Tahun depan, tagihan rekening listrik bisa saja membengkak lagi. Bukan karena harga minyak naik, tapi semata-mata lantaran PLN ingin menaikkan harga setrumnya sekitar 10 persen setiap tiga bulan. Dan usul ini sedang dibahas di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Jika Departemen dan DPR setuju, beban yang harus ditanggung pelanggan akan lebih besar dibanding tahun ini. Padahal, dengan kenaikan tarif 6 persen tiap tiga bulan, PLN sudah cukup menuai protes dari tiap lapisan pelanggan. Masalahnya, mengapa kenaikan yang 6 persen itu tidak juga cukup.
Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin diperlukan audit besar-besaran terhadap PLN. Yang pasti, perusahaan pemasok listrik yang memegang monopoli ini sedang dikejar setoran. Akhir tahun 2005 mendatang, PLN mematok target tarif listrik sekitar 7 sen dolar (kurang-lebih Rp 700) per kilowatt jam (kWh)—nyaris mendekati harga yang dibayar pelanggan sebelum krisis. Soalnya, dengan harga rata-rata sekarang sekitar 4 sen dolar per kWh, PLN pasti tekor. Tahun lalu, misalnya, kerugian operasional mencapai Rp 3 triliun.
Pemerintah juga harus siap menggelontorkan dana segar ke kas PLN. Menurut Luluk Lumiarso, Direktur Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi, sepanjang tahun lalu pemerintah telah mengucurkan sekitar Rp 2,8 triliun. Berbeda dengan tahun sebelumnya, subsidi tahun lalu bukan dihitung berdasarkan kerugian operasional PLN, melainkan selisih antara harga yang dibayar oleh konsumen rumah tangga dalam kelompok R1 (pelanggan dengan kapasitas 450 volt ampere) dan harga pokok penjualan (HPP).
Selain itu, PLN juga tak sanggup membangun pembangkit baru lantaran tak punya uang. Dengan biaya rata-rata sekitar Rp 30 triliun untuk satu pembangkit, PLN jelas tak mampu. "Duit dari mana? Pendapatan PLN saja enggak sampai segitu," ucap Direktur Utama PLN, Eddie Widhiono Suwondo.
Di sisi lain, pasokan listrik tahun depan makin tipis. Permintaan akan sambungan baru juga tak bisa dipenuhi seluruhnya karena pembangunan infrastruktur yang macet. Satu-satunya jalan adalah mengundang investor ke sektor ini. Padahal tidak mudah menarik mereka—bahkan PLN harus menawarkan kompensasi dan iming-iming lainnya. Selain modal yang diperlukan sangat besar, investor juga tak mau merugi. Nah, agar tidak bobol, tarif listrik harus dikerek hingga 7 sen dolar per kWh. Pada kisaran ini, menurut Eddie, investor dijamin akan antre untuk menanamkan uangnya.
Namun, masalahnya tak segampang itu. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indah Sukmaningsih, menyatakan seharusnya tarif listrik tak perlu naik lagi. Sebab, meski tarif listrik naik, kualitas pelayanan terhadap masyarakat juga tidak kunjung membaik.
Sedangkan Irwan Prayitno, anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah energi dan sumber daya mineral, mengatakan bahwa, sebelum menuntut kenaikan tarif, PLN harus bisa memenuhi fungsi sosial yang dibebankan. "Bukan sebaliknya, menuntut kenaikan tarif tapi rakyat tidak dipuaskan," ujarnya.
Masalah lainnya, bisik sumber di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, PLN juga tak mampu menekan inefiensi. Tiap tahun angka inefisiensi terus merangkak naik. Tahun lalu kebocoran mencapai sekitar 14 persen. Dan pada triwulan pertama tahun ini kebocoran naik menjadi 15 persen.
Di luar masalah teknis, sumber tersebut memperkirakan sekitar Rp 560 miliar dari pendapatan operasional PLN tahun lalu menguap entah ke mana. Penyebab utama adalah pencurian listrik yang tak kunjung serius ditangani. PLN juga keteteran mengurangi jumlah gangguan listrik, yang angkanya selalu lebih tinggi dibanding target dalam rencana kerja. Tahun lalu gangguan listrik terjadi sekitar 19 kali per tahun—rata-rata selama 17 jam. Padahal, idealnya, gangguan hanya terjadi sekitar empat kali per tahun dan paling lama sekitar 8 jam saja.
Kata sepakat untuk menentukan besaran tarif baru memang belum tercapai. Direktur Jenderal Luluk juga menjanjikan kenaikan tarif tahun depan tak lebih dari 6 persen. Selain itu, pemerintah akan memilah mana ongkos yang layak dibebankan ke pelanggan dan mana yang harus ditanggung PLN. Inefisiensi, menurut lelaki asal Ponorogo ini, adalah salah satu komponen yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawab pelanggan.
Pendapat Luluk sepenuhnya benar dan menunjukkan adanya kesadaran untuk bersikap fair kepada pelanggan. Tapi tak semua jajaran PLN seperti Luluk. Andaikata pembelaan YLKI tak cukup ampuh, barangkali masyarakat pelanggan harus menggalang class action terhadap PLN. Itu pun bisa gagal, persis seperti yang dialami para ibu penggerak class action yang memprotes kenaikan harga gas elpiji dari Pertamina, tahun lalu. Dan seperti PLN, Pertamina juga tak peduli. Bahkan, seperti PLN juga, Pertamina berencana menaikkan lagi harga gas tahun depan.
Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini