Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana melarang penjualan barang impor di marketplace dengan nilai kurang dari US$ 100 atau setara Rp 1,5 juta per unit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Larangan tersebut nantinya akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Elektronik (PPMSE). Hal ini dilakukan demi melindungi produk-produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Akan tetapi, rencana larangan e-commerce jual barang impor murah tersebut mendapat penolakan dari sejumlah pihak, salah satunya pengusaha e-commerce. Lantas, seperti apa penjelasan terkait larangan e-commerce jual barang barang impor murah?9
Harga Jual Barang Impor di Marketplace Dibatasi
Pemerintah berencana memberi batasan harga minimal untuk menjual barang impor di e-commerce sebesar US$ 100 atau setara dengan Rp 1,5 juta. Sehingga hanya barang-barang di atas Rp 1,5 juta saja yang diperbolehkan diimpor melalui layanan cross border. Sementara, barang dengan harga di bawah 1,5 juta tidak diperbolehkan diimpor di marketplace.
Aturan ini sudah ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan melalui usulan untuk revisi Permendag No 50 Tahun 2020. Namun masih digodok bersama dengan kementerian lain seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM).
E-Commerce Dilarang Jual Produk Sendiri
Usulan revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tidak hanya mengatur soal batas minimal harga jual barang impor di marketplace tapi juga berisi aturan yang berkaitan dengan predatory pricing. Sehingga, platform e-commerce dilarang untuk menjual produk yang mereka produksi sendiri.
Menteri Koperasi dan UKM (Menkop) Teten Masduki menyatakan strategi predatory pricing yang banyak dilakukan oleh e-commerce membuat sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tak bisa bersaing dengan produk asing. Dengan begitu, Menkop menginginkan platform e-commerce hanya menjadi penyedia platform saja, bukan sekaligus menjual produknya sendiri atau perusahaan afiliasinya.
Sanksi Tegas Bagi Pelanggar
Pemerintah telah menyiapkan sanksi bagi platform e-commerce atau marketplace yang tidak memathui ketentuan pembatasan minimum harga atau nominal transaksi lintas batas (cross border). Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM, Fiki Satari menyatakan sanksi ini diberikan sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam melindungi produk UMKM dari serbuan produk impor murah di marketplace yang menyebabkan predatory pricing.
Adapun Fiki mengungkapkan bahwa sanksi yang dikenakan berlaku untuk semua platform e-commerce. “Sanksi yang dikenakan berlaku kepada semua platform. Jika melanggar sanksi terbesarnya adalah pencabutan izin,” katanya dikutip dari Koran Tempo pada Jumat, 4 Agustus 2023.
Usulan Revisi Permendag Ditolak
Usulan Revisi Permendag Ditolak Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce
Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE), Sonny Harsono menolak rencana revisi Permendag No. 50 tahun 2020 yang memuat pembatasan harga jual impor di marketplace. Penerapan pembatasan harga jual barang impor di marketplace dinilai malah mendorong aktivitas impor ilegal.
"Kebijakan baru ini tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan. Sebagai contoh, jika pemerintah menghentikan impor barang-barang seperti aksesoris ponsel dan/atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri, justru menimbulkan risiko terjadinya kegiatan impor ilegal," ujar Sonny dalam keterangannya, Rabu, 2 Agustus 2023.
Sonny memaparkan, secara prinsip ekonomi jika permintaan masih ada, maka penawaran terus berlangsung. Bahkan menurutnya saat ini banyak barang impor yang ditawarkan oleh penjual non-importir di e-commerce lokal. Oleh karena itu, APLE berharap pemerintah tetap memberikan dukungan bagi platform belanja untuk menjalankan transaksi cross-border.
Sonny menyarankan, dari pada melarang impor dengan nilai tertentu, pemerintah lebih baik mewajibkan platform pelaku transaksi impor cross-border untuk memfasilitasi ekspor lintas negara dengan volume yang lebih tinggi serta pemberian insentif bagi platform yang sudah menjalankan hal tersebut. Insentif dapat diberikan melalui dukungan layanan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta instansi lain yang terkait.
Dia juga menyarankan pemerintah meningkatkan besaran komponen biaya impor berupa peningkatan bea masuk dari 7,5 persen menjadi 10 persen ditambah PPN 10 persen dan PPh. Dengan demikian, harga barang impor pun tidak terlalu murah dan barang dalam negeri bisa semakin bersaing.
"Kami sarankan pemerintah melakukan screening atau penyaringan terhadap e-commerce lokal yang tidak melakukan transaksi cross-border. Tujuannya, agar setiap barang yang dijual telah dilengkapi bukti importasi," kata Sonny.
GHOIDA RAHMAH | M JULNIS FIRMANSYAH | RIZKI DEWI AYU