UNTUK ekspor produksi industri kayu, sekarang ini pemerintah
sangat merangsang. Pajak ekspor untuk kayu gergajian,
misalya, kini ditiadakan. Juga bebas pajak untuk ekspor kayu
lapis (plywood). Namun orang menyangsikan bahwa nilai
ekspornya akan bisa segera ditingkatkan.
Kayu, yang menempati urutan kedua sesudah minyak bumi,
menghasilkan devisa US$ 906,8 juta tahun lalu. Menurut
taksiran MPI berdasar harga patokan (pemerintah). Lebih 93%
(US$ 845 juta) di antaranya adalah dari ekspor kayu bulat,
sedang sisanya (US$ 59 juta) dari kayu gergajian dan 0,3% (US$
2,8 juta) dari kayu lapis.
Pasaran yang mungkin bisa dikembangkan untuk produk industri
kayu Indonesia ialah Timur Tengah dan Eropa. Tapi karena biaya
angkutan kapal masih tinggi, produk Indonesia akan sukar
bersaing. Lagi pula kayu Indonesia terbentur pada bea masuk di
Eropa yang berkisar 13 - 20%, sedang Malaysia sebagai anggota
Persemakmuran Inggeris mendapat perlakuan khusus. Pilipina
dengan Amerika Serikat juga begitu.
Maka dilihat dari kaca-mata bisnis, orang mungkin akan tertarik
mengembangkan industri kayu guna melayani pasaran dalam negeri.
terutama untuk masa depan yang dekat ini. Industri penggergajian
di Indonesia kini berjumlah 1034 (termasuk 82 yang dimiliki oleh
pemegang HPH dengan kapasitas produksi 7,2 juta m3 setahun.
Sebagian besar 657) di antaranya adalah sawmill kecil, masing
masing berkekuatan di bawah 200 m3 sbulan. Di antara sedikit
yang besar (151), termasuk penggergajian yang paling modern di
Asia Tenggara milik PT Kayan River Timber Products di
Kalimantan Timur, masih belum bekerja penuh. Sudah ada pula 15
pabrik plywood, dan satu industri hardboard.
Kasus Maluku
Dalam usaha pengembangannya investor selama ini dikecewakan
oleh ketiadaan angkutan kapal yang teratur. Contoh: Di Maluku
satu pemegang HPH, sesuai dengan persyaratan pemerintah,
mendirikan penggergajian kayu pada tahun 1973. Sesudah
beroperasi sawmill itu, produknya tidak bisa di jual. Ketika itu
mungkin sekarang juga, ada kapal yang sesekali saja berlayar ke
sana. hingga tidak mungkin bisa teratur melayani pasaran dalam
negeri. Untuk mengekspor ia harus transhipment di Surabaya
atau Singapura yang berakibat tak kuat bersaing di luar negeri.
Kasus Maluku ini juga terjadi di daerah lain.
Jika kebetulan ada lin kapal untuk perdagangan antar-pulau,
tarifnya tinggi. Dari Samarinda ke Surabaya, misalnya, tarifnya
mencapai Rp 17.000 per m3, dibanding dari Indonesia ke Jepang
dengan tarif INSA US$ 17.80 (Rp 7.387). Tarif dari Palembang ke
Jakarta hampir sama dengan yang dari Indonesia ke Jepang.
Meskipun begitu, pasaran yang begitu luas di Indonesia masih
memungkinkan bagi pengembangan industri kayu. Pemerintah kata
Dir-Ut Arnold Baramuli dari PT Poleko Group yang juga ikut dalam
bisnis kayu hendaknya turut membina pasar ini antara lain dengan
membangun rumah dinas dan kantor berbagai instansi yang banyak
memakai kayu. "Rumah kayu tidak kalah cantiknya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini