Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEGA nian Dirjen Migas Departemen Energi, Iin Arifin Takhyan. Rancangan peraturan pemerintah soal kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi yang dilakoninya dua tahun terakhir diteken juga oleh Megawati Soekarnoputri. Sebetulnya, rancangan itu bisa diteken lebih cepat, tapi BP Migas melakukan "interupsi". Akibatnya, molor hingga diteken Megawati hanya selang enam hari sebelum masa jabatannya sebagai presiden berakhir. "Plong rasanya," kata Dirjen Iin kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Kedua PP yang diteken 14 Oktober itu diberi nomor 35 untuk hulu dan 36 untuk hilir migas. Kedua peraturan itu sebenarnya ditunggu investor sejak pemerintah menetapkan UU Migas Nomor 22/2001. Tak banyak terobosan di peraturan yang dirindukan itu. Dari yang sedikit itu, ada beberapa hal baru: perpanjangan kontrak dapat dilakukan paling cepat 10 tahun atau paling lambat 20 tahun sebelum kontrak berakhir (Pasal 28). Kontrak juga dapat diperpanjang selama 20 tahun setiap kali perpanjangan.
Sayangnya, PP Hulu belum menuntaskan persoalan pasokan gas bagi pasar domestik. Sebab, kontraktor hanya diwajibkan memasok gas maksimal 25 persen. Ketentuan ini sama persis dengan UU Migas Pasal 22 yang banyak diminta supaya diamendemen, antara lain oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Problem lain, pajak pertambahan nilai (PPN) dan bea masuk (BM) yang dipungut di muka, baik dalam kegiatan eksplorasi maupun produksi.
Dalam kontrak bagi hasil, PPN dan BM tidak dipungut karena sudah masuk pos penerimaan negara. Inilah yang menyebabkan 17 kontrak blok migas baru yang diteken tahun ini belum juga melakukan eksplorasi. Masalah ini hanya dijawab di satu pasal (35): "Kontraktor dapat memilih ketentuan kewajiban membayar pajak; apakah mengikuti ketentuan di bidang perpajakan yang berlaku saat kontrak diteken atau mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku."
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association, Suyitno Patmosukismo, kedua peraturan itu memerlukan peraturan turunan yang mengatur lebih detail, seperti problem PPN dan BM. Kini, PPN yang nyangkut di Departemen Keuangan mencapai Rp 1 triliun. "Kepastian pengembaliannya juga tidak ada," katanya.
Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro menjanjikan reformasi perpajakan sebagai prioritas pertama program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu. Sebab, kunci pertama investasi langsung adalah reformasi perpajakan. "Saya minta Menko Perekonomian dan sektor riil lain membantu melakukan reformasi pajak," katanya.
Akan halnya PP Hilir Migas, banyak problem di peraturan baru ini, misalnya harga jual BBM dan gas bumi di pasar domestik dilakukan sesuai dengan mekanisme pasar alias tanpa subsidi. Kemudian, pembukaan pasar dilakukan dengan memberi kesempatan yang sama besar kepada badan usaha lain maupun PT Pertamina mulai November 2005. Badan usaha pula yang bertanggung jawab menyiapkan ketersediaan pasokan BBM dan gas bumi di seluruh pelosok Tanah Air. Pengawasannya dilakukan Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas, yang dibentuk awal tahun ini.
Menurut Kepala Badan Pengatur, Tubagus Haryono, cukup sulit menerapkan mekanisme pasar pada produk BBM dan gas bumi, sebab kebijakan penetapan harga jual BBM masih di tangan pemerintah. "Saya usul pemerintah menaikkan harga BBM tanpa mencabut subsidi. Caranya, pemerintah mengurangi pajak kepada pengusaha angkot sehingga dia tidak perlu menaikkan ongkos angkut," ujarnya.
Harga jual ibarat duri dalam pembukaan pasar BBM. Pemain baru tak berani bersaing dengan Pertamina jika harga jual masih di bawah harga pasar seperti sekarang. Menurut Kepala Perwakilan Perdagangan dan Pengembangan Bisnis BP Indonesia, Suryanto, struktur harga jual dan fiskal masih menjadi persoalan investor untuk masuk ke pasar hilir. Karena itu, dia menunggu pedoman lebih lanjut.
BP sendiri berencana masuk ke pasar produk BBM khusus seperti BBM untuk pesawat terbang, kapal laut, industri, dan gas dalam tabung (LPG). Sedangkan bisnis retail BBM melalui pompa bensin lebih mundur ketimbang yang lain. "Pertamina sebagai leader price mestinya menaikkan harga BBM sesuai dengan keekonomiannya," katanya.
Demi menjamin ketersediaan BBM di seluruh Tanah Air, Badan Pengatur akan menyusun Pedoman Wilayah Distribusi Niaga. Prinsipnya, pedoman itu membagi wilayah niaga badan usaha menjadi dua kategori: boleh dan harus beroperasi. Jadi, setiap badan usaha yang mendapat wilayah niaga di pasar "gemuk" semacam Jawa atau Bali, juga harus beroperasi di pasar "kurus" seperti Papua. Untuk pasar gemuk, harga jual ditentukan pasar, sedangkan di daerah kurus ada subsidi ongkos transportasi.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo