Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kenapa gusar washington ?

Keppres no.18/1982 mengharuskan pengangkutan muatan barang ekspor dan impor milik pemerintah Indonesia dilakukan oleh kapal-kapal Indonesia. sempat menggusarkan AS dan Jepang. (eb)

19 Juni 1982 | 00.00 WIB

Kenapa gusar washington ?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SAMBIL meneguk ginger ale, Raymond Waldmann berkata, "brengsek!" sisten Menteri Perdagangan AS ini gusar menanggapi Keputusan Presiden No. 18 (12 April 1982) mengenai kebijaksanaan di bidang pelayaran. Kendati mengaku belum membaca, dia menilai "keputusan itu menibulkan persoalan rumit. Saya kira pemerintah Indonesia memahami itu justru akan mengundang pertentangan (kepentingan)." Ditemui Minuk Sastrowardoyo dari TEMPO di Hotel Mandarin, Jakarta Waldmann Senin itu baru saja menemui Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro, dan Menteri Perindustrian A.R. Soehoed. Kunjungannya ke Jakarta (13-15 Juni) khusus membicarakan kebijaksanaan baru pelayaran itu, yang diduga akan memukul perusahaan AS. Kenapa? Keppres NO. 18 itu mengharuskan "pengangkutan muatan barang ekspor dan impor milik pemerintah Indonesia dilakukan oleh kapal-kapal Indonesia. " Washington kabarnya telah mengirim uota protes ke Deplu Rl. Tapi Pejambon dikabarkan belum menerima nota protes itu. Jepang juga menyatakan keberatan dengan kebijaksanaan itu -- sekalipun belum mengirimkan utusan ke Jakarta. Itu diungkapkan Dirjen Biro Kerjasama Ekonomi Deplu Jepang Kenichi Yanagi dalam sidang IGGI ke-25 di Amsterdam. Dia tak suka jika bantuan Jepang (US$ 259,3 juta untuk tahun 1982/1983) yang berupa barang modal harus diangkut perusahaan pelayaran Indonesia. Biasanya itu diangkut perusahaan pelayaran Jepang. Hal serupa juga sudah lama dilakukan perusahaan pelayaran AS. Sekitar 70% kapal-kapal AS yang menuju Indonesia mengangkut barang modal yang dibiayai pinjaman Washington. Mereka antara lain mengangkut bahan kimia, beras, dan gandum, yang kabarnya tak bisa ditangani perusahaan pelayaran Indonesia. Terutama LNG, bahan kimia dan minyak, menurut Ketua Asosiasi Pemilik Kapal Nasional (INSA) Budiardjo Sastrohadiwirjo, Indonesia "masih tergantung pada perusahaan pelayaran asing. " Menurut Waldmann, Keppres No. 18 bertentangan dengan peraturan di AS (yang mengharuskan separuh barang dari hasil pinjaman diangkut kapal AS) dan Trade Act 1974 (yang memperbolehkan presiden AS membatalkan perdagangan dengan suatu negara yang dianggap telah bertindak diskriminatil). Toh Budiardjo, yang juga Presdir Perusahaan Pelayaran Trikora Lloyd, menilai keputusan itu sangat bijaksana. "Proteksi terhadap pengangkutan laut nasional sangat perlu," katanya kepada wartawan TEMPO Yohannes Batubara. Proteksi serupa (mulai berlaku 11 Juni) juga ditelurkan Presiden Ferdinand Marcos dalam Memorandum No.3, sejalan dengan keputusan peraturan pelayaran yang dihasilkan Kelompok '77 (UNCTAD):40% untuk importir, 40% untuk eksportir, dan sisanya terbuka untuk perusahaan pelayaran mana pun. Tapi ini ditolak oleh AS, yang menilai pembagian barang tersebut bertentangan dengan pengertian pasar bebas. Seorang pejabat Indonesia beranggapan, Amerika tak perlu marah. Sebab, Keppres itu, misalnya, masih memberi kelonggaran. Di pasal tiga dijelaskan, jika ruang kapal (berbendera Indonesia tidak tersedia, maka pengangkutan barang milik pemerintah Indonesia bisa dilaksanakan oleh kapal lain yang dicarter perusahaan pelayaran Indonesia. Juga, seperti kata Humas Deperhub Abdullah, volume barang milik pemerintah cuma 40%. Sisanya adalah milik "swasta". Tapi benarkah kapal AS terpukul? "Kapal-kapal kami masih tetap beroperasi seperti biasa," kata Aryanto Tjokronegoro SH, Manajer Lalu-lintas American President Line kepada wartawan TEMPO Farida Senjaya. Artinya dari 17 kapal peti kemas milik APL, empat di antaranya masih melayari rute Oakland (Pantai Barat AS), Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Jakarta. Dua pekan sekali kapal APL tiba di Jakarta mengangkut kapas, mesin, dan bahan baku plastik, serta kembali ke AS dengan teh, kopi, dan pakaian jadi. Jika toh keputusan itu benar dilaksanakan, "kami tinggal memindahkan kapal-kapal kami ke negara Asia Tenggara yang lain," tukas Aryanto. Buat perusahaan pelayaran Indonesia, persoalannya tinggal mengenai bea tambang (freight costs). Mengapalkan suatu barang dari Singapura ke Eropa, misalnya, ternyata lebih murah jika itu dilakukan dari Jakarta. Penyebab tingginya bea tambang dari Jakarta itu antara lain, karena daya angkut kapal Indonesia terlalu kecil, dan jika kembali ke Indonesia sering kosong. Karena itulah -- sambil berusaha meningkatkan daya saing -- Budiardjo menyarankan agar perusahaan pelayaran menggunakan kapal dengan daya angkut lebih tinggi. Untuk meningkatkan daya saing pula, Budiardjo tampak setuju jika pemerintah mau mensubsidi bea tambang, seperti halnya di AS. Menurut dia, berbagai cara dilakukan suatu negara untuk melindungi armada pelayarannya. Melalui bank ekspor-impor, negara-negara Eropa Barat, misalnya, mengharuskan barang-barangnya diangkut kapal negara bersangkutan. "L/C yang dibuka Bank Eksim sampai menyebutkan hanya kapal tertentu yang mengangkut," katanya. Kendati berat, saran seperti itu, patut juga diperhatikan pemerintah yang ingin mensukseskan kebijaksanaan paket ekspor Januari. Dalam usaha itu, misalnya, pemerintah telah menunjuk empat pelabuhan transito (Belawan, Tanjungpriok, Tanjungperak, dan Ujungpandang).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus