protes kenaikan BBM itu diwarnai bentrokan dengan polisi. "Benturan keras" terjadi di kawasan Salemba, Ciputat, Cawang, dan Pulomas. Puluhan provokator ditangkap polisi di Jakarta dan Bandung. Kedua kota ini juga memberlakukan siaga I dan perintah tembak di tempat bagi perusuh.
Kenaikan harga BBM memang tidak sekadar disambut dengan keluh-kesah dan sumpah-serapah. Seiring dengan kenaikan itu, pemerintah akan memberikan subsidi untuk angkutan umum sebesar Rp 216,4 miliar. Namun, keputusan itu tak diikuti penjelasan yang rinci dan transparan. Akibatnya, ke-bingungan berkecamuk di kalbu para sopir dan pengusaha angkutan umum. Dan akhirnya mereka memilih menaikkan tarif.
"Kita tak pernah di-briefing oleh pemerintah mengenai hal itu. Kalau sudah jelas, ya, nanti kita bicara lagi soal tarif yang sudah kadung naik," kata Busaeri Mustafa, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Timur. Lagi pula subsidi kabarnya baru mulai turun pada Juli, sehingga tak jelas siapa yang menalangi lonjakan biaya operasional dalam dua pekan ini.
Kenaikan tarif terjadi di Bandung (20-25 persen), Surabaya (20 persen), dan Makassar (20-40 persen). Gubernur Jawa Barat, H.R. Nuriana, terpaksa menaikkan tarif karena pemogokan sempat melumpuhkan Bandung. Di Jakarta, cuma tarif mikrolet yang naik 16,67 persen menjadi Rp 1.400. Bus-bus kota yang menjalani berbagai rute di Ibu Kota juga tangkas menaikkan tarif. Metromini S-62, yang menghubungkan Pasarminggu-Manggarai, dan T-49 (Manggarai-Pulogadung), menaikkan tarif dari Rp 700 menjadi Rp 800. Bus yang lain seperti Kopaja, Mayasari Bhakti, dan Steady Safe juga menaikkan tarif antara Rp 100 dan Rp 300.
Kesimpangsiuran terjadi karena pemerintah tidak menyebutkan bentuk dan mekanisme penyaluran subsidi itu. Baru belakangan diuraikan bahwa subsidi sebesar Rp 216,4 miliar dibagikan kepada pengusaha bus sedang, bus besar, angkutan penyeberangan Ujung-Kamal (Jawa Timur), angkutan kereta api ekonomi termasuk kereta api Jabotabek, dan pengadaan bus baru untuk Damri dan PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta).
Subsidi itu juga hanya diberikan kepada 20 kota untuk 7.987 bus besar dan 8.747 bus sedang. Dengan demikian, setiap bus besar akan mendapat subsidi Rp 5,6 juta dalam enam bulan, sedangkan bus sedang Rp 3,7 juta. Sementara itu, untuk pengadaan bus baru disediakan Rp 99 miliar.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi, Susmono Soesilo, memang meminta kepada pemerintah daerah?yang telanjur menaikkan tarif?agar merevisinya. Tapi "meralat" keputusan semacam itu tidak mudah. Masalahnya justru muncul dari pemberian subsidi itu sendiri. Apakah targetnya masyarakat, sopir, atau pengusaha angkutan umum, sama sekali tak jelas. Maka, dipertanyakan mengapa cuma 20 kota yang mendapat subsidi. Itu pun cuma pengguna bus. "Kita memang memprioritaskan bus yang punya daya angkut besar," kata Susmono. Kebijakan ini tentu tidak adil bagi penumpang mikrolet, yang harus membayar tarif 20-40 persen lebih besar dari sebelumnya.
Bagi pengemudi angkutan umum, subsidi ini pun tak berarti apa-apa karena subsidi diberikan kepada pemilik kendaraan. Padahal, justru sopirlah yang terkena dampak kenaikan harga BBM karena beban pembelian bahan bakar jadi tanggungan mereka. Walhasil, pengeluaran sopir membengkak, sementara pendapatannya tetap. Budi Aryanto, sopir mikrolet Manggarai-Karet, mengungkapkan bahwa penghasilan yang disetorkan ke istrinya kini cuma Rp 30 ribu. Sedangkan sebelum BBM naik, dia bisa mengantongi Rp 50 ribu. Itu terjadi setelah pengeluaran untuk bensin naik dari sebelumnya Rp 40 ribu per hari menjadi sekitar Rp 50 ribu. Bahkan ketika pengusaha menurunkan setoran, seperti yang dilakukan Koperasi Angkutan Jakarta (Kopaja), sopir masih harus nombok.
Menurut Iskandar Zulkarnain, Ketua I Kopaja, kalau mau menyubsidi pengusaha angkutan, bukan dengan menyubsidi bahan bakar, melainkan suku cadang, yang harganya naik jauh lebih tinggi ketimbang bahan bakar. "Yang diobati gejalanya, bukan penyakitnya," katanya.
Iskandar pun berkisah tentang krisis suku cadang?penyakit yang sudah lama menggerogoti perusahaan angkutan umum. Katanya, pengusaha babak-belur menghadapi lonjakan harga suku cadang. Dibandingkan dengan harga sebelum krisis, kini harga suku cadang naik 300-400 persen. Dia mencontohkan harga ban yang Rp 530 ribu per buah, melonjak dari harga sebelum kenaikan BBM sebesar Rp 460 ribu. Lagi pula, biaya perawatan, termasuk penggantian suku cadang, mencapai 40 persen dari biaya operasional, sementara bahan bakar hanya 4-10 persen. Inilah yang kemudian menciutkan jumlah bus yang bisa beroperasi. Sementara pada 1997 ada 7.500 bus kota yang beroperasi di Jakarta, kini tinggal 4.500 unit. Dan PPD paling parah. Armadanya anjlok dari 2.200 unit menjadi 400 bus. "Logikanya sederhana saja, sementara perusahaan pemerintah saja jebol, apalagi swasta," kata Adjis Rismaya, Direktur Utama Mayasari Bhakti.
Semua itu menjadi lebih parah karena pemberlakuan tarif yang jauh di bawah biaya operasinya. Adjis menjelaskan bahwa hitung-hitungan yang dibuat Organda DKI Jakarta pada Maret lalu jelas menunjukkan hal itu. Biaya operasional bus sedang mencapai Rp 1.160, sementara tarifnya cuma Rp 700. Bus reguler sama saja. Dengan biaya operasi Rp 1.100, tarifnya cuma Rp 500. "Kalau mau jujur, kenaikan tarif yang layak, ya, 150 persen," kata Adjis. Jika seperti sekarang, jumlah armada akan terus berkurang. Dengan harga bus sedang yang baru sekitar Rp 130 juta, pengusaha mesti mencicil sekitar Rp 5,2 juta per bulan. "Padahal, setoran yang kita terima cuma Rp 3 juta," Iskandar mengungkapkan.
Namun, menaikkan tarif sampai 150 persen jelas bukan langkah yang tepat. Dengan kenaikan yang sekarang saja para penumpang kontan "menjerit", apalagi lebih tinggi dari itu. Di tengah suasana suram itu, kabar baik datang dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Luhut Panjaitan. Kamis lalu dia mempermaklumkan bahwa pemerintah akan membebaskan PPN (pajak pertambahan nilai) dan bea masuk untuk angkutan umum. Selain itu, pemerintah juga akan menyubsidi bunga pinjamannya menjadi 14 persen. Jika ini direalisasikan, nilai subsidi untuk bus besar mencapai Rp 20 juta per unit, dan Rp 15 juta untuk bus sedang. Jelaslah, ini kabar bagus buat siapa pun. Paling tidak, tebersit dari sana bahwa masih ada harapan. Namun, janji pemerintah acap kali membawa kecewa karena tak ada realisasinya. Kali ini semoga Menteri Luhut tak lupa akan kata-katanya. Jadi, ingatlah Pak, janji itu utang.
M. Taufiqurohman, Dwi Arjanto, Dewi Rina Cahyani, Tomi Lebang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini