Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pro Kontra Pernyataan Prabowo Soal Deforestasi untuk Perluas Lahan Sawit: dari Apkasindo hingga Greenpeace

Pernyataan kontroversial Presiden Prabowo Subianto tentang perlunya perluasan kebun sawit termasuk dengan deforestasi menimbulkan pro dan kontra.

6 Januari 2025 | 16.49 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemandangan udara terlihat dari kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, 6 Juli 2010. REUTERS/Crack Palinggi/File Foto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan kontroversial Presiden Prabowo Subianto tentang perlunya perluasan kebun sawit termasuk dengan melakukan deforestasi atau penggundulan hutan, banyak mendapat sorotan dan tanggapan baik yang pro maupun kontra.

"Saya kira ke depan kita harus tambah tanam sawit. Nggak usah takut membahayakan, deforestasi," kata Prabowo dalam pidatonya di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Bappenas, Senin, 30 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, lahan kelapa sawit di Indonesia perlu ditambah. Sebab, kelapa sawit menjadi komoditas strategis. Menurut Prabowo, saat dia melakukan lawatannya ke luar negeri banyak negara yang berharap mendapat pasokan produk sawit dari Indonesia.

Prabowo berujar, kelapa sawit merupakan pohon dan memiliki daun. Karena itu, tanaman ini bisa menyerap karbondioksida. "Dari mana kok kita dituduh yang mboten-mboten saja (yang tidak-tidak) oleh orang-orang itu."

Pernyataan itu disambut gembira pengusaha sawit. Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan sebanyak 17 juta petani mendukung gagasan Presiden Prabowo mengenai kelapa sawit yang harus dikawal bersama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Apkasindo memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo terkait kebijakan sawit tersebut. 17 juta kepala keluarga petani sawit dari Aceh hingga Papua memberikan dukungan penuh," kata Gulat dalam keterangan di Jakarta, Senin, 6 Januari 2025, seperti dikutip Antara.

Menurut Gulat, kelapa sawit merupakan anugerah Tuhan kepada Indonesia. Negara lain sangat mendambakan sawit dapat tumbuh dengan berbagai modifikasi lingkungan tapi produktivitasnya jauh di bawah ekonomis.

"Jadi anugerah tadi sudah sewajarnya menjadi daya tawar Indonesia kepada dunia," ujarnya.

Menurut dia, faktanya selama ini terlampau bebas siapa pun menyudutkan sawit tanpa ada perlindungan regulasi yang kokoh terhadap komoditas strategis sawit

"Jadi kami petani sawit sangat bangga dan terharu atas pidato Presiden tersebut,” kata Gulat.

Gulat mengatakan arahan presiden tentang membuka kebun sawit yang baru seharusnya dibaca dalam arti luas untuk produktivitas sawit. Di mana, untuk meningkatkan produktivitas sawit itu dapat dilakukan melalui dua cara.

Pertama, replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR) yang dikenal dengan intensifikasi atau huluisasi. Kebijakan replanting tersebut dapat membuat produktivitas sawit rakyat naik 3-4 kali lipat.

Kedua, strategi ekstensifikasi atau menambah luas lahan sawit. Menurut dia, harapan ini sangat terbuka mengingat hutan Indonesia masih jauh lebih luas di atas standar minimum (hutan vs non-hutan).

Namun, Gulat menyarankan lebih mengoptimalkan tanah terdegradasi atau terlantar, eks pertambangan atau klaim kawasan hutan yang sudah tidak berhutan sebagaimana rekomendasi hasil riset Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB tahun 2023.

Suara Menentang Deforetasi untuk Sawit

Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan konversi wilayah hutan dan gambut menjadi perkebunan sawit baru akan mengakibatkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan berdampak pada lingkungan.

"Penelitian yang mengatakan bahwa pembukaan lahan sawit, konversi gambut menuju sawit, konversi hutan alam menuju sawit itu malah mengakibatkan emisi dan itu sudah sangat banyak sekali jurnal ilmiahnya," ujar Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto kepada Antara di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2024.

Dia menjelaskan bahwa tidak semua vegetasi berdaun hijau dapat memiliki peran yang sama dalam menyimpan karbon, apalagi ditambah pembukaan lahan yang tadinya hutan alam dan wilayah gambut alami dapat mengakibatkan pelepasan emisi.

"Karena pergantian antara penyerap karbon dengan hutan alam, lalu dibuka, dia sudah melepas, lalu nanti misalnya kalau mau pakai fairly speaking ditanam sawit yang butuh waktu untuk tumbuh sehingga baru ketika dia dewasa dia bisa menyerap emisi, offset-nya itu tidak sama. Offset yang dilepas dengan yang diserap, itu jauh berbeda," ujarnya.

Menurut dia, ekosistem kompleks hujan yang memiliki keanekaragaman hayati, memiliki banyak peran tidak hanya untuk emisi GRK tetapi juga fungsi lain termasuk mendukung siklus air.

Menanggapi rencana pemerintah untuk memanfaatkan hutan yang teridentifikasi seluas 20 juta hektare untuk kebutuhan pangan, energi dan air, serta pernyataan bahwa sawit tidak menciptakan deforestasi, Giorgio mendorong pemerintah agar terus berkomunikasi dengan pakar untuk menghasilkan kebijakan berdasarkan sains.

Greenpeace Indonesia menilai rencana deforestasi untuk pembukaan lahan sawit dan 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi yang disampaikan oleh Presiden Prabowo dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, akan menimbulkan banyak kesengsaraan di masyarakat. 

"Dampak buruknya akan sangat dirasakan, saat ini saja yang dampak iklim banyak terjadi, seperti banjir, kekeringan kehilangan akses terhadap pangan, kebakaran," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Muhammad Iqbal Damanik saat dihubungi pada Sabtu, 4 Januari 2024.

Menurut Iqbal, membabat hutan seluas dua puluh hektare dengan alasan menyediakan cadangan pangan dan energi adalah pikiran yang salah kaprah, lantaran salah satu fungsi hutan justru menyimpan cadangan air.

"Hutan itu sebagaimana kita lihat di atas, sebegitu lah dia juga akar-akarnya menyebar di bawah tanah dan itu menyimpan cadangan air. Jadi kalau itu dibuka, ya airnya akan lepas," ucap Iqbal. 

Selain itu, dia menilai pandangan pemerintah yang salah lainnya adalah berfikir kalau hutan itu adalah sebuah lahan yang kosong, sesuatu yang tidak dimanfaatkan. Padahal, di situ ada masyarakat lokal dan adat yang menggantungkan kehidupannya pada hutan.

"Jadi hutan ini seperti supermarket mereka, menyediakan lahan pangan, menyediakan kebutuhan air," tutur Iqbal.  

"Makanya sangat bertolak belakang dengan ketahanan pangan dan air. Hutannya terbuka ya airnya enggak ada. Karena dia akan lepas tidak tertampung," katanya.

Dede Leni Mardianti, Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus