Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ramai-ramai terjun ke pulp

Industri pulp punya prospek cerah di indonesia. pt indorayon dan pt indah kiat meningkatkan kapasitas produksi. berdiri pt tanjung enim pulp & kertas milik siti hardiyanti. masih kekurangan kertas.

11 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RISIKO yang tinggi tidak perlu membuat mundur pengusaha. Setidaknya, sikap itu diperlihatkan oleh industriwan kertas di negeri ini. Terakhir, BKPM menerima tak kurang dari 10 permohonan pembukaan industri pulp (bubur kertas), tujuh di antaranya telah memperoleh izin investasi. Padahal, industri ini membutuhkan modal yang tidak sedikit. PT Tanjung Enim Pulp & Kertas adalah sebuah nama baru dengan target besar, yakni pemasok satu juta ton pulp plus 200 ribu ton rayon per tahun. Perusahaan ini kepunyaan Siti Hardiyanti Rukmana lebih dikenal sebagai Mbak Tutut -- dan raja kayu Prajogo Pangestu dari Barito Group. Investasinya diperkirakan tak kurang dari Rp 5 trilyun. Bob Hasan juga tak tinggal diam. Ia berencana mendirikan pabrik pulp yang sekaligus memproduksi kertas (di Tanjung Redep, Kal-Sel), dengan investasi tak kurang dari 1,1 milyar dolar. Atau sekitar Rp 2 trilyun. Mengapa begitu banyak yang tertarik untuk menggarap pulp dan kertas? Sukanto Tanoto dari PT Inti Indorayon tanpa ragu menjawab, "Kebutuhan pulp dari tahun ke tahun masih akan terus menaik." Karena itu, kapasitas produksi Indorayon akan dinaikkan menjadi 220 ribu ton per tahun (saat ini hanya 165 ribu ton), sedangkan Raja Garuda Mas, grup perusahaan milik Sukanto, kini bersiap-siap membangun pabrik pulp baru di Pekanbaru. Indoragon, yang baru saja mengekspor kertas ke ASEAN, Eropa, Jepang, dan Taiwan, pada semester I tahun ini sudah meraup laba Rp 50 milyar (target tahun 1990: Rp 100 milyar). Dengan prospek, secerah ini, "Investasi awal yang kami tanamkan (Rp 500 milyar) bisa kembali hanya- dalam waktu lima tahun," ujar Sukanto optimistis. Bos Indorayon ini merasa yakin, industri pulp Indonesia punya daya saing tinggi. Dari segi ongkos produksi, pulp Indonesia bisa 40% lebih murah dibandingkan dengan negara-negara Skandinavia -- penghasil pulp nomor dua di dunia, setelah Kanada. Di samping itu, posisi Indonesia yang dekat dengan pasar, "Membuat pulp kita lebih murah karena transportasinya tidak mahal," Sukanto menambahkan. Bob Hasan juga menyebut-nyebut bahan baku yang berlimpah dan buruh yang murah, sebagai dua faktor yang memungkinkan bisnis pulp dan kertas menyandang prospek cerah. Sedangkan Teguh Ganda Wijaya. Presdir PT Indah Kiat, ringan saja menyatakan, "Pasaran tidak ada masalah, selama kualitas dan harga bisa bersaing." Mengandalkan kerja sama dengan Chung Hwa dan Yuen Foong Yu -- keduanya pengusaha pulp dan kertas dari Taiwan -- Indah Kiat, akhir tahun ini, meningkatkan kapasitas produksi kertas sampai 344.000 ton, sedangkan target tahun 1992 adalah -900.000 ton per tahun untuk pulp dan 744.000 ton per tahun untuk kertas. Untuk bahan bakunya, Indah Kiat mengandalkan hutan (300.000 ha) di Provinsi Riau. Kendati para pengusaha kertas berlomba menambah kapasitas, seperti yang dikatakan Teguh Ganda Wijaya, kita kekurangan terus. Tak heran bila Pemerintah menargetkan pembangunan 20 pabrik pulp baru -- yang telah direkomendasi Departemen Perindustrian -- dengan total kapasitas 6 juta ton per tahun. Konsesi lahan yang dicadangkan untuk ke-20 pabrik itu mencapai 2 juta hektare. Kalau ekspansinya begitu cepat, bagaimana nasib hutan Indonesia? "Tak perlu khawatir, yang akan kami berikan adalah lahan yang tidak produktif," kata Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap. Memang, untuk produksi tahap pertama, Pemerintah memberikan hutan siap tebang. Tapi setelah itu, pengusaha harus bisa mengambil bahan baku dari lahan mereka sendiri. Sedangkan untuk mencegah pencemaran, Pemerintah telah membentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang mempunyai hak eksekutif. Yang melanggar standar pembuangan limbah di darat maupun di udara, "Pasti akan terkena sanksi," kata Menteri KLH Emil Salim. BK, Leila Chudori, Yudhi S. Nunik I.S.W., Dan Dwi Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus