KALANGAN pengusaha dan perbankan kini sudah kekeringan dana, tapi Pemerintah masih berupaya menyedot uang beredar. Apalagi Rabu pekan silam, Presiden Soeharto sudah berpesan agar inflasi dikendalikan. Nah, bagi BI memang tidak banyak pilihan. Membiarkan inflasi lari menggebu, jelas sangat tidak lucu. Inflasi Juli 1990, seperti yang dinyatakan Menteri Penerangan Harmoko --, sudah mencapai angka 2,21%. Sementara itu, inflasi pada semester pertama 1990 (Januari-Juni) tercatat 4,89%. Dihadapkan pada laju inflasi 7,10% itu, Bank Indonesia pun mengayunkan senjata pamungkasnya yang bernama Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Khusus mengenai SBI ini, Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy tampil di layar TVRI, pekan lalu. Dalam kesempatan itu Dr. Mooy mengundang masyarakat yang memiliki uang menganggur untuk menanamkannya dalam SBI. Surat berharga ini dapat dibeli lewat 15 lembaga keuangan pencipta pasar SBI market maker). Mereka adalah tujuh bank (Danamon, Bank Jakarta, Bank Niaga, Bank NISP, Bank Umum Nasional, Overseas Express Bank, Panin Bank) dan delapan LKBB (ASEAM, Finconesia, IFI, Indovest, IPFC, Multicor, MIFC, dan Merincorp). SBI itu ada yang berjangka 7 hari, 30 hari (sebulan) 90 hari (tiga bulan), dan 180 (enam bulan). SBI memberikan diskonto (bunga -dibayar di muka) berdasarkan lelang (yang meminta bunga terkecil akan diladeni lebih dulu-). Akhir pekan lalu, SBI berjangka satu bulan memberikan bunga sekitar 17,5% -s-etahun atau sekitar 1,5% per bulan. Paket deregulasi 27 Oktober 1988 alias Pakto memang tidak melarang masyarakat untuk membeli SBI. Namun, fasilitas itu, selama ini lebih -- banyak dimainkan oleh lembaga lembaga keuangan (bank dan LKBB). Juru bicara BI, Dahlan Sutalaksana, mengatakan, SBI yang beredar sekarang ini bernilai sekitar Rp 2,4 trilyun. "Cuma sekitar 12,5% dipegang perusahaan-perusahaan besar, selebihnya berada di tangan lembaga keuangan," kata Dahlan. Mengapa tidak memasyarakat? Soalnya semata-mata karena SBI diperjualbelikan dalam pecahan Rp 25 juta (paling kecil). "Ide untuk memasyarakatkan SBI itu bagus. Yang menjadi masalah adalah denominasi terkecil senilai Rp 25 juta. Jumlah ini rasanya terlalu besar untuk masyarakat. Alangkah baiknya bila denominasi terkecil dikecilkan lagi, misalnya menjadi Rp 10 juta," kata Triyogo Supriyanto, Manajer Pasar Uang dan Pasar Modal di PT IFI (Indonesian Finance and Investment). Ternyata, Rp 10 juta pun masih terlalu tinggi. Di AS misalnya, yang income per capitanya rata-rata US$ 20.000, ada treasury bill dijual dalam pecahan US$ 10.000. Untuk masyarakat Indonesia yang berpendapatan rata-rata cuma US$ 500, SBI tentu akan lebih pas kalau dijual dalam pecahan US$ 250 (sekitar Rp 462.000). Tapi menurut Dahlan Sutalaksana, SBI itu lain dengan treasury bill di AS. TB dikeluarkan pemerintah AS untuk membiayai anggaran belanja negara, sedangkan SBI untuk pengendalian moneter. Sekalipun pecahannya besar, ada juga orang yang mau coba-coba bermain SBI. Di PT Finconesia, Senin pekan ini ada tiga orang datang meminta penjelasan, khususnya tentang keuntungan membeli SBI dibandingkan deposito. Ini diungkapkan oleh manajer senior Ficonesia, J.A. Rumate. Diakui oleh Mooy, selama ini yang bermain SBI kebanyakan adalah lembaga keuangan (bank dan LKBB). Karena itu, kenaikan suku bunga SBI belum langsung berpengaruh pada suku bunga perbankan. Barulah jika masyarakat sudah ikut membeli SBI, maka bank-bank akan menyesuaikan suku bunga depositonya. Hal itu terlihat di pasar uang awal pekan ini. Menurut Direktur PT Inter Pacific Financial Corporation (IPFC), L.G. Rompas, SBI berjangka untuk sebulan sudah memberikan diskonto 17,4375% dan SBI berjangka enam bulan memberikan diskonto 18,875%. Padahal, Bank BNI masih menawarkan bunga 16% setahun untuk deposito sebulan, dan 18% untuk deposito enam bulan. Dapat dikatakan, SBI merupakan alat investasi yang paling aman -- maklum, uangnya disimpan di Bank Sentral. Juga sangat likuid karena sewaktu-waktu bisa dijual kembali. Jika pemegang SBI membutuhkan uang, ia bisa menjual kembali lewat PT Ficorinvest dan Bank Duta. SBI yang belum jatuh tempo dapat dijual dengan sistem repo (akan dibeli kembali sebelum jatuh tempo), bisa juga dengan sistem outright (dilepas sama sekali). Tapi menurut Presdir Panin Bank, Prijatna Atmadja, belakangan ini SBI sudah sulit diperjualbelikan, terutama lantaran ketatnya pasar uang. Panin Bank adalah salah satu pencipta pasar SBI, tapi belum pernah mendapatkan pesanan dari masyarakat . "Kami membeli SBI untuk dipegang sendiri. Sekarang ini nilainya sekitar Rp 24 milyar, hanya untuk berjaga-jaga," tutur Prijatna. Lippobank, yang dikenal overliquid, ternyata tak berminat membeli SBI. "Orang sekarang lagi cari uang, mana ada yang mau beli SBI," kata Direktur Pelaksana Lippobank, Laksamana Sukardi. Menurut dia, dalam suasana uang ketat sekarang, BI akan sulit menjual SBI. Dalam menghadapi masalah likuditas ini Laksamana berpendapat, BI hendaknya menerapkan loan to deposit ratio (kredit sebanding dengan jumlah - dana masyarakat di bank). "Ini sesuai dengan imbauan Gubernur BI, supaya bank-bank tidak menyusu ke bank pemerintah melulu," kata Laksamana. Ia memberi contoh Hong Kong, yang menerapkan loan to deposit ratio maksimal 75%. Dengan demikian, bank-bank masih mempunyai cadangan 25% dana masyarakat, untuk ditanamkan dalam surat-surat berharga yang bersifat semilikuid, misalnya obligasi atau treasury bill. Sekarang ini, kredit yang disalurkan perbankan di Indonesia rata-rata 25% lebih besar daripada dana yang disedotnya dari masyarakat. Kalau deposito jatuh tempo, sementara kredit yang disalurkan berjangka panjang, bank tentu kelabakan. Apalagi kalau bunga perbankan tiba-tiba menjadi mahal seperti sekarang. Max Wangkar, Ardian Taufik Gesuri, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini