SUASANA riuh tertawa mengiringi para delegasi yang keluar dari
ruang sidang di Hotel Amstel, tempat berlangsungnya konperensi
IGGI (kelompok negara donor yang membantu Indonesia) ke-25, pada
9 Juni siang. Widjojo Nitisastro, ketua delegasi Indonesia,
bersama Rachmat Saleh, Gubernur Bank Indonesia, termasuk yang
tertawa paling keras.
Sidang di tepi Sungai Amstel yang sedianya berlangsung tiga
hari, dan baru akan ditutup pada 10 Juni itu, berakhir lebih
cepat sehari. Dan bantuan berupa pinjaman yang umumnya berjangka
panjang dan bersifat lunak, berhasil diperoleh sebanyak US$ 1,9
milyar lebih sedikit untuk tahun 1982/1983 -- US$ 75 juta lebih
banyak dari komitmen tahun lalu.
"Lumayan," ucap Rachmat Saleh. Menurut Gubernur BI itu, jumlah
seluruhnya di bulan September nanti akan mencapai di atas US$ 2
milyar. Jerman Barat, Inggris, dan Swiss, misalnya, belum
menyatakan jumlah yang mereka sediakan, karena masih ada yang
harus dihitung.
Sekalipun demikian, Gubernur BI itu memperkirakan pinjaman yang
akan masuk dari Jerman tak akan berkurang dari komitmen mereka
tahun lalu yang telah direalisasikan: sekitar US$ 65 juta. Swiss
yang bukan anggota juga bisa diandalkan. Tahun lalu bantuan yang
mengalir dari negeri netral di tropa itu mencapai Swiss Franc
6,5 juta atau sekitar US$ 3,2 juta kurs pekan lalu. Tapi dari
Inggris, seperti halnya Selandia Baru, masih sulit diduga.
Pinjaman dari kedua negeri itu untuk periode tahun lalu pun
sampai sekarang masih belum terwujud.
Adalah Italia yang kali ini meningkatkan jumlah pinjaman mereka
sampai lima kali, dari US$ 5 juta menjadi US$ 25 juta. Juga
Australia, yang bantuannya selalu berupa grant ("hadiah"),
meningkat dari sekitar US$ 36 juta menjadi US$ 39 juta.
Namun yang paling menarik adalah kasus pinjaman dari Belanda.
Sekalipun cuma naik 2 juta Gulden (sekitar US$ 600 ribu),
Belanda setiap kali memenuhi anjuran dari lembaga urusan bantuan
LN di PBB. "Ukuran bantuan Belanda kepada negara-negara
berkembang tidak tergantung dari anggaran belanja negaranya,
tapi diambil satu setengah persen dari GNP (pendapatan nasional)
mereka," kata Widjojo Nitisastro. Sembari menengok kepada Ketua
IGGI C.P. van Dijk yang duduk di sampingnya dalam konperensi
pers di Hotel Amstel, ketua delegasi Indonesia itu menambahkan
bahwa "sikap Belanda itu sesuai dengan perjuangan negara-negara
Dunia Ketiga yang tergabung dalam Kelompok '77 (UNCTAD).
Van Dijk, sehari-hari Menteri Kerjasama Pembangunan dalam
Kabinet Van Agt sekarang, menilai konperensi IGG yang baru kali
ini dipimpinnya itu sebagai "sangat berhasil". Ia menyokong
thema konperensi yang kini menekankan pada bidang pendidikan,
pengembangan sumber daya manusia dan perdagangan, khususnya
ekspor barang-barang setengah jadi, dan barang-barang jadi dari
Indonesia. "Perdagangan kini merupakan faktor penting untuk
menjaga momentum pembangunan di Indonesia," katanya. "Perlu ada
kemauan dari negara-negara Barat untuk membuka pintunya. "
Menjawab pertanyaan, Ketua IGGI yang ke-6 itu toh mengemukakan
keraguannya tentang akan berhasilnya ekspor yang dikaitkan itu,
yang tercakup dalam beleid paket ekspor Januari. "Negara-negara
Barat tak terbiasa melakukan perdagangan dengan sistem itu,"
katanya. "Saya pribadi beranggapan sistem pembelian yang
dikaitkan tersebut akan menimbulkan kekakuan (rigidities) dan
ketidakbiasaan (irregularities), dalam lalu lintas perdagangan."
Cara ekspor-impor yang satu ini kabarnya dipersoalkan oleh
banyak anggota. "Ada yang melihat hal itu perlu diperlunak, ada
pula yang meminta agar dihapuskan saja, khususnya tentang
sanksinya," kata seorang anggota delegasi kepada TEMPO.
Alhasil, atas permintaan Menko Ekuin Widjojo Nitisastro, dalam
konperensi pers yang banyak dihadiri para wartawan Belanda,
Dirjen Perdagangan LN Suhadi Mangkusuwondo mencoba menjelaskan
duduk soalnya. Menurut Suhadi suplemen dari beleid ekspor
Januari itu terpaksa diberlakukan justru untuk menjaga momentum
pembangunan di lndonesia.
Menurut Suhadi, sudah tujuh perusahaan asing yang menandatangani
sura untuk mematuhi ketentuan yang berlaku dalam ekspor yang
dikaitkan itu. "Termasuk bersedia membayar denda sebanyak 50%
dari nilai kontrak yang tak mereka penuhi," bila hal itu sampai
terjadi.
Dari tujuh perusahaan itu, menurut Suhadi, terdapat kasus
pembelian pupuk Bimas oleh Rumania, Jerman Barat dan Singapura
sebanyak 970 ribu ton. Sedang sebuah perusahaan di Singapura
yang lain, juga sudah menandatangani surat perjanjian untuk
membeli 12.000 ton pupuk TSP. "Dua perusahaan di Los Angeles dan
satu di New York yang sudah setuju," katanya. Dia mengakui semua
itu baru terbatas pada bidang yang melulu bersifat jual-beli,
dan belum sampai pada taraf pengaitan dengan barang-barang untuk
proyek-proyek investasi.
Para pengusaha di Belanda tampaknya ingin lebih banyak tahu
tentang paket ekspor baru Indonesia. Tak kurang dari 200
pengusaha yang tergabung dalam asosiasi pengusaha Belanda (VNO)
memenuhi ruang sidang Hotel Europa di Scheveningen siang 10
Juni. Tak banyak keluar pertanyaan dari mereka. Tapi beberapa
kembali mempersoalkan tentang kebijaksanaan ekspor yang
dikaitkan itu.
Di antara para pembicara adalah Dubes Belanda di Indonesia
L.H.J.B. van Gorkom, yang kelihatan berambisi agar hubungan
kedua negeri itu lebih banyak ditingkatkan. "Masih banyak
persamaan yang nampak antara kedua negeri ini," katanya
berapi-api. "Itu akan memungkinkan kedudukan yang agak khusus
dalam berdagang dengan Indonesia."
Dia mengakui sudah banyak usaha swasta Belanda berpromosi untuk
makin melebarkan sayap usahanya ke Indonesia. "Tapi umumnya tak
terjadi tindak lanjut, sehingga kehilangan momentum," kata Dubes
Van Gorkom. Mungkin dari Scheveningen ia ingin menyiapkan
momentum baru -- melihat prospek ekonomi di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini