KRISIS likuiditas, yang mengancam sektor perbankan, tampaknya masih akan berkepanjangan. Malah diduga, akan berlanjut sampai satu dua tahun mendatang. Ada bankir memperkirakan, krisis likuiditas akan menjadi penyakit yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bank. Indikasi ke arah itu semakin nyata dalam dua bulan terakhir ini, ketika bunga pinjaman antarbank melonjak-lonjak dengan binalnya. Yang terakhir Rabu pekan lalu, ketika bunga pinjaman semalam (overnight) naik dari 21% menjadi 33%. Angka berkepala tiga itu bertahan hingga Jumat (37,5%), dan turun di hari Sabtu menjadi 25%. Namun, lonjakan ini tidak berhenti di situ. Senin pekan ini, bunga call money meloncat lagi ke angka 30%. Tampaknya, lonjakan kali ini agak sedikit berbeda karena dibumbui embel-embel isu yang sempat membuat para bankir kebat-kebit. Isu itu menyebutkan bahwa delapan bank -- satu di antaranya bank devisa - diduga akan gulung tikar karena krisis likuiditasnya sudah demikian parah. Benarkah? "Sama sekali tidak betul," ujar Dahlan Sutalaksana, Kepala Urusan Pasar Uang dan Giralisasi Bank Indonesia. Apalagi alasannya sederhana, yakni bank-bank "yang dicurigai" itu menggunakan fasilitas diskonto. "Bank yang menggunakan fasilitas itu tidak berarti mau bangkrut," kata Dahlan. Bila discount window dijadikan sebagai satu-satunya indikasi, maka semua bank bisa disebut "nyaris bangkrut". Lo? Soalnya, bukan hanya lima atau sepuluh bank yang memanfaatkan pinjaman sehari dua ini, tapi hampir sebagian besar. Penyebabnya bukan hanya penarikan kredit likuiditas oleh BI- -tahun ini akan mencapai Rp 2,2 trilyun -- tapi juga penarikan banyak nasabah, pada tiap akhir bulan. "Biasanya untuk membayar pajak," kata Okkie Monterie, Direktur Treasury Bank Internasional Indonesia. Sebenarnya, penarikan dana itu tak akan berpengaruh kalau bank-bank tidak melakukan ekspansi di luar batas kemampuan seperti yang banyak terjadi sejak Pakto 1988. "Itu jelas mempengaruhi likuiditas mereka," kata Okkie. Selain itu, pesatnya pertumbuhan investasi -- di saat bank-bank harus mengembalikan kredit likuiditas BI -- sangat tidak seimbang dengan dana tabungan yang telah dihimpun. Penyebab lain adalah bursa saham. Kata Okkie, go public telah menyebabkan penyebaran rupiah tidak merata. "Hanya bank-bank tertentu yang bisa menikmatinya," katanya. Contohnya, PT Indah Kiat, dananya disimpan di BII. Atau BRI, yang men-yimpan dana milik PT Inter Pacific. Dalam situasi seperti itu, angka inflasi naik secara mendebarkan (hingga Juli tercatat 7,1%). Bank Sentral pun semakin gencar menyedot rupiah. Tapi dipastikan oleh Dahlan, penyakit itu tidak akan membuat bank jadi bangkrut. Akibat yang paling parah adalah merger. "Tapi itu pun, saya yakin, tidak akan terjadi tahun ini," Okkie mengulas. Pernyataan itu diperkuat oleh beberapa bankir, yang kepada TEMPO mengakui bahwa gencetan likuiditas cukup memberatkan. Ini terlihat pada transaksi antarbank yang tercatat di BI selama pekan lalu, yang besarnya antara Rp 75 milyar dan Rp 175 milyar per hari. "Pinjaman antarbank itu biasa," kata Nienie N. Admajaya, Wapres Bank Danamon. Pada neraca per 30 Juni, misalnya, Danamon tercatat memanfaatkan pinjaman antarbank sekitar Rp 92 milyar. Tapi, "Kamis kemarin, kami memberikan pinjaman likuiditas kepada enam bank swasta," tutur Nienie. Lantas bagaimana nasib nasabah, kalau bank sampai gulung tikar? Tenanglah, BI siap menangkalnya. Sesuai dengan aturan main, setiap bank yang kalah dalam dua kali kliring tidak diperkenankan lagi mengucurkan kredit baru. Budi Kusumah, Bambang Aji, Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini