SATU skor kemenangan lagi buat Sjamsul Nursalim. Konglomerat pengutang BLBI terbesar yang sampai kini hidup enak di Singapura itu akan menerima keringanan utang alias diskon, sesuai dengan keputusan yang diambil Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Singkat cerita, Sjamsul boleh menutup kekurangan setoran tunainya yang Rp 1 triliun dengan setoran aset. Keputusan ini ditetapkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional pertengahan September lalu, tapi baru terkuak ke khayalak setelah dilansir oleh Moelyati Gozali, Direktur Keuangan Gadjah Tunggal—salah satu induk usaha Sjamsul Nursalim—awal pekan lalu.
Kewajiban tunai ini adalah bagian dari utang Sjamsul yang jumlahnya sekitar Rp 40 triliun. Sebagian dari utang itu dianggap lunas setelah ia menyerahkan Bank Dagang Nasional Indonesia kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada April 1998. Toh, utangnya masih tersisa sebesar Rp 28,5 triliun. Nah, untuk utang segunung ini, pelunasannya melalui skema master of settlement and acquisition agreement(MSAA) yang diteken pada September 1998.
Skema MSAA juga menyebutkan bahwa sebesar Rp 1 triliun dari utang itu harus dibayar tunai. Sisanya yang Rp 27,5 triliun? Konglomerat ini harus menyerahkan sejumlah perusahaannya kepada negara. Menurut Sjamsul, yang kini mengendalikan bisnisnya dari Singapura, pihaknya mematuhi perjanjian tersebut. Uang telah disetor, ditambah 12 perusahaan. Lalu, pada Mei 1999, ditekenlah closing agreement atau kesepakatan terakhir yang menunjukkan bahwa perkara utang telah selesai. Sjamsul Nursalim pun menganggap utangnya sudah lunas.
Kesepakatan ini ternyata compang-camping di sana-sini. Belakangan baru diketahui bahwa sebagian dari perusahaan yang disetor sudah kosong melompong. Nilainya anjlok. Bahkan disebut-sebut bahwa total nilai perusahaan yang diserahkan itu cuma Rp 4,1 triliun. Sjamsul Nursalim menipu BPPN? Belum ada putusan hukum tentang itu. Kepada TEMPO, debitor ini pernah menjelaskan bahwa merosotnya nilai aset itu karena jungkir baliknya nilai rupiah terhadap dolar AS. "Mana ada perusahaan yang harganya mahal dalam situasi krisis seperti ini?" ujar petambak udang asal Lampung itu.
Versi Sjamsul dan versi kejaksaan jelas berbeda. Lembaga penuntut umum ini memperkirakan konglomerat itu telah menyelewengkan dana negara sebesar Rp 10,09 triliun. Karena "dosanya" itu, ia sempat dipenjarakan di rumah tahanan Kejaksaan Agung, April 2001. Tapi ia hanya semalam di situ karena jantungnya berulah secara mengkhawatirkan. Berbekal izin Jaksa Agung (waktu itu) Marzuki Darusman, ia lalu terbang ke Fukuoka, Jepang, untuk berobat.
Selang beberapa bulan, Sjamsul, yang pulih kesehatannya, bukannya kembali ke Indonesia, malah menetap di Singapura. Masyarakat berspekulasi, karena Abdurrahman Wahid sudah dilengserkan dan Megawati—yang berniat menumpas korupsi, kolusi, dan nepotisme—menggantikannya sebagai presiden, "dosa-dosa" Sjamsul akan dibawa ke pengadilan. Ternyata konglomerat yang paling banyak menerima bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini sampai sekarang tak terjerat tangan hukum. Kejaksaan memang mengancam akan memaksa pulang si "Raja Udang" ke Jakarta, tapi tak berusaha membuktikannya.
Bukan cuma itu. Dana Rp 1 triliun—yang harus dibayar tunai—sampai kini tak lunas-lunas juga. Ternyata baru Rp 572 miliar yang dibayar. Sisanya sebesar Rp 428 miliar tak kunjung disetor. Tampaknya, bekas bos Gadjah Tunggal itu, selain kebal hukum, belakangan malah diberi diskon oleh BPPN. Institusi yang dipimpin Syafruddin Temenggung ini memutuskan, cuma Rp 250 miliar dari sisa utang Sjamsul Nursalim yang perlu dibayar tunai, sedangkan sisanya sebesar Rp 178 miliar boleh dilunasi dengan menyetor aset lagi.
Tak jelas apa dasar hukum dari perubahan kebijakan BPPN tersebut. Yang pasti, dengan keringanan itu, BPPN sudah melanggar rambu-rambu yang dibuatnya sendiri. Apakah dengan keputusan itu BPPN melawan hukum atau tidak, yang jelas, negara dirugikan lagi, sementara Sjamsul Nursalim untuk kesekian kalinya mencetak kemenangan. Rrrrruar biasa!
Sejauh ini, belum ada pihak berwenang yang bertindak. Memang kecaman datang dari sejumlah kalangan. Mar'ie Muhammad, Ketua Komite Pemantau BPPN (Oversight Committee BPPN), memprotes keras. Katanya, keputusan itu terang-terangan melanggar perjanjian yang disepakati sebelumnya, yakni bahwa Sjamsul harus membayar tunai Rp 1 triliun. Jadi? "Nursalim tetap harus membayar sisa kewajibannya dengan uang tunai," Mar'ie menegaskan di depan wartawan pekan lalu.
Sebelum melansir protes terbuka itu, Komite Pemantau telah mengirim surat kepada BPPN pada 23 September lalu. Isinya? Meminta penjelasan atas perubahan skema pelunasan utang Sjamsul Nursalim. Ini merupakan reaksi atas informasi yang dilansir sebuah situs berita. Di situs ini, Deputi Kepala BPPN Bidang Asset Management Investment, Taufik Maroef, menyampaikan bahwa sisa kewajiban tunai Sjamsul dapat dilunasi dengan cara menyetor aset.
Komite Pemantau BPPN juga menilai bahwa keputusan BPPN itu meremehkan keputusan sidang kabinet 7 Maret 2002 lalu, yang isinya membatalkan rencana perpanjangan masa pembayaran utang BLBI, termasuk utang Sjamsul. Menurut Komite Pemantau, keputusan BPPN itu juga menelikung kebijakan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuk 18 Maret lalu, soal penyelesaian utang debitor kakap. Tim pemantau juga mengoreksi bahwa sisa kewajiban tunai konglomerat itu berjumlah Rp 648 miliar, bukan cuma Rp 428 miliar sebagaimana disebut-sebut oleh BPPN dan pihak Sjamsul.
Protes keras juga datang dari anggota komisi keuangan di DPR. "Itu hanya akal-akalan Nursalim. BPPN jangan main-main, karena lembaga itu sudah banyak disorot negatif," kata Syamsul Balda, anggota komisi itu, sebagaimana dikutip Koran Tempo.
Tapi bak kata pepatah, "anjing menggonggong, kafilah berlalu," BPPN begitu pula. Tak ada tanda-tanda bahwa lembaga penyehatan perbankan itu merasa berbuat janggal dan melakukan penyimpangan. Menurut Taufik Maroef, keputusan itu cukup proporsional. Saat perjanjian MSAA diteken, pemerintah berharap pengusaha bisa melakukan segenap butir perjanjian yang tercantum di situ. Padahal—kata Taufik—dalam kondisi ekonomi seperti sekarang, harapan itu terlalu di awang-awang. Jadi? "Bagi saya, yang penting adalah penyelesaian masalah, dia bisa membayar tunai dan nontunai," kata Taufik Maroef. Ia juga menjamin bahwa aset yang akan disetor Sjamsul Nursalim akan dievaluasi secara ketat.
Kalau tak salah, diskon utang alias bonus untuk Sjamsul itu tidak termasuk dalam sejumlah solusi yang diusulkan oleh Tim Bantuan Hukum (TBH) beberapa waktu lalu. TBH justru menyarankan agar obligor besar yang tidak menunjukkan iktikad untuk melunasi utangnya diproses secara hukum. Alternatif ini paling pas untuk konglomerat seperti Sjamsul Nursalim, yang aset-asetnya sudah tidak ada harganya lagi. Bila BPPN masih mau menerima aset yang tidak ada harganya itu untuk menutup setoran utang, berarti lembaga ini juga bermasalah. Dalam hal ini, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi—yang menjadi atasan BPPN—tidak dibenarkan untuk lebih lama berdiam diri. Kecuali memang ada "petunjuk" dari yang lebih atas, yang mengharuskannya bersikap demikian.
Wens Manggut, Levianer Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini