Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kami Tidak Menyubsidi Perusahaan Sawit

Rencana pemerintah menyuntikkan duit Rp 2,78 triliun kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menuai kritik. Beban baru dalam rencana perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 ini dinilai hanya menguntungkan perusahaan sawit yang kebagian pasar pasokan bahan bakar nabati pada program biodiesel.

13 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman di Jakarta, Kamis 11 Juni 2020./TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU menjabat pada Maret lalu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Eddy Abdurrahman menghadapi persoalan serius. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang dipimpinnya diperkirakan akan mencetak defisit Rp 3,54 triliun karena beban subsidi untuk menyokong program percepatan penggunaan solar bercampur minyak nabati sebesar 30 persen (B30) membengkak. Pemerintah pun kini menyiapkan suntikan dana Rp 2,78 triliun untuk menutup defisit tersebut.

Rencana gelontoran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ini menuai kritik. Sudah lama percepatan program biodiesel dinilai banyak kalangan kelewat ambisius. Subsidi yang ditanggung BPDPKS dalam program ini juga dinilai hanya menguntungkan perusahaan besar sawit yang kebagian jatah memasok bahan bakar nabati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada Khairul Anam dan Retno Sulistyowati dari Tempo, Eddy Abdurrahman menjelaskan tujuan rencana penyuntikan dana tersebut. “Kami tidak menyubsidi mereka. Kami menyubsidi konsumen akhir solar,” kata mantan Direktur Jenderal Bea dan Cukai ini di ruang kerjanya di lantai 5 Graha Mandiri, Jakarta, Kamis, 11 Juni lalu.

Mengapa APBN harus menyuntikkan dana buat BPDPKS?
Itu semua keputusan komite pengarah yang terdiri atas delapan menteri. Ketuanya Menteri Koordinator Perekonomian. Pada 2020, kami sebetulnya masih punya saldo awal sekitar Rp 12 triliun. Masih banyak. Rata-rata penerimaan tahunan Rp 14 triliun. Tapi, pada 2020, program B20 menjadi B30. Target penyaluran yang semula 6 juta kiloliter menjadi 9,59 juta kiloliter. Ditambah ada persoalan penurunan harga minyak mentah dunia sehingga selisih antara harga indeks pasar (HIP) solar dan HIP biodiesel makin lebar. 

Berapa porsi dana BPDPKS untuk subsidi biodiesel?
Ya, sekitar 70 persen. 

Berapa besar subsidinya?

Fluktuatif. Misalnya bulan depan tiba-tiba harga Mean of Platts Singapore (MOPS) naik, karena ini kan dihitung dari MOPS, jadi kecil kebutuhan dana dukungan dari BPDPKS. Makin mahal harga minyak dunia, makin sempit gap-nya, makin sedikit dana dukungan dari BPDPKS. Yang kami harapkan harga solar naik lagi, ke arah normal. Sekarang kan abnormal.

Posisi sekarang harga fatty acid methyl esters (FAME, biodiesel atau minyak nabati yang akan menjadi bahan campuran) di atas, sedangkan harga solar di bawah. Misalnya pada Mei 2020 HIP biodiesel itu Rp 8.352 per liter, sedangkan HIP solar Rp 3.083 per liter. Jadi ada selisih Rp 5.268. Ditambah ongkos angkut dan pajak pertambahan nilai, total selisihnya Rp 6.158 per liter. Itu yang harus kami tanggung pada Mei 2020—dibayarkan ke produsen FAME. Juni ini HIP biodiesel Rp 6.941, sedangkan HIP solar Rp 2.801 per liter. Selisih yang kami tanggung Rp 4.917 per liter.

Jadi dana dari APBN ini untuk subsidi atau peremajaan sawit rakyat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami arahkan lebih ke program-program di sektor hulu, seperti peremajaan. Sejak 1 Juni 2020, nilai bantuan replanting untuk petani dinaikkan, dari Rp 25 juta menjadi Rp 30 juta per hektare. Maksimum 4 hektare untuk satu keluarga.

Apa bantalannya untuk subsidi biodiesel?
Proyeksinya, kami bisa membiayai selisih B30 sampai akhir 2020 dari dana pungutan.

Ada kritik bahwa enak sekali perusahaan besar sawit yang juga penghasil FAME mendapat subsidi pemerintah....
Kami tidak menyubsidi mereka. Kami menyubsidi konsumen akhir solar. Si pengusaha FAME ini kan menjual produk, katakanlah kepada Pertamina. Dia jual sesuai dengan harga pasar, bahkan sekarang diturunkan—biaya konversi dari minyak sawit mentah (CPO) ke FAME. Tapi Pertamina membelinya dengan harga solar—yang lebih murah. Berarti masih ada selisih. Itulah yang dibayarkan pemerintah melalui BPDPKS. Jadi bukan untuk membantu perusahaan bahan bakar nabati. Program B30 ini harus dilihat juga dalam kaitannya dengan stabilisasi harga CPO, agar penyerapan domestik lebih tinggi, sehingga suplai ke pasar ekspor berkurang. Ini teori ekonomi biasa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus