SAMBIL meneguk ginger ale, Raymond Waldmann berkata, "brengsek!"
sisten Menteri Perdagangan AS ini gusar menanggapi Keputusan
Presiden No. 18 (12 April 1982) mengenai kebijaksanaan di
bidang pelayaran. Kendati mengaku belum membaca, dia menilai
"keputusan itu menibulkan persoalan rumit. Saya kira
pemerintah Indonesia memahami itu justru akan mengundang
pertentangan (kepentingan)."
Ditemui Minuk Sastrowardoyo dari TEMPO di Hotel Mandarin,
Jakarta Waldmann Senin itu baru saja menemui Menteri Perdagangan
dan Koperasi Radius Prawiro, dan Menteri Perindustrian A.R.
Soehoed. Kunjungannya ke Jakarta (13-15 Juni) khusus
membicarakan kebijaksanaan baru pelayaran itu, yang diduga akan
memukul perusahaan AS. Kenapa? Keppres NO. 18 itu mengharuskan
"pengangkutan muatan barang ekspor dan impor milik pemerintah
Indonesia dilakukan oleh kapal-kapal Indonesia. "
Washington kabarnya telah mengirim uota protes ke Deplu Rl. Tapi
Pejambon dikabarkan belum menerima nota protes itu.
Jepang juga menyatakan keberatan dengan kebijaksanaan itu --
sekalipun belum mengirimkan utusan ke Jakarta. Itu diungkapkan
Dirjen Biro Kerjasama Ekonomi Deplu Jepang Kenichi Yanagi dalam
sidang IGGI ke-25 di Amsterdam. Dia tak suka jika bantuan Jepang
(US$ 259,3 juta untuk tahun 1982/1983) yang berupa barang modal
harus diangkut perusahaan pelayaran Indonesia. Biasanya itu
diangkut perusahaan pelayaran Jepang.
Hal serupa juga sudah lama dilakukan perusahaan pelayaran AS.
Sekitar 70% kapal-kapal AS yang menuju Indonesia mengangkut
barang modal yang dibiayai pinjaman Washington. Mereka antara
lain mengangkut bahan kimia, beras, dan gandum, yang kabarnya
tak bisa ditangani perusahaan pelayaran Indonesia. Terutama LNG,
bahan kimia dan minyak, menurut Ketua Asosiasi Pemilik Kapal
Nasional (INSA) Budiardjo Sastrohadiwirjo, Indonesia "masih
tergantung pada perusahaan pelayaran asing. "
Menurut Waldmann, Keppres No. 18 bertentangan dengan peraturan
di AS (yang mengharuskan separuh barang dari hasil pinjaman
diangkut kapal AS) dan Trade Act 1974 (yang memperbolehkan
presiden AS membatalkan perdagangan dengan suatu negara yang
dianggap telah bertindak diskriminatil). Toh Budiardjo, yang
juga Presdir Perusahaan Pelayaran Trikora Lloyd, menilai
keputusan itu sangat bijaksana. "Proteksi terhadap pengangkutan
laut nasional sangat perlu," katanya kepada wartawan TEMPO
Yohannes Batubara.
Proteksi serupa (mulai berlaku 11 Juni) juga ditelurkan Presiden
Ferdinand Marcos dalam Memorandum No.3, sejalan dengan keputusan
peraturan pelayaran yang dihasilkan Kelompok '77 (UNCTAD):40%
untuk importir, 40% untuk eksportir, dan sisanya terbuka untuk
perusahaan pelayaran mana pun. Tapi ini ditolak oleh AS, yang
menilai pembagian barang tersebut bertentangan dengan pengertian
pasar bebas.
Seorang pejabat Indonesia beranggapan, Amerika tak perlu marah.
Sebab, Keppres itu, misalnya, masih memberi kelonggaran. Di
pasal tiga dijelaskan, jika ruang kapal (berbendera Indonesia
tidak tersedia, maka pengangkutan barang milik pemerintah
Indonesia bisa dilaksanakan oleh kapal lain yang dicarter
perusahaan pelayaran Indonesia. Juga, seperti kata Humas
Deperhub Abdullah, volume barang milik pemerintah cuma 40%.
Sisanya adalah milik "swasta".
Tapi benarkah kapal AS terpukul? "Kapal-kapal kami masih tetap
beroperasi seperti biasa," kata Aryanto Tjokronegoro SH, Manajer
Lalu-lintas American President Line kepada wartawan TEMPO Farida
Senjaya. Artinya dari 17 kapal peti kemas milik APL, empat di
antaranya masih melayari rute Oakland (Pantai Barat AS), Taiwan,
Hongkong, Singapura, dan Jakarta. Dua pekan sekali kapal APL
tiba di Jakarta mengangkut kapas, mesin, dan bahan baku plastik,
serta kembali ke AS dengan teh, kopi, dan pakaian jadi. Jika toh
keputusan itu benar dilaksanakan, "kami tinggal memindahkan
kapal-kapal kami ke negara Asia Tenggara yang lain," tukas
Aryanto.
Buat perusahaan pelayaran Indonesia, persoalannya tinggal
mengenai bea tambang (freight costs). Mengapalkan suatu barang
dari Singapura ke Eropa, misalnya, ternyata lebih murah jika itu
dilakukan dari Jakarta. Penyebab tingginya bea tambang dari
Jakarta itu antara lain, karena daya angkut kapal Indonesia
terlalu kecil, dan jika kembali ke Indonesia sering kosong.
Karena itulah -- sambil berusaha meningkatkan daya saing --
Budiardjo menyarankan agar perusahaan pelayaran menggunakan
kapal dengan daya angkut lebih tinggi.
Untuk meningkatkan daya saing pula, Budiardjo tampak setuju jika
pemerintah mau mensubsidi bea tambang, seperti halnya di AS.
Menurut dia, berbagai cara dilakukan suatu negara untuk
melindungi armada pelayarannya. Melalui bank ekspor-impor,
negara-negara Eropa Barat, misalnya, mengharuskan
barang-barangnya diangkut kapal negara bersangkutan. "L/C yang
dibuka Bank Eksim sampai menyebutkan hanya kapal tertentu yang
mengangkut," katanya.
Kendati berat, saran seperti itu, patut juga diperhatikan
pemerintah yang ingin mensukseskan kebijaksanaan paket ekspor
Januari. Dalam usaha itu, misalnya, pemerintah telah menunjuk
empat pelabuhan transito (Belawan, Tanjungpriok, Tanjungperak,
dan Ujungpandang).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini