KONGLOMERAT yang berutang, institusi pemerintah yang cakar-cakaran. Dua institusi yang berseteru itu adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di satu pihak dan Komite Pemantau BPPN di pihak lain. September lalu, komite yang dipimpin bekas Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad ini mengirim rekomendasi ke BPPN dengan pesan agar sisa kewajiban tunai Sjamsul Nursalim tetap harus dibayar tunai. Tapi rupa-rupanya BPPN sudah bersepakat dengan pihak Sjamsul bahwa sisa utang itu tak harus dibayar tunai.
"Kami akan membayar tunai sebesar Rp 250 miliar dan sisanya sebesar Rp 178 miliar berupa aset-aset yang likuid," ujar Moelyati Gozali, petinggi Grup Gadjah Tunggal. Ini berarti rekomendasi dari pihak Mar'ie dilangkahi begitu saja. Sebetulnya, pada 5 Agustus lalu, Komite Pemantau juga pernah mengirim memo khusus ke BPPN. Isinya mempertanyakan nasib memo sebelumnya—yang dikirim 9 Agustus 2001—mengenai audit terhadap divisi treasury. Ini aneh karena komite tersebut mengirim memo khusus hanya untuk mengingatkan agar memo yang berumur satu tahun ditindaklanjuti.
Sebelumnya, 17 Mei 2002, komite tersebut juga mengirim rekomendasi ke BPPN yang meminta agar lembaga itu menghemat pengeluarannya. Komite Pemantau juga mengusulkan agar BPPN mengevaluasi lagi sejumlah konsultan yang dipakainya agar tidak terjadi pemborosan. Dalam surat yang sama, komite itu merekomendasikan agar petinggi BPPN cukup menggunakan pesawat kelas bisnis dan bukan yang first class.
Jauh sebelumnya, 18 Januari 2001, Komite Pemantau memprotes keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) bertanggal 16 November 2001, yang menyatakan bahwa dalam rangka memaksimalkan penjualan aset, BPPN boleh memberikan insentif, juga penalti, kepada manajemen dan karyawan demi mendukung proses penjualan. Besarnya insentif 0,5 hingga 1,5 persen dari hasil penjualan aset. Komite Pemantau meminta agar keputusan itu dicabut karena tidak ada dasar hukumnya. Di luar itu, masih ada puluhan rekomendasi lain dari Komite Pemantau untuk BPPN dan beberapa lembaga lain.
Tapi, karena "fatwa" komite tersebut tidak mengikat, rekomendasinya jarang sekali dijadikan acuan, baik oleh BPPN maupun oleh lembaga lain. Pendeknya, dijadikan acuan boleh, dibuang ke tempat sampah juga tidak apa-apa. Dalam kasus Sjamsul Nursalim ini, tak bisa dimungkiri lagi bahwa rekomendasi Komite Pemantau BPPN telah tidak dihargai sebagaimana mestinya.
Wenseslaus Manggut, Levianer Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini