SEJAK izin go public bagi PT Indocement Tunggal Prakarsa dikeluarkan Bapepam 16 Oktober lalu -- dengan izin khusus Menteri Keuangan -- banyak investor bertanya-tanya. Sebagian telah berusaha menjua! saham-saham lama -- kalau perlu harga dibanting -- asalkan beroleh uang, yang bisa dipakai buat membeli saham Indocement. Mulai Senin depan (30 Oktober-10 November), hampir 60 juta (persisnya 59.888.100) lembar saham pabrik semen Tiga Roda itu akan dilemparkan di Bursa Efek Jakarta. PT PT Danareksa bersama sejumlah LKBB telah menjamin bahwa saham bernilai hampir Rp 600 milyar itu akan habis terjual. "Saya yakin, saham ini akan laku keras dan bakal bersaing dengan saham Cibinong. Sebab, Indocement adalah pabrik semen terbesar dengan kapasitas tujuh kali Cibinong," ujar Dirut Danareksa, R. Soebagyo. Tapi, sejumlah kalangan bersikap waspada terhadap emisi saham perusahaan milik Liem Sioe Liong yang patungan bersama pemerintah itu. Dari prospektus PT Indocement Tunggal Prakarsa -- yang diperoleh TEMPO masih dalam bentuk draft -- tercermin kondisi perusahaan itu, yang sampai semester pertama 1989 masih sakit. Pada 1987, Indocement rugi bersih Rp 95 milyar tahun silam rugi Rp 77,9 milyar. Baru pada Juni 1989, ruginya menyusut, tinggal Rp 15,1 milyar. Menurut ketentuan pasar modal, perusahaan yang hendak menjual obligasi atau saham di bursa, minimal sudah mencatat laba dalam dua tahun terakhir. Nah, Indocement, yang rugi, kok diloloskan? "Bisa saja kan, Menteri Keuangan memberikan dispensasi," ujar Ketua Bapepam Marzuki Usman. Suaranya datar. "Dua syarat lain sudah terpenuhi, yakni mempunyai modal Rp 200 juta, dan pembukuannya sudah diperiksa akuntan publik. Dispensasi semacam itu pernah diberikan juga kepada PT Persero Jasa Marga," Marzuki menambahkan. Menurut Direktur Teknik PT Danareksa, Yannes Naibaho, semula Indocement hendak meniru Jasa Marga, yakni menjual obligasi alias surat utang berjangka 5 tahun. "Tapi pasar obligasi sekarang ini kurang bagus, maka kami anjurkan jual saham," kata Yannes. Katanya lagi, Indocement, sebagai perusahaan yang masih merugi, seharusnya masuk Bursa Paralel. "Namun, di Bursa Paralel membutuhkan pencipta pasar. Lembaga mana bisa menjadi market makers untuk saham bernilai hampir Rp 600 milyar," kata Direktur Teknik Danareksa tadi. Jika pemerintah memberikan dispensasi kepada Indocement, tentulah bukan -- tanpa pertimbangan. Pemerintah tentu tak sekadar ingin mencairkan sebagian sahamnya di Indocement. Semula pemerintah memegang 33,75% (lihat Indocement yang Haus Dana). Setelah go public, saham pemerintah tinggal 30,38%. Itu berarti pemerintah akan memperoleh uang tunai Rp 20,22 milyar. Masalah utama tampaknya ialah bagaimana mempercepat kesembuhan bagi perusahaan raksasa yang sudah beberapa tahun sakit-sakitan itu. Dua faktor kelemahan Indocement ada pada likuiditas dan risiko perusahaan. Cash flow Indocement tampaknya belum sehat. Itu terlihat pada perkembangan rasio aktiva lancar dengan utang lancar. Hal serupa tercermin dari perkembangan rasio acid test (yakni aktiva lancar minus inventory, dibagi utang lancar). Rasio perbandingan seluruh utang terhadap seluruh aset Indocement juga menunjukkan bahwa risiko yang dipikul perusahaan tidak enteng. Masalahnya hanyalah karena beban utang perusahaan. Jika Indocement mendapatkan suntikan modal segar Rp 600 milyar, jelas akan cepat sembuh. Laba perusahaan akan meningkat, dan pemerintah akan memperoleh pajak penghasilan. Sebab, menurut Direktur Keuangan Indocement Judiono Tosin, sejak Juli 1989, perusahaannya sudah meraih laba rata-rata. "Tanpa go public pun, pada akhir Desember 1989 ini perusahaan sudah akan meraih laba bersih Rp 2,6 milyar," kata Judiono. Namun, ada seorang analis yang mempertanyakan pembagian dividen yang dijanjikan itu. "Jangan-jangan dividen Rp 100 milyar yang akan dibagikan itu sebenarnya berasal dari masyarakat yang sekarang membeli saham," ujarnya menyelidik. Judiono membantah. Katanya, dari penjualan saham yang akan menghasilkan Rp 599,8 milyar, Indocement hanya akan menerima bersih sekitar Rp 44,9 milyar. Ini untuk modal operasi. "Ini adalah hasil penjualan saham baru Indocement," tuturnya. Hasil penjualan selebihnya dikemanakan? Dalam buku prospektus, terungkap bahwa Rp 429 milyar akan dipakai untuk membayar sebagian utang pokok, program peningkatan efisiensi dan stabilitas operasi, termasuk pula pembayaran pinjaman pemegang saham. Dana yang sekitar Rp 170 milyar lagi ke mana? Judiono kemudian menyebutkan sejumlah dana yang akan dikeluarkan, seperti biaya emisi 4,5% (sekitar Rp 27 milyar). Pemerintah, Liem Sioe Liong, dan Djuhar Sutanto, yang menjual 4,67% saham mereka, tentu akan menerima Rp 28 milyar. Mengapa Liem dan Djuhar menjual saham pribadi mereka? "Anda tahu kan, sekarang adalah musim penghargaan kepada pembayar pajak terbesar. Mereka melepaskan saham pribadinya, bukan karena mau lari. Sebab, keluarga Liem dan Djuhar masih memegang 46,92% saham Indocement," ujar Judiono. Tapi, mengapa Idocement sampai terlibat utang pada bank, bahkan pemerintah dan tiga yayasan kebagian saham? Ceritanya berawal pada 1978. ketika Indocement memutuskan membangun pabrik unit VI berkapasitas 1.500 ton. Indocement meminjam dana dari bank Prancis cabang Singapura, Credit Lyonais. Pada 1982, Indocement kemudian membangun lagi dua unit, masing-masing berkapasitas 1.500 ton. Pembiayaannya diperoleh dari sindikat bank yang dipimpin American Express Bank cabang Hong Kong. Waktu itu juga, sebetulnya harga bahan bakar minyak sudah terasa mencekik. Indocement memutuskan beralih ke pembangkit energi batu bara. Celakanya, pada 1983, ketika tanur ke-4 diresmikan dan utang sudah harus dicicil, datang devaluasi sekitar 45%. Masih tahun itu juga, dilancarkan deregulasi perbankan, yang menyebabkan banyak bank pemerintah dan swasta mampu memberikan pinjaman rupiah. Indocement lalu memutuskan melunasi sebagian utang luar negeri, dengan meminjam rupiah. Adapun pinjaman sindikat Amex, menurut Judiono, dilunasi dengan pinjaman rupiah dari Bank Duta, Bank Niaga, dan BCA. Sedangkan pinjaman dari Lyonais, waktu itu masih sisa sekitar US$ 120 juta, dikonversikan dalam pinjaman rupiah sekitar Rp 130 milyar dari BBD, BNI, BRI, dan BDN Jika langkah itu tak diambil, keadaan Indocement pasti lebih parah lagi waktu devaluasi 1986. Sialnya. sejak 1983, pemerintah melakukan anggaran perketat ikat pinggang. Resesi pun menimpa ekonomi Indonesia. Setahun kemudian pasar semen lesu. Sementara itu, Indocement belum selesai melaksanakan pengalihan sumber energi ke batubara. Pada 1985 Indocement terpaksa menjual saham kepada pemerintah. Cash flow perusahaan raksasa itu, sampai tahun ini, ternyata belum bisa dibilang kuat. Demikian pula likuiditasnya, disertai pula oleh perkembangan solvabilitas yang nampak mundur. Bisa dimengerti bila ada bank-bank yang enggan memberikan suntikan dana. Pilihan terbaik hanyalah menjual saham kepada masyarakat. Yayasan Supersemar, Dharmais, dan Dakab mengulurkan pinjaman Rp 60 milyar. Pertanda posisi Indocement akan segera pulih. "Mereka lalu menawarkan obligasi yang bisa dialihkan menjadi saham yayasan itu kini masing-masing memegang 1,07%," tutur Judiono. Dengan go public, Indocement pada akhir tahun ini diduga akan meraih untung Rp 11,1 milyar. Pada 1990, Judiono optimistis, meraih laba minimal Rp 150 milyar, dan bisa membagi dividen Rp 100 milyar. Itu berarti, pada tahun 1990, setiap saham Indocement akan meraih earning Rp 250,5 per lembar. Kini saham Indocement, yang ditawarkan Rp 10.000 per lembar, ada yang menilai mahal. PER (price earning ratio)-nya diperkirakan mencapai 40 kali. Perusahaan juga menjanjikan akan membagikan dividen minimal Rp 100 milyar atau Rp 165 per lembar. Itu berarti yield-nya cuma sekitar 1,65% per tahun, jauh di bawah inflasi yang sekitar 5%. Namun di pasar modal mana pun memang bukan perolehan dari dividen atau yield itu yang dicari orang. Tapi capital gain dari spekulasi jual-beli saham. Max Wangkar, Tri Budianto Soekarno, Budiono Darsono, Bambang Aji Suntikan Buat Si Tiga Roda SEJAK berdiri pada 1981, PT Indocement tak pernah luput dari liputan media massa. Nama besar ini selalu menyerbu halaman depan, kalau tidak terpampang sebagai kepala berita. Dimulai dari ekspansi yang melambungkannya sebagai pabrik semen terbesar di Asia dengan 8 tanur dan kapasitas produksi 7,7 juta ton per tahun -- Indocement berkali-kali membuat kejutan. Misalnya pada 1985, sesudah malang melintang di pasar dalam negeri, Indocement dengan Tiga Roda-nya mendobrak pasar internasional, meski dengan harga di bawah pasar. Pada tahun yang sama, perusahaan ini mendapat suntikan dana pemerintah Rp 364,3 milyar, satu peristiwa yang menjadi buah bibir rang. Injeksi ini kemudian dimantapkan sebagai penyertaan modal pemerintah yang pertama (semula 33,75%, terakhir 30,38%)) dalam sebuah perusahaan swasta -- didirikan oleh Liem Sioe Liong, Djuhar Sutanto, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad. Indocement juga yang, karena kewalahan membayar bunga pinjaman, lalu diberi fasilitas penjadwalan kembali oleh konsorsium bank pemerintah. Pangsa pasarnya terus menggelembung, namun belum sampai untung. Toh prospeknya dinilai cerah, mungkin karena bahan bakunya di Citeureup itu cukup untuk 60 tahun. Lagi pula, Indocement berani menanamkan US$ 50 juta lagi, agar bisa bekerja dengan batu bara, yang lebih. Bahkan lokasi pabriknya amat strategis -- tak juh dari jalan tol Jagorawi, sekitar 45 km sebelah selatan Jakarta. Kedelapan tanurnya berdiri gagah di atas tanah seluas 200 ha. Bahan baku utamanya, batu kapur, ditambang di perbukitan hanya 1 km dari pabrik, tanah liat dan pasir kuarsa sekitar 6 km di belakang pabrik. Dewasa ini Indocement menghasilkan 4 jenis semen m3rk Tiga Roda. Semen abu-abu yang banyak dipakai untuk pembangunan gedung, semen putih yang dipakai untuk penataan dekorasi bangunan, semen sumur minyak (oil well) yang cocok untuk industri pengeboran minyak, dan semen abu terbang, khusus untuk konstruksi bendungan atau bangunan di bawah air. Semua produk itu dikerjakan sekitar 4.000 karyawan. Kemegahan pabrik Indocement ternyata dilatari oleh berbagai kerikil keuangan yang nyaris menjatuhkan. "Sebelum deregulasi perbankan 1983, Anda tahu dana bank-bank pemerintah waktu itu masih sangat terbatas," tutur Direktur Keuangan Judiono Tosin. Sementara itu, petro dolar ditawarkan di mana-mana, yang langsung ditangkap Indocement dengan bunga sekitar 11%. Lalu devaluasi 1983 tak ubahnya tonjokan yang cukup memusingkan Indocement. Celakanya, pada tahun itu, sejumlah proyek raksasa, yang diharapkan menelan semen, ditunda pemerintah. Liem pada 1985, menghadap Menteri Keuangan (waktu itu Radius Prawiro). Liem menawarkan 30.335 lembar saham bernilai nominal @ Rp 1 juta. Pemerintah bersedia membeli 89.400 lembar saham baru, hingga pemilikan pemerintah seluruhnya 119.735 lembar saham, yang seperti disebut di atas, bernilai sekitar Rp 364 milyar. Restrukturisasi modal ini ternyata belum cukup untuk menyehatkan perusahaan. Pada periode 1985-1988, permintaan semen hanya naik 18% -- rata-rata 4,5% per tahun. Pasar dalam negeri Indocement memang meningkat 67%, tapi itu belum cukup. Ekspornya -- tahun 1988 2.299 ton -- ke Timur Tengah, Pakistan, India, Nepal. RRC, Papua Nugini, tidak banyak menunjang. "Hanya buat menutup sebagian pembiayaan devisa ...," kata Iwa Kartika, Direktur Teknik Indocement. Jangan heran bila kini Indocement masih perlu suntikan dana. Awal 1989, tiga yayasan, yakni Supersemar, Dharmais, dan Dakab, masing-masing sudah pula menyetor Rp 20 milyar. Rupanya, itu jauh dari memadai. Maka, lewat Bursa Efek Jakarta, Indocement berusaha menghimpun dana masyarakat Rp 601 milyar. Seperti dikatakan Sudwikatmono, inilah mobilisasi dana kedua terbesar di Asia, sesudah Cathay Pacific (Rp 656 milyar) pada 1986.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini