TOKO bahan bangunan Harapan Jaya, Senen, Jakarta, masih
memperdagangkan dua jenis seng yang sudah dilarang diproduksi:
jenis Bj LS 13 dan Bj LS 15. "Kalau itu harus dimusnahkan ya
sulit, saya kan hanya penjual saja," tutur pemilik toko itu. Ia
mengaku mendapatkan seng tipis itu dari pedagang besar di daerah
Kota.
Harga untuk kedua jenis seng itu memang sedikit murah. Untuk Bj
LS 15 hanya Rp 1.500, sedangkan Bj LS 18 Rp 1.600. Konsumen,
yang punya uang pas-pasan untuk membangun rumah, lebih suka
memilih Bj LS 15 atau Bj LS 13 (Baja lembaran Lapis Seng
berketebalan 0,13 mm, dan 0,15 mm).
Tapi tidak banyak orang mengetahui kedua jenis seng yang agak
murah itu "berbahaya untuk konsumen karena terlalu tipis. Jadi
cepat berkarat, mudah robek," kata Drs Tata CH. Syarif, Direktur
Evaluasi dan Standarisasi, Dirjen Industri Logam Dasar.
Sejak Juli 1980, Menteri Perindustrian A.R. Soehoed mengeluarkan
keputusan melarang produksi seng semacam itu yang mulai berlaku
sejak 31 Desember tahun lalu. "Masa tenggang selama itu
dimaksudkan agar produsen dapat menyesuaikan produksinya dengan
standar yang ditetapkan," ujar Tata. Sebelum keluar pelarangan
itu, Menteri sudah menetapkan Standar Industri Indonesia (SII)
untuk reproduksi baja termasuk seng. Kedua jenis seng itu
dinilai tidak memenuhi SII.
Tapi anehnya, setelah enam bulan pelarangan itu berlaku, pasar
bahan bangunan masih dipenuhi kedua jenis seng itu. Koran Kompas
mensinyalir, pabrik seng diam-diam masih memproduksi, dan
memasarkan kedua jenis seng itu dengan dalih menghabiskan stok
lama. Sementara itu, Suhendro Notowidjojo, Ketua Gabungan Pabrik
Seng Indonesia (Gapsi), mengungkapkan bahwa sejumlah produsen
telah menggunakan masa tenggang pelarangan (Juli 1980 --
Desember 1981) untuk memproduksi kedua jenis seng itu secara
besar-besaran. "Stok kedua jenis seng itu mungkin sekarang
sekitar enam juta lembar."
Untuk pembuatan Bj LS 13 dan 15 digunakan cold rolled steel
sheet yang hanya dihasilkan oleh produsen bahan baku di Jepang.
Eropa Barat dan AS tidak mau memproduksi jenis yang dianggap
"murahan" itu.
Larangan yang dikeluarkan Menteri Perindustrian tidak
mempengaruhi produsen di Indonesia. Sebab Departemen Perdagangan
dan Koperasi belum melarang peredaran seng itu.
Pejabat Humas Depdagkop, Drs Sjukri Alimudin mengatakan "Menteri
belum melarang peredaran seng itu, karena stok masih banyak di
pabrik, di tangan agen dan pengecer." Ia memperkirakan stok yang
ada itu baru akan habis 6 sampai 9 bulan lagi.
Banyak anggota Gapsi mengeluh atas pelarangan Menteri
Perindustrian itu. "Produsen tidak melihat bahaya penggunaan
kedua jenis seng itu," kata Sutianto, Manajer PT Keris Mas
Sukses. Berkata pula seorang staf PT Fumira, Dedin Z.
Soemaatmaja: "Sebenarnya produksi seng tipis itu untuk
menjangkau daya beli rakyat kecil, khususnya di luar Jawa." Di
antara semua pembeli di Sumatera, "70% memilih seng tipis,"
tambah Jan Wijaya, Direktur PT Polyguna Nusantara, Padang.
Menurut Suhendro, ada alasan lain dari pelarangan Departemen
Perindustrian itu. Yaitu rencana pemerintah memproduksi sendiri
bahan baku seng melalui PT Krakatau Steel untuk membuat seng
ketebalan 0,20 mm. "Saya tidak tahu alasan yang mana yang nomor
satu dan alasan mana nomor dua untuk pelarangan itu," kata
Suhendro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini