Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JENDERAL pensiunan itu bicara menggebu-gebu. Sesekali, dua jarinya menotok-notok meja di depannya. Begitulah Komisaris Utama Kiani Kertas, Luhut Binsar Panjaitan, meluapkan kejengkelannya. Perusahaannya sudah mengajukan proposal penyelesaian utangnya ke Bank Mandiri. Tapi sampai sekarang tak ada jawaban resmi dari bank terbesar milik pemerintah itu. "Saya capek berdiplomasi, dan siap perang dengan mereka," katanya.
Kiani Kertas berutang US$ 170 juta di bank tersebut. Ini bermula dua tahun lalu, ketika Luhut dan Prabowo Subianto membeli utang perusahaan yang dulu milik Bob Hasan itu dari BPPN seharga US$ 200 juta melalui Konsorsium Anugera Cipta Investama. Mandiri mengucurkan US$ 170 juta untuk pinjaman yang masih layak ditanggung. Dua pensiunan jenderal itu menginjeksikan US$ 30 juta sebagai penyertaan ke BPPN dan US$ 30 juta lagi untuk modal kerja. Utang harus direstrukturisasi dalam tempo setahun.
Setahun setelah pembelian, ternyata keduanya gagal merestrukturisasi utang Kiani, sehingga Bank Mandiri melakukan pencadangan seratus persen. Bank pelat merah itu kemudian meminta perpanjangan restrukturisasi ke Bank Indonesia. Deputi Direktur Pengawasan Bank II Bank Indonesia, Wiraguna Bagus Oka, mengatakan belum menerima permintaan itu. "Ini kredit besar, lho, kami harus mempelajari alasannya," katanya.
Luhut meminta agar semua yang terkait dengan soal utang ini bersikap realistis. Menyelesaikan utang segede itu dalam setahun jelas bukan perkara gampang. "Kalau mereka bisa, saya juga bisa," katanya dengan suara kencang. "Nyatanya tidak ada yang bisa. Kita bukan dewa. Yang jelas, kami tidak mencuri."
Sejumlah investor diundang menjadi pemegang saham sekaligus menambal modal kerja yang dibutuhkan perusahaan bubur kertas ini. Mandiri mensyaratkan investor harus menyuntikkan modal kerja US$ 50 juta. Banyak investor datang-pergi. Ashmore Investment Management dari London, yang dinilai paling serius, belakangan batal masuk.
"Forget it," kata Luhut, ketika ditanya mengenai batalnya Ashmore menjadi pemegang saham baru. Investor asing, katanya, selalu ingin menjadi mayoritas. Dia lalu menawarkan pola penyelesaian utang baru kepada Bank Mandiri. Dalam proposal, dia meminta agar US$ 20 juta yang sudah dikucurkan untuk operasional Kiani dihitung sebagai modal kerja. Sisanya, US$ 30 juta, akan dicari dari investor lainnya.
Menurut dia, ada satu investor bernama Novela yang berminat melakukan investasi di perusahaan bubur kertas itu. Memang, kata Luhut, investor ini tak akan membawa duit kontan. Novela akan menyetor modal dalam bentuk bahan baku kayu, suku cadang mesin, minyak, dan berbagai pengeluaran lainnya. Bank Mandiri bisa mengaudit pembelian itu. Tapi Mandiri tak setuju.
Mereka ingin benar-benar uang kontan. Setelah itu, Mandiri baru akan mengucurkannya sebagai modal kerja. Luhut kesal karena sikap Mandiri itu membuat penyelesaian utang terhambat. Apalagi sebagian besar direksi di bank itu sudah akur dengan pola yang dia tawarkan. "Cuma satu yang tidak setuju," katanya jengkel, tanpa menyebut nama.
Luhut yakin betul, kalau usulnya direstui, penyelesaian utang selangkah lebih maju. Bahkan bukan tak mungkin persoalan ini bisa selesai seluruhnya pada awal tahun depan. Kalau itu terjadi, kata Luhut, kinerja Kiani akan melesat bak anak panah. Permintaan pasar cukup tinggi. Tapi, karena kurang modal, mereka tak bisa memenuhi seluruhnya.
Sekarang saja, tanpa bantuan modal kerja sepeser pun, produksi perusahaan kertas ini naik hampir 50 persen. Setiap hari perusahaan yang pabriknya ada di Berau, Kalimantan Timur, itu menghasilkan 1.400 ton bubur kertas. Ketika dua tahun lalu diambil dari BPPN, produksinya baru sekitar 1.000 ton. Kertas yang dihasilkan pun sudah seluruhnya prime A alias prima. Padahal, awalnya, perusahaan ini hanya mampu memproduksi kertas kualitas A sekitar 70 persen saja.
Itu bisa terjadi karena banyak suku cadang mesin yang diganti, yang menghabiskan duit jutaan dolar. "Kami hemat sana-sini agar modal kerja tetap ada," kata Luhut. Alhasil, 3.000 pegawai masih bisa dibayar, tak satu pun yang dirumahkan, dan masih bisa membeli suku cadang baru.
Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan ini menjamin, dengan modal kerja US$ 50 juta, tahun depan produksi Kiani bisa mencapai 500 ribu ton per tahun. Jumlah itu berarti pemasukan devisa US$ 250 juta ke kas negara tiap tahunnya. Dia menyerahkan semuanya kepada Bank Mandiri. Tanpa modal kerja, katanya, sebenarnya dia bisa membuat Kiani tetap hidup. Hanya, persoalan utang tak akan selesai dan membuat perusahaan tak bisa mencapai kapasitas produksinya yang mencapai 520 ribu ton per tahun.
Duit yang sudah dia keluarkan bersama Prabowo, US$ 60 juta, tak terbilang kecil. Sekarang ada tambahan US$ 20 juta. Dan Bank Mandiri, katanya, tetap mempersulit. "Aku enggak tahu lagi, biar perang sekalian saja," katanya. Dia mempertanyakan sikap Bank Mandiri yang seolah lepas tangan. Ketika mengambil kredit macet itu dari BPPN, Mandiri pasti sudah tahu kondisi Kiani sampai ke akar-akarnya.
Luhut menambahkan, Bank Mandiri juga ingkar janji. Saat pengambilan aset kredit, mereka berjanji memberikan modal kerja. Pada kenyataannya, modal tak pernah mengucur lagi dari Mandiri. Dia sudah berusaha mencari investor. Tapi selalu gagal karena kebanyakan investor ingin menjadi mayoritas. "Mungkin mereka menganggap kami bego," katanya.
Dia menyoroti perlakuan Bank Mandiri yang tidak adil. Perusahaan lain yang diambil Bank Mandiri dari BPPN tidak diharuskan menyetor dana segar. Padahal dia dan Prabowo sudah menyetorkan dana kontan US$ 30 juta. "Dua pensiunan jenderal ini tak sehebat perusahaan kertas lainnya, tapi kami benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini," katanya. Dia melihat ada upaya pihak tertentu untuk menekannya. Seorang pengusaha pernah meminta dia agar "melempar handuk" sebagai tanda menyerah. Luhut menegaskan tak akan pernah melakukan itu.
Direktur Korporasi Bank Mandiri, Sholeh Tasripan, mengatakan perundingan masih belum final. Bank Mandiri sudah mencadangkan utang macet tersebut sampai 100 persen. Berbeda dengan pernyataan Luhut yang mengatakan tak memberikan duit kontan, Sholeh mengatakan duit US$ 15 juta sudah masuk ke Bank Mandiri. Dana itu, katanya, bagian dari modal US$ 50 juta yang disyaratkan Bank Mandiri. Cuma, Sholeh tak bersedia menjelaskan bagaimana peluang restrukturisasi ulang kredit Kiani.
Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, pun menolak berbicara. Ditemui sebelum serah terima jabatan Menteri Negara BUMN, pekan lalu, dia mengatakan semua sedang dibicarakan. "Tunggu saja sampai selesai," katanya. Agaknya, kasus Kiani akan tergantung paling tidak sampai akhir tahun ini. Meleset jauh dari yang pernah diungkapkan Neloe.
Meskipun Mandiri sudah mencadangkan dan memasukkan Kiani dalam kredit macet, toh satu hal patut dicatat: sejak kredit macet ini masuk ke BPPN pada 1999, posisi Kiani masih seperti yang dulu. Masih saja macet alias masuk kategori lima. Bedanya, dulu kredit ini berada di tangan BPPN, tapi kini ada di tangan Mandiri dan kedua jenderal itu. Ini akan menjadi coreng di muka Bank Mandiri.
Leanika Tanjung, S.S. Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo