Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORCHARD Road, seperti biasa, masih ruas paling sibuk di negeri kecil Singapura. Di samping Singapore Mall yang ramai, berdiri dua menara kembar Atrium Tower, kompleks perkantoran milik Temasek Holding. Temasek dan sepuluh anak perusahaannya yang berkantor di Tower II itu tak ada bedanya dengan Kementerian BUMN di Indonesia. Bedanya, Temasek sudah menjelma menjadi raksasa bisnis di Asia.
Dalam laporannya awal bulan ini, ke-untungan Temasek mencapai Sin$ 7,4 miliar, sementara tahun lalu hanya Sin$ 241 juta. Dua pekan lalu mereka sepakat membeli saham perusahaan minyak Medco International Tbk. milik keluarga Panigoro. Saham yang mereka beli awalnya dikuasai oleh New Links Energy Resources Ltd. milik PTT Exploration & Production Pcl. Thailand, yang masuk lewat skema pengalihan utang menjadi penyertaan saham.
Temasek, yang masuk lewat anak perusahaannya, Everrit Investment Pte. Ltd., akan menguasai 38,4 persen saham bernilai US$ 289 juta (Rp 2,24 triliun). Dengan saham itu, mereka juga akan mendapat bagian keuntungan unit operasi Medco di luar negeri, yakni Novus Petroleum Ltd., di Australia, Timur Tengah, Amerika, dan Australia.
Sayangnya, Temasek Singapura belum bersedia menjawab pertanyaan Tempo seputar pembelian itu dengan alasan presiden direkturnya sedang berada di Amerika. "Kami harus menunggu," kata sekretaris di perusahaan itu. Mengenai penjualan saham Medco itu, Sugiharto, yang hingga pekan lalu masih menjabat Direktur Keuangan Medco, tidak mau berkomentar.
Alasannya, pengumuman itu adalah hak pemegang saham. Tapi sumber Tempo di perusahaan itu menyebutkan, sebetulnya keluarga Panigoro sangat berminat membeli saham tersebut. Tapi, setelah menghitung-hitung, dana mereka tersedot untuk mengembangkan lapangan gas Dongi di Sulawesi. "Tapi keluarga Panigoro akan membeli kembali," kata sumber itu, akhir pekan lalu. Keluarga Panigoro, katanya, juga ingin kembali menjadi pemilik mayoritas Medco, meskipun tak mau menjadi pemilik tunggal seperti dulu.
Langkah perusahaan yang berdiri pada 1974 itu menambah daftar perusahaan Indonesia yang bisa dikuasainya. Menurut data yang dikutip harian Bisnis Indonesia dari PDBI, Temasek punya sembilan perusahaan dengan 18 anak perusahaan di Indonesia, mulai dari bank, telekomunikasi, hingga properti. Di sektor migas, mereka memperkuat kedudukan "para penyerang dari utara" yang lebih dulu menguasai minyak dan gas Indonesia, yakni PetroChina dan China National Offshore Corp. (CNOC).
Pada 2002, CNOC mendapat lapangan Widuri di Kepulauan Seribu milik Repsol-YPF Maxus senilai US$ 585 juta. Itulah investasi terbesar mereka di luar Cina, dan membuatnya menjadi produsen minyak lepas pantai terbesar di Indonesia. Yang menyakitkan, mereka mengalahkan Pertamina, bos kontraktor asing di Indonesia yang mestinya mengetahui segala informasi dan kinerja lapangan itu.
Di lapangan gas Tangguh, mereka memiliki 12,5 persen saham senilai US$ 260 juta. Tiga bulan kemudian giliran PetroChina, produsen migas terbesar milik pemerintah Cina, membeli lapangan Devon Energy US$ 216 juta dan 30 persen saham Amerada Hess US$ 82 juta. Belakangan mereka juga menemukan minyak di lapangan Sukawati, Jawa Timur.
Akhir pekan lalu, Temasek mundur dari rencana pembelian saham anak perusahaan PT Dirgantara Indonesia. "Alasan mundur tidak jelas," kata Direktur Keuangan PT DI, Hidayat Hasan. Taktik para "predator" kakap itu tetap tak bisa ditebak.
I G.G. Maha Adi, Rini Srihartini, Rumbadi Dalle (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo