LAPANGAN golf indikator kemakmuran rakyat? Pendapat Menteri Hayono Isman itu mungkin ada benarnya. Setidaknya, indikator kemakmuran rakyat berduit. Bukankah diperlukan biaya tertentu untuk bisa main golf? Jadi, makin banyak lapangan golf, makin makmurlah rakyat. Yang jelas, makin banyak lapangan, logisnya, makin banyak juga pegolf kita. Konon, kini sedikitnya terdapat 200 ribu pegolf aktif. Belum lagi sejumlah pegolf "musiman" serta pekerja asing yang tinggal di Indonesia. Tapi tak jelas, pegolf meningkat dulu jumlahnya, baru muncul lapangan baru, atau lapangan golf dibangun dulu, baru pegolf melenggang masuk lapangan. Entah mana yang benar, yang pasti kini di kawasan Jakarta- Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) tersebar 60 lapangan golf yang sudah dan akan dibangun. Menurut data Persatuan Golf Indonesia (PGI), di Indonesia telah beroperasi 93 lapangan golf, sedangkan 28 lainnya sedang dipersiapkan pembangunannya. Ironisnya, sementara lapangan golf bermunculan, lapangan sepak bola banyak yang berubah menjadi kawasan industri, gedung perkantoran, sekolah, atau apartemen. Jangan-jangan, karena inilah PSSI lebih sering keok daripada menang. Tapi masalahnya memang bisnis. Menurut sementara pengusaha, dengan lapangan golf orang lebih mudah mencetak uang. "Dengan menjual kartu keanggotaan, sudah bisa balik modal," kata Bob Hasan, yang tentu saja bisa main golf. Pendapat raja kayu ini didukung Ciputra, pengusaha yang sampai saat ini telah membangun setengah lusin lapangan golf dan punya catatan bahwa bisnis golf termasuk bisnis yang pengembalian modalnya cukup cepat. Sebuah lapangan golf 18 hole, yang menelan investasi Rp 25 miliarRp 50 miliar (belum termasuk harga tanah), sudah bisa memberikan keuntungan dalam 35 tahun. Padahal, sebuah hotel, dengan investasi sebesar itu, baru impas setelah 510 tahun beroperasi. Yang patut disayangkan, lapangan golf juga menjadi indikator pelanggaran rencana umum tata ruang (RUTR). Dalam catatan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat, di provinsi itu pada tahun 1995 diperkirakan akan berdiri 75 lapangan golf. Sebagian besar lapangan itu terkonsentrasi di daerah yang berbatasan langsung dengan Jakarta, seperti di Kabupaten Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Andai kata separuh saja dari jumlah tersebut berada di empat daerah itu, pukul rata tiap daerah setidaknya punya sembilan lapangan. Itu jelas pelanggaran, bahkan pelanggaran besar. Menurut sebuah sumber di Pemda Jawa Barat, setiap daerah tingkat II hanya diizinkan memiliki dua lapangan golf. Tapi, seperti umumnya dalam banyak hal, peraturan adalah peraturan, sedangkan kenyataan di lapangan boleh lain. Pemda Jawa Barat sampai saat ini masih dibanjiri puluhan proposal yang meminta lahan di daerah Bogor untuk kompleks agrowisata, lengkap dengan lapangan golfnya. "Biasanya, kalau bupati sudah merekomendasi, izin dari gubernur pasti keluar. Tak begitu sulit," kata sebuah sumber di Pemda Jawa Barat. Info yang asal-asalan menyebut jumlah? Ternyata tidak. Gubernur Jawa Barat R. Nuriana membenarkannya. Bahkan, ia mendorong agar yang sudah mendapat izin lokasi segera memulai pembangunannya. Memang, ia hanya ingin memberi kepastian bagi pengusaha yang telah memperoleh izin semasa Gubernur Yogie S. Memet (kini Menteri Dalam Negeri). Tapi R. Nuriana lalu tunduk begitu saja kepada pengusaha lapangan golf? Tidak. Gubernur itu hanya akan memberi izin baru bagi pembangunan lapangan golf di daerah selatan Jawa Barat. "Termasuk izin PT Agrowisata Nusantara tidak pernah saya berikan," katanya. Seperti diketahui, perusahaan itu merencanakan menggelar lokasi agrowisata plus lapangan golf di kawasan Puncak, Bogor. Tapi, belum sampai dibangun, proyeknya keburu diprotes banyak pihak dan akhirnya terhenti. Terlepas dari kebijaksanaan baru R. Nuriana, di Jakarta, rupanya, pembangunan lapangan golf terus berlangsung. Padahal, seperti yang dikatakan Ketua Persatuan Golf Indonesia, Sudomo, untuk menampung peningkatan pemain golf yang 7%, Indonesia hanya memerlukan tambahan satu lapangan golf setiap tahun. Kenyataannya, di Jakarta saja pada tahun 1993 berdiri satu lapangan golf lagi. Dan menurut rencana, empat lapangan lagi akan siap dipakai memasukkan bola ke liangnya pada tahun 1994, dan tiga lagi pada 1995. Dengan jumlah lapangan yang telah ada saat ini, yakni tujuh buah, pada 1995 nanti di Jakarta akan berdiri 15 lapangan golf. Katakanlah setiap lapangan golf memerlukan lahan 400 hektare. Berarti, diperlukan lahan 6.000 hektare, atau hampir 10% lahan di Jakarta akan menjadi tempat sejumlah orang memukuli bola bundar putih yang permukaannya seperti kulit jeruk tapi keras seperti batu. Dan terjadilah hal yang bisa menjadi masalah: pengusaha lapangan golf terpaksa menggusur lahan pertanian atau permukiman penduduk. Padahal, Menteri Soesilo Soedarman sudah menegaskan akan meninjau kembali pembangunan lapangan golf di daerah Jakarta. Maka, bila ada yang berkata bahwa lapangan golf, karena penuh rumput, menjaga lingkungan, kata-kata itu perlu dikaji kembali. Di Bandung, di Kecamatan Cimenyan dan Ciburial, Bandung Utara, PT Bandung Pakar sedang mempersiapkan pembangunan lapangan golf seluas 500 hektare. Padahal, sejak zaman baheula, daerah itu sudah ditetapkan sebagai kawasan serapan air bagi Kota Bandung dan sekitarnya, bukan serapan bola golf. Apa kata Gubernur Jawa Barat? "Saya tidak tahu, apakah pembangunan lapangan golf di Bandung ini karena lapangan golf di DKI masih kurang," kata R. Nuriana. Pak Gubernur tak bicara bagaimana nasib Bandung bila kawasan serapan airnya menjadi lapangan golf. Yang terdengar, nasib lapangan golf menurut perkiraan Ciputra. Jumlah lapangan golf di Jabotabek sudah melebihi permintaan pasar. Idealnya, wilayah itu hanya diisi 30 lapangan, tapi kini ada 60. "Tidak perlu ditertibkan," kata Ciputra. "Nanti, karena hukum alam, bakal ada yang gulung tikar." Mungkin maksud Ciputra itu hukum dagang: bila barang berlebih, harga turun, dan yang tak memenuhi selera pembeli silakan bangkrut. Masalahnya, bila seleksi lapangan golf diserahkan pada hukum dagang, hukum yang lain akan dirugikan, misalnya hukum lingkungan hidup. Kata pakar lingkungan hidup dari Institut Teknologi Bandung, Sampurno, pembangunan lapangan golf di dataran tinggi dapat mengganggu pengadaan air bagi daerah di sekitarnya. Pengusaha lapangan golf mestinya tahu, kalau tidak pura-pura belum tahu, bahwa kemampuan rumput di lapangan golf dalam menahan atau menyerap air jauh di bawah kemampuan hutan. Permukaan rumput yang rata jelas lebih mudah menggelontorkan air daripada pepohonan yang akarnya jauh masuk ke tanah. Belum lagi hukum ekologi. Profesor Otto Soemarwoto dari Universitas Padjadjaran Bandung memperingatkan, jangan sampai "demi rumput golf, hewan dan tumbuhan lain dikorbankan." Ia memberi contoh kasus di Jepang. Untuk mengimbangi jumlah pemain golf, Jepang gencar membangun lapangan golf, sehingga di salah satu kota, luas lapangan golf mencapai 3,5% luas kota seluruhnya. Padahal, memelihara lapangan tetap hijau dan empuk, agar tetap menjadi selera para pegolf, bukan perkara mudah. Sebab, bukan hanya pegolf yang terbit seleranya melihat rumput hijau itu, tapi juga sejumlah pengganggu tumbuhan, khususnya jamur. Nah, para pengganggu yang tidak membayar dan tak punya kartu anggota itu, di mata pengusaha lapangan golf, adalah para kriminal yang layak dieksekusi. Maka, disiramkanlah pestisida dalam waktu yang teratur untuk membunuhi jamur itu. Tapi penjahat zaman sekarang tumbuh sepintar polisi, konon. Entah minum obat apa, sejumlah jamur jenis tertentu menjadi kebal terhadap pestisida tertentu. Pengusaha, tentu saja, tak mau kalah modal telanjur ditanam di bawah rumput itu. Disiramkanlah pestisida lebih banyak, lebih keras. Pertempuran untuk memberikan kenikmatan kepada para pegolf, mau tak mau, akhirnya membawa korban. Tanah di bawah rumput itu akan menjadi tinggi kadar pestisidanya. Dan Anda tahu, pestisida itu racun. Dan biar bulu kuduk Anda sedikit berdiri, menurut penelitian terakhir para ahli di AS, salah satu kandungan pestisida yang disebut dioksin bisa menimbulkan endometriosis, penyebab wanita sulit hamil. Yang lebih gawat, bila tanah tersebut tak lagi mampu menahan kandungan pestisidanya, apa boleh buat, tanah itu lalu mengambil sikap tak mau menderita sendiri: dikirimkanlah pestisida, tentu saja, ke tanah yang lebih rendah di sekitarnya. Maka, kawasan tanah yang mikroorganismenya terbunuh oleh pestisida akan semakin luas. Oh, ya, mengapa tanah menderita bergumul dengan pestisida? Itu karena si pestisida membunuh sahabat-sahabat tanah, yakni mirkoorganisme yang menyuburkan tanah. Dan bila di sekitar lapangan ada sumber air, air yang amat berguna bagi manusia itu akan ikut tercemar. Memang belum terdengar kematian massal manusia akibat lapangan golf. Yang sudah terjadi, di Jepang, sejumlah kolam ikan yang berdekatan dengan lapangan golf terpaksa berduka tak bisa menyelamatkan penghuninya. Tentu saja, skenario gawat itu dibantah oleh pengusaha golf karena terdengar berlebihan. Ciputra mengatakan bahwa kadar pestisida rata-rata per meter persegi di lapangan golf jauh lebih rendah dibandingkan dengan kadar pestisida untuk tanaman padi, palawija, dan sayur-sayuran. "Ini berdasarkan pengalaman saya saja," katanya. Yang mungkin belum dialami Ciputra atau lapangan golf di Indonesia umumnya adalah serangan jamur itu. Siapa tahu ini hanya soal waktu. Dan sebelum itu terjadi, yang telah jatuh dihantam lapangan golf adalah penduduk yang kebetulan berdiam di lahan yang di mata pengusaha golf sebenarnya punya bakat menjadi lapangan golf. Ini tentu tak mengapa. Bukankah bakat perlu dipupuk agar tumbuh bermanfaat? Masalahnya, cara pengambilalihan lahan berbakat golf itu sering merugikan penghuni lamanya: harga di bawah pasar. Mengapa bisa seharga itu, ya, tentu saja dipaksakan. Jangan ditanya, mengapa dipaksakan. Anda sudah tahu jawabannya. Contohnya sudah ada: penduduk di Kecamatan Cimenyan dan Ciburial, Bandung. Mereka terpaksa menjual tanahnya demi lapangan golf milik anak-anak pejabat. Jadi, lapangan golf memang menjadi indikator kemakmuran, kemakmuran yang menggusur rakyat kecil. Dan dalam jangka panjang, tanpa pengelolaan hati-hati, juga menggusur lingkungan sehat. Padahal, lingkungan pada awalnya diciptakan oleh Tuhan. Ini berarti, lapangan golf bisa mencemari ciptaan Tuhan. Nah, apakah Anda tak takut kualat? Bambang Aji, Sri Wahyuni, Bina Bektiati, Bambang Sujatmoko (Jakarta), dan Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini