KETIKA barisan tank Irak menjebol kedaulatan Kuwait, bukan cuma bau mesiu yang membubung di langit Teluk, tapi juga harga minyak dunia. Presiden Irak Saddam Hussein telah menarik pelatuk kecemasan hingga pihak konsumen cuma sempat berpikir tentang kurangnya pasokan minyak. Harga pun melompat, dari US$ 16 - US$ 17 (di bawah harga patokan US$ 18) per barel menjadi US$ 23. Bahkan minyak Brent dari laut Utara mencapai USS 24,10 per barel (untuk kontrak September) -- naik US$ 22,15 dibanding harga penutupan Kamis pekan silam. Dan itulah harga tertinggi sejak 1986. Irak, yang ngotot mendongkrak harga minyak OPEC sampai US$ 25/barel pada pertemuan di Jenewa pekan sebelumnya, dituding dunia telah menggunakan senjata untuk mengerek harga. Sidang OPEC itu sendiri, seperti yang juga dikemukakan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, menaikkan harga menjadi maksimal US$ 21 per barel. Itu pun didahului pengetatan kuota -- seluruh produksi anggota OPEC tak melebihi 22,5 juta barel per hari. Sikap yang moderat itu kini jadi porak-poranda gara-gara perangai Irak. - Seluruh konsumsi minyak dunia belakangan ini mencapai 64,7 juta barel per hari (bph), sedikit lebih tinggi dari puncak kebutuhan sebelumnya yang 64,5 juta barel. Hampir 25% dari total konsumsi itu bersumber dari Teluk Persia -- terutama Arab Saudi, Irak, dan Kuwait. Kini, bila konsumen mencemaskan kurangnya pasokan, bukanlah tanpa dasar. Sebagian dari yang 25 itu, yakni 1,5 juta bph (kuota Kuwait seperti yang ditentukan OPEC), praktis mampet. Kamis siang, beberapa jam setelah Irak menyerbu Kuwait, ekspor minyak negara ini mutlak terhenti. Semua fasilitas dan prasarana ekspor ditutup. Menurut sumber resmi Kuwait, terminal ekspor di Sea Island, North Pier, dan South Pier -- yang kalau digabung berkapasitas lebih dari 1,5 juta bph -- terlihat tanpa aktivitas sama sekali. Ini berarti 250 ribu bph yang selama tahun ini mengalir ke Jepang dan 100 ribu bph ke AS -- seperti yang tercatat dalam Pet-roleum Economist, Middle East Economic Digest -- menjadi macet total. Jepang memang masih memiliki persediaan untuk jangka waktu 142 hari (sebanyak 82 juta kiloliter). Dan AS punya cadangan untuk 90 hari lebih. Tapi, persoalannya bukan di sana. "Dari segi volume, penghentian impor dari Kuwait tak jadi soal. Problem utamanya adalah harga," kata Dirjen NREA (Natural Resources and Energy Agency) Jepang, Kenjiro Ogata. Sudah tiga kali ini harga minyak menyodok dunia. Pertama pada 1973, ketika Arab melakukan embargo minyak ke Barat berkaitan dengan perang melawan Israel harga naik empat kali lipat. Lalu 1980, harga mencapai US$ 40 per barel karena konsumen (dimulai oleh Jepang) panik, setelah Perang Teluk antara Iran dan Irak berkobar. Sejumlah analis kemudian bermunculan, terutama di AS dan Inggris. Jika harga minyak membubung terus -- tidak mustahil sampai US$ 25 per barel -- menurut para analis Barat, ini merupakan awal resesi. "Harga minyak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan dan meningkatkan inflasi," kata David Roche, pakar di Morgan Stanley & Co., London. Bagi Jepang dan Jerman, kemungkinan harga minyak yang tinggi itu akan menjadi dasar untuk menaikkan bunga pinjaman. Keith Sceoch dari brokerage James Capel & Co., harga minyak setinggi US$ 25 pada gilirannya akan memacu inflasi dunia 2-% sampai 2,5% pada akhir tahun depan. Semua ulasan itu masih bisa diperdebatkan. Menurut ekonom dan bekas Menteri Pertambangan Mohammad Sadli, saat ini masih terlalu dini untuk meramalkan bakal ada resesi atau tidak. "Ini kan suatu kejutan saja dan biasanya efeknya tidak lama," demikian Sadli dalam pembicaraan telepon dengan TEMPO. "Pers Barat suka mendramatisir. Secara teoretis memang bisa terjadi resesi, tapi masih jauh. Saya kira resesi baru akan terjadi bila harga minyak mencapai US$ 40 per barel dalam waktu minimal dua tahun." Pakar ekonomi Dr. Anwar Nasution dari UI juga mengatakan hal yang senada ketika dihubungi wartawan TEMPO Sri Pudyastuti. Kata Anwar, "Saya tidak yakin kenaikan harga tersebut akan menyebabkan resesi. Kecuali kalau -Saddam Hussein mengebom seluruh Arab .. ." Perhitungan mana yang bakal klop, tinggal menunggu waktu dan perkembangan. Namun, pada tahap sekarang, tampaknya Jepang akan menjadi negara paling ringkih dalam kemelut harga minyak. Ia pengimpor terbesar kedua, setelah AS. Ketergantungan Jepang pada minyak impor mencapai 71% dari seluruh kebutuhannya akan energi, demikian angka yang tercatat di MITI (Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Internasional Jepang). Dari jumlah tersebut, 11,7% diimpor dari Kuwait dan Irak. Dengan demikian, invasi Irak akan mengurangi jatah konsumsi harian Jepang, yang belakangan sudah mencapai 5 juta barel. Kecemasan Jepang disuarakan oleh Menteri MITI, Kabun Muto, yang Ahad lalu mengimbau anggota OPEC agar sudi menambah produksi untuk mengatasi kebutuhan Jepang. Untuk itu, belum ada jawaban. Namun, beberapa anggota OPEC, seperti Aljazair, Nigeria, dan Indonesia, juga Sekjen Subroto sudah menegaskan, kekurangan produksi akibat invasi Irak ke Kuwait itu tidak akan ditutup oleh mereka. Dalam pada itu, AS, yang bisa mengandalkan cadangannya di Texas dan Lousiana, boleh jadi tidak akan terganggu. Ganjalannya akan muncul pada harga, mengingat 60-70% minyak yang diimpor AS dibeli atas harga spot. Salah satu ekonom di Gedung Putih, Michael Boskin, Kamis lalu mengatakan, kenaikan harga minyak sampai 25% memang akan mempengaruhi ekonomi AS. Tapi, "Ekonomi kami sekarang jauh lebih baik kondisinya untuk meredam akibat kenaikan itu," demikian Boskin. Mohamad Cholid dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini