APA nasihat seorang bapak bila kelima anak laki-lakinya bertanya tentang sekolah yang paling cocok untuk dipilih? Apalagi bila cita-cita mereka berbeda-beda. Anak pertama, misalnya, bilang bahwa ia mau menjadi seorang jenderal. Anak kedua bercita-cita menjadi menteri, dan yang ketiga mau jadi duta besar. Adiknya ingin menjadi direktur utama sebuah perusahaan negara, dan yang terakhir kepingin memimpin sebuah universitas sebagai rektor. Maka, sang bapak tampak berpikir sejenak. Bak orang bijak, ia pun memberikan satu nasihat untuk kelima anaknya. "Gampang saja. Masuk saja ke Akabri," kata sang ayah. Cerita itu saya dengar ketika saya pertama kali berada di Indonesia pada akhir tahun 1960-an. Pada waktu itu dikotomi ABRI-sipil sangat kentara. Jelas sekali pada waktu itu bahwa tentara benar-benar menguasai pemerintah. Sedangkan gerak kaum sipil di bidang politik benar-benar terbatas. Memang bukan semua menteri, duta besar, direktur utama, ataupun rektor universitas dipegang ABRI. Namun, orang sipil baru bisa diangkat menduduki posisi itu setelah mendapat restu dari ABRI. Pada tahun 1990-an ini keadaan politik di Indonesia sudah banyak berubah. Nasihat yang diberikan oleh bapak tadi barangkali tak begitu tepat lagi pada zaman ini. Memang masih ada beberapa menteri, gubernur, direktur utama BUMN, duta besar, dan sebagainya yang berasal dari ABRI. Namun, banyak pula yang bukan berasal dari ABRI. Kesempatan yang diberikan kepada kalangan sipil jauh lebih luas ketimbang tahun 1960-an dan 1970-an. Apakah perkembangan ini lantas bisa diartikan bahwa konsep "dikotomi ABRI-sipil" sudah tidak berlaku? Para perwira ABRI biasanya menolak konsep tersebut. Mereka mengatakan bahwa ABRI berasal dari rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat sehingga tak mungkin dapat dipisahkan dari rakyat. Menurut mereka lagi, kalau secara kebetulan seorang perwira diangkat sebagai menteri atau duta besar, ataupun dipilih sebagai gubernur atau ketua DPRD, ini hanya membuktikan kepercayaan rakyat kepada ABRI dan sama sekali tidak menunjukkan dominasinya. Meskipun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa ada sementara orang sipil yang berpendapat lain. Bagi mereka, konsep "dikotomi ABRI-sipil" bukan saja bermakna bahwa ABRI berbeda dengan orang sipil, tapi juga mengandung implikasi bahwa peranan ABRI masih terlalu besar. Bagi mereka, peranan ABRI sebaiknya tertumpu pada fungsi pertamanya dalam bidang pertahanan dan keamanan, dan tidak pada fungsi keduanya dalam bidang sosial politik. Pendapat ini didasarkan pada penilaian terhadap perkembangan masyarakat yang sekarang lebih makmur, terpelajar, dan kritis sehingga orang sipil sekarang cukup mampu mengambil alih tugas-tugas yang dahulu dibebankan ke militer. Memang, kini semakin banyak pejabat sipil telah menggantikan perwira ABRI dalam jabatan penting. Namun, proses ini sebagian besar merupakan perkembangan yang terbatas pada perubahan dalam birokrasi saja. Orang-orang sipil yang diangkat sebagai pejabat tinggi terdiri dari orang yang ditunjuk dari atas, bukan muncul dari bawah. Mereka sangat bergantung pada penguasa dan tidak mempunyai kekuatan politik sendiri. Banyak pangamat sudah lama mengeluhkan kedudukan organisasi massa dan politik sipil yang memang belum bisa berdikari. Beberapa bulan yang lalu para delegasi di munas Golkar, sekali lagi, telah menerima seorang ketua umum yang ditunjuk dari atas. Artinya, organisasi itu belum mandiri dan masih dianggap sebagai alat penguasa. Sebelumnya, beberapa anggota fraksi Golkar di DPR telah pula berbicara agak keras dan vokal, tapi nama mereka pun lantas dicoret dari daftar calon Golkar di pemilu yang lalu. Kedudukan PDI jauh lebih menyedihkan. PDI telah berkongres dua kali tahun ini tanpa hasil yang memuaskan. Sejak dahulu, partai itu terpecah ke dalam berbagai kelompok yang terus berkelahi satu sama lain. Meskipun demikian, dalam kongres yang diselenggarakan tahun ini di Medan dan Surabaya, sudah muncul seorang calon ketua umum yang jelas didukung dari bawah atau oleh mayoritas delegasi. Namun, akhirnya calon itu tak dibenarkan untuk dipilih secara demokratis. Di kedua kongres itu, campur tangan aparat Pemerintah dan ABRI terjadi secara terang-terangan walaupun para pejabat tinggi terus-menerus menyatakan bahwa mereka netral. Kemudian satu kongres lagi diadakan pada bulan Desember ini untuk mencari pemimpin partai yang disetujui oleh Pemerintah maupun ABRI. Keadaan PPP juga tidak begitu menggairahkan. Partai ini kelihatan masih belum dapat berkembang sebagai kekuatan politik yang dapat menyuarakan kehendak dan aspirasi masyarakat. Bahkan banyak simpatisan politik Islam tampaknya lebih tertarik kepada ICMI daripada PPP. Mengapa kekuatan politik sipil masih belum dapat berkembang dengan baik? Selain dari kelemahan-kelemahan sendiri, terdapat satu faktor lain, yaitu kebiasaan aparat pemerintah, termasuk ABRI, campur tangan dalam urusan intern partai-partai tersebut. Partai-partai itu tidak dibiarkan menyelesaikan konflik internnya sendiri. Akibatnya, kelompok yang kurang puas selalu minta bantuan Pemerintah untuk menjegal lawan dalam partainya sendiri. Justru kemungkinan mendapat bantuan Pemerintah itu menjadi semacam insentif bagi kelompok-kelompok kecil untuk memberontak terhadap pemimpin partainya hingga partai itu tak dapat berfungsi semestinya. Untuk jangka panjang, konsep "dikotomi ABRI-sipil" itu baru bisa lenyap bila partai-partai politik dan organisasi massa lain dapat betul-betul mandiri dan menjadi cukup kuat untuk menolak campur tangan pihak lain atau ABRI dalam urusan internnya. Selagi ABRI merasa berhak menentukan siapa yang boleh dipilih sebagai pemimpin partai politik, sudah tentu para anggota dan simpatisan partai politik itu akan terus berpandangan dikotomis. Mereka akan cenderung melihat ABRI bukan sebagai kekuatan nasional yang berdiri di atas semua golongan, tapi sebagai lawan yang suka mendukung pemimpin yang sebetulnya tidak mewakili kehendak mayoritas dalam partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini