Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rangsangan Itu Terbentur Tarif

Kayu gergajian & kayu lapis dibebaskan dari pajak ekspor, tetapi produk indonesia sukar bersaing karena biaya angkutan kapal masih tinggi, ketiadaan angkutan kapal yang teratur juga merupakan masalah. (eb)

28 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK ekspor produksi industri kayu, sekarang ini pemerintah sangat merangsang. Pajak ekspor untuk kayu gergajian, misalya, kini ditiadakan. Juga bebas pajak untuk ekspor kayu lapis (plywood). Namun orang menyangsikan bahwa nilai ekspornya akan bisa segera ditingkatkan. Kayu, yang menempati urutan kedua sesudah minyak bumi, menghasilkan devisa US$ 906,8 juta tahun lalu. Menurut taksiran MPI berdasar harga patokan (pemerintah). Lebih 93% (US$ 845 juta) di antaranya adalah dari ekspor kayu bulat, sedang sisanya (US$ 59 juta) dari kayu gergajian dan 0,3% (US$ 2,8 juta) dari kayu lapis. Pasaran yang mungkin bisa dikembangkan untuk produk industri kayu Indonesia ialah Timur Tengah dan Eropa. Tapi karena biaya angkutan kapal masih tinggi, produk Indonesia akan sukar bersaing. Lagi pula kayu Indonesia terbentur pada bea masuk di Eropa yang berkisar 13 - 20%, sedang Malaysia sebagai anggota Persemakmuran Inggeris mendapat perlakuan khusus. Pilipina dengan Amerika Serikat juga begitu. Maka dilihat dari kaca-mata bisnis, orang mungkin akan tertarik mengembangkan industri kayu guna melayani pasaran dalam negeri. terutama untuk masa depan yang dekat ini. Industri penggergajian di Indonesia kini berjumlah 1034 (termasuk 82 yang dimiliki oleh pemegang HPH dengan kapasitas produksi 7,2 juta m3 setahun. Sebagian besar 657) di antaranya adalah sawmill kecil, masing masing berkekuatan di bawah 200 m3 sbulan. Di antara sedikit yang besar (151), termasuk penggergajian yang paling modern di Asia Tenggara milik PT Kayan River Timber Products di Kalimantan Timur, masih belum bekerja penuh. Sudah ada pula 15 pabrik plywood, dan satu industri hardboard. Kasus Maluku Dalam usaha pengembangannya investor selama ini dikecewakan oleh ketiadaan angkutan kapal yang teratur. Contoh: Di Maluku satu pemegang HPH, sesuai dengan persyaratan pemerintah, mendirikan penggergajian kayu pada tahun 1973. Sesudah beroperasi sawmill itu, produknya tidak bisa di jual. Ketika itu mungkin sekarang juga, ada kapal yang sesekali saja berlayar ke sana. hingga tidak mungkin bisa teratur melayani pasaran dalam negeri. Untuk mengekspor ia harus transhipment di Surabaya atau Singapura yang berakibat tak kuat bersaing di luar negeri. Kasus Maluku ini juga terjadi di daerah lain. Jika kebetulan ada lin kapal untuk perdagangan antar-pulau, tarifnya tinggi. Dari Samarinda ke Surabaya, misalnya, tarifnya mencapai Rp 17.000 per m3, dibanding dari Indonesia ke Jepang dengan tarif INSA US$ 17.80 (Rp 7.387). Tarif dari Palembang ke Jakarta hampir sama dengan yang dari Indonesia ke Jepang. Meskipun begitu, pasaran yang begitu luas di Indonesia masih memungkinkan bagi pengembangan industri kayu. Pemerintah kata Dir-Ut Arnold Baramuli dari PT Poleko Group yang juga ikut dalam bisnis kayu hendaknya turut membina pasar ini antara lain dengan membangun rumah dinas dan kantor berbagai instansi yang banyak memakai kayu. "Rumah kayu tidak kalah cantiknya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus