EKSPORTIR selalu mengeluh bahwa daya saingnya lemah di luar
negeri. Lemah itu rupanya, berdasar SK Menteri Perdagangan no.
10/Kp/1/1978, bisa diperkuat sedikit dengan fasilitas usance L/C
atau wesel berjangka. Tidak semua komoditi ekspor boleh memakai
fasilitas itu, tapi cuma 17 jenis saja yang dizinkan. Sebelas
jenis di antaranya adalah barang kerajinan. Sisanya adalah dua
barang pertanian (tembakau, khusus untuk pelelangan Bremen dan
teh), dua barang industri (pupuk urea dan ZA), dan dua barang
pertambangan (timah dan ferro-nickel). Cuma itu saja, padahal
banyak jenis lain yang juga minta diperkuat.
Red Clause
Bisakah diperbanyak jenisnya? Minggu lalu TEMPO mendengar
mereka dari Asosiasi Produsen Hasil Kayu Indonesia (APHKI),
umpamanya bertanya demikian. Golongan produsen ini mau
mengekspor mebel yang belum termasuk fasilitas usance L/C. Dan
karena usul APHKI sedang dipertimbangkan oleh Departemen
Perdagangan, maka angka 17 itu mungkin masih akan dilampaui.
Direktur Ekspor Departemen Perdagangan, Muchtar, mengatakan
bahwa pertimbangan selalu diberikan pada barang ekspor asalkan
ia kecil sekali mendapat claim dari pembeli di luar negeri dan
masih memerlukan usaha promosi.
Ekspor barang kerajinan rakyat (sampai 11 jenis) sesungguhnya
belum memerlukan usance L/C pada tahap sekarang. Produsennya
kecil dan penjualannya di pasar luar negeri juga kecil.
Eksportir yang menampung barang kerajinan itu pun biasanya belum
memiliki stok besar. Untuk eksportir kerajinan ini, Badan
Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) sudah mulai mengembangkan
red clause L/C yang bekerja a.l. begini: Eksportir-produsen
menerima uang terlebih dulu, sedang pengiriman barang
belakangan. Pembeli, misalnya, dari Amerika Serikat dan Jerman
Barat membayar uang panjar sebanyak 70%. Bahkan ada di antara
pembeli itu yang menempatkan orangnya di Indonesia sekedar untuk
menunggu selesai terkumpul pesanan yang kecil-kecil itu.
Sebaliknya usance L/C adalah cocok untuk eksportir yang memiliki
stok besar. Dengan fasilitas ini importir di luar negeri tidak
perlu segera membayar tunai (dan tanpa uang panjar) sedang
eksportir di sini menerima wesel berjangka 3-6 bulan setelah
barang naik ke atas kapal dan berangkat. Wesel itu memang boleh
segera diuangkan di bank devisa tapi, tentu saja, dengan
diskonto yang berarti ada pemotongan sekian persen. Diskonto itu
masih belum ditetapkan berapa oleh Bank Indonesia tapi diduga
akan berlaku untuknya sukubunga kredit ekspor yang 12% setahun.
Bahwa usance L/C akan memperkuat daya saing, eksportir
melihatnya. Ia tertolong sedikit dalam cost of money (beban
biaya). Tapi persoalan kini ialah penentuan jenis komoditi yang
paling mendesak supaya diperkuat oleh fasilitas usance L/C.
Barang kerajinan ternyata lebih memerlukall red clause L/C. Jadi
praktis cuma enam jenis yang bisa menikmati fasilitas wesel
berjangka itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini