APAKAH Judi Itu? adalah judul buku yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Alqur'an, 1987. Ditulis oleh ulama terkemuka, K.H.M. Ibrahim Hosein, Ketua Komisi Fatwa MUI dan guru besar Hukum Islam di tujuh perguruan tinggi di Indonesia. Saya menerima buku itu sebagai hadiah dari seorang sahabat. "Kenapa ribut, sih, Mas? Otoritasnya saja mengatakan Porkas/SSB bukan judi," ujar sahabat saya itu. Porkas atau SSB adalah nama lotere yang kemudian dikenal sebagai SDSB. Sahabat saya kemudian melanjutkan penjelasannya. "Saya baru pulang dari daerah, Dik. Tiap Rabu, kota-kota kecil di daerah memang ramai. Orang menunggu pengumuman hasil undian nomor SDSB dari Jakarta. Demam SDSB melanda banyak penduduk miskin. Lebih menyedihkan lagi, kebanyakan dari mereka yang kecanduan SDSB adalah pekerja kasar, tukang becak, dan petani miskin." Purnawirawan perwira tinggi itu berbicara dari lubuk hati nuraninya yang tulus. Sejak usulan mengenai Porkas/SSB diajukan ke sidang kabinet, konon memang ada semacam ketidakbulatan pendapat. Ada yang menolak karena itu dianggap judi. Tapi ada pihak lain yang tidak hendak menggunakan anggaran pemerintah untuk subsidi penyiaran langsung pertandingan-pertandingan kelas dunia, lewat satelit, atas nama pembinaan olahraga. Perbedaan itu rupanya dapat diselesaikan antara lain dengan bantuan fatwa. "Yang berbahaya kan bukan kupon resmi SDSB-nya. Yang jahat, kupon putih atau buntut yang liar itu. Karena itu, yang harus diberantas adalah buntutnya," seru tokoh terkemuka, pengaman SDSB tatkala itu. Lalu seperti biasa, keluarlah angka- angka. Lalu diuraikanlah skema-skema. Yang mendengarkan semua mengangguk-angguk. Belum tentu setuju. Buktinya, sesampai di luar, ada yang nyeletuk. Memberantas buntut atau kupon putih itu kan lebih melindungi kepentingan bandar SDSB. Maka, polemik soal SDSB pun bergulir terus, beberapa kepala daerah ada yang menampung suara rakyatnya. Peredaran kupon SDSB di daerahnya dilarang. Teoretis memang terserah kepala daerah untuk mengizinkan atau menolak SDSB. Tetapi prakteknya memang urusan tolak-menolak ini lebih muskil dari sekadar soal nyali. Reaksi sejumlah besar ulama di lapangan atas dampak SDSB itu memang makin lama makin bertambah keras. "Fikih bukan satu-satunya landasan fatwa. Dalam Islam, selain fikih ada akhlak ada tauhid. Dalam perkara pelik seperti SDSB ini yang harus dirujuk bukan hanya kitab dan pendapat jumhur ulama. Juga suara nurani dan getaran akhlak sang ulama pembuat fatwa perlu turut bicara," kata Kiai H.M. Bisri yang saya segani. Majelis Ulama Indonesia, melalui ketuanya yang lain H.M. Quraish Shihab, mengeluarkan fatwa (lagi) tentang SDSB. Menggunakan kaidah ushul fiqh dinyatakan, "SDSB lebih banyak mudaratnya dibanding dengan manfaatnya." Sejak itu, wacana SDSB berganti nada, berubah irama. "Kalau SDSB dianggap judi, ya sudahlah, jangan beli. Ulama dan pemuka masyarakat tidak perlu ribut. Cukup menganjurkan umatnya tidak usah membeli SDSB." Itulah kata tokoh yang suka nangkanya, emoh getahnya. Lalu melempar tanggung jawab ke pihak lain. Padahal akal sehat sudah maju dan terus berkembang. Subhanallah! "Beginilah. SDSB ini kan dimaksudkan menampung budaya judi sebagian kalangan. Yang beli kupon SDSB blok-blokan, itu kan nonpri. Kalau tidak ada SDSB, niscaya mereka dijaring lotere dari luar negeri, lo. Saya ada, kok, angka-angkanya, berapa uang kita mengalir ke luar negeri untuk judi. Biar mereka berjudi di dalam negeri. Hasilnya untuk pembinaan olahraga dan santunan sosial." Orang pun mantuk-mantuk. Ulama mengangguk- angguk. Belum tentu mereka matuk (setuju). Bahkan mereka lalu mencari kiat baru yang lebih ampuh untuk menegakkan jihadnya, amar ma'ruf nahi munkar. "Beginilah. Daripada debat kusir, pakai saja metode ilmiah. Soal imbangan antara manfaat dan mudarat, kupon putih atau kupon asli, penjudi rakyat kecil atau rakyat besar, pri atau nonpri, kupon gepok-gepokan atau ketengan, judi luar negeri atau dalam negeri, mbok diteliti saja secara ilmiah, biar objektif." Diucapkan oleh Pak Sudomo saat itu selaku menko polkam, setelah bertemu dengan Pak Sudharmono, saat itu masih wakil presiden. Orang pun merasa lega. Tetapi kalangan universitas dan khalayak banyak yang tidak sabar. Ucapan dan tindakan mereka ada yang mengeruhkan iklim dan menjauhkan pemerintah mencari jalan elegan, untuk bisa keluar dari kemelut SDSB secara hukum dan terhormat. "Universitas Anu sudah meneliti! Mahasiswa juga sudah menyurvei. Organisasi sosial sudah punya datanya. Kalau perkara kupon-kupon dan peredarannya serta pembagiannya tanya saya." Saur manuk, jurus-jurus balasan yang datang dari mana-mana. Sampai akhirnya ketahuan bahwa survei SDSB yang sudah dirancang matang itu ditunda-tunda entah untuk keberapa kalinya. Bahkan ada jawaban untuk Komisi X yang mengatakan survei SDSB tidak bisa dilaksanakan karena petugasnya takut dipukul segala! Masya Allah! Ada akumulasi kegundahan tatkala rakyat mendengar, tiba-tiba ada yang bisik-bisik, konon izin SDSB telah diperpanjang sampai tahun 1996. Maka, turunlah mahasiswa ke jalan-jalan. Bahkan sampai ke DPR dan depan Istana segala. Tetapi menurut penilaian beberapa panglima selaku ketua Bakostranasda, demonstrasi ihwal SDSB umumnya dinilai masih murni, tidak ditunggangi. Akhirnya, Pemerintah pun memperhatikan tuntutan rakyat itu. "...Karena rakyat menganggap SDSB sebagai judi, izin penjualan kupon SDSB tidak diperpanjang lagi," kata Ibu Inten Soeweno menyimpulkan pertemuannya dengan Komisi X DPR. Langkah Pemerintah ini memang sangat strategis. Karena kemudian terbukti bahwa walaupun banyak yang sujud syukur dan selamatan atas ditutupnya izin SDSB, sejumlah orang malah kecewa, SDSB dihentikan. Lo? "Demonstrasinya belum apa-apa kok SDSB-nya sudah dihentikan." Ada juga yang keliru meramal. Pemerintah dikira sudah tunduk pada tuntutan demonstrasi. Padahal, menyetop SDSB lebih merupakan tindakan preemptif, mencegah penggunaan demo untuk tujuan politik yang lebih jauh. Pemerintah ternyata cerdik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini