TIAP pemegang HPH (Hak Penguasaan Hutan), menurut persyaratan
pemerintah RI, harus mendirikan industri kayu - minimal
penggergajian (sawmill) - sesudah tiga tahun beroperasi.
Ternyata dari kesemua 296 pemegang HPH, hanya 82 yang sudah
membangun sawmill. Sebagian besar di antara mereka telah
mengabaikan persyaratan itu, sedang pemerintah pun membiarkannya
saja selama ini. Tapi kini pemerintah tampaknya mulai
menciptakan suatu situasi dan kondisi di mana para pemegang HPH
ditertibkan kembali.
Maka menyempitlah ruang gerak mereka yang tadinya cuma berminat
membabat hutan dan mengekspor kayu bulat (log), sedang mereka
pada hakekatnya kini diharuskan supaya ikut menyumbang pada
pembangunan industri kayu di Indonesia ini (lihat Rangsangan Itu
Terbentur Tanf). Tapi, demiician komentar satu direktur
perusahaan asing (PMA) pemegang HPH, "mungkin 50% saja yang akan
bisa bertahan" sesudah adanya keputusan Dewan Stabilisasi
Ekonomi tanggal 10 Januari yang lalu.
Keputusan DSE itu segera disusul oleh instruksi Bank Indonesia
kepada semua bank devisa guna melaksanakannya. Maka mulai 12
Januari bank devisa otomatis memungut pajak 20%, tadinya 10%,
dari ekspor kayu bulat. Mulai tanggal itu juga MPO bertambah Rp
5 menjadi Rp 25 untuk tiap US$. Ini merupakan kejutan bagi
Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI). Belum lama berselang MPI
dikejutkan oleh peraturan pemerintah supaya mereka menabung US$1
dari tiap ekspor 1 M3 kayu bulat, yang berlaku mulai 2 Januari.
Simpanan-wajib itu menambah cost of money tapi, tentu saja, dana
tabungannya akan menguntungkan MPI juga dalam jangka panjang.
Ketika pajak ekspor masih 10%, eksportir sudah sukar mencari
untung pada bulan-bulan terakhir ini, karena harga penjualan
menurun sebagai akibat banjirnya persediaan di Jepang (TEMPO, 24
Desember '77). Minggu lalu harga penjualan rata-rata ialah US$47
per M3, sedang harga patokan (pemerintah) ialah US$5 1.
Eksportir sudah jarang sekali mendapat harga patokan yang di
bawah harga penjualannya. Namun jika mau tetap juga mengekspor,
ia terpaksa mematuhinya tapi harus membayar kembali selisih
harga itu kepada si importir di luar negeri. Tapi ia masih akan
bisa beruntung sedikit, mungkin pula pas-pasan, jika pajak
ekspornya masih 10.
Musiman
Dengan pajak ekspor itu menjadi 20%, dan dengan harga
penjualan yang rata-rata US$47 per M3 itu, eksportir mana pun
akan mengalami kerugian. Namun ia mungkin bisa pas-pasan jika
harga patokan itu merupakan harga penjualannya yang sebenarnya,
tapi ini tak mungkin sampai akhir pekan lalu. Maka eksportir
umumnya cenderung menunggu, sementara MPI mencoba meyakinkan
pemerintah bahwa biaya produksi mereka memang tinggi.
Bagi perusahaan besar, terutama PMA, yang bekerja lebih efisien,
biaya produksi langsung mungkin masih bisa ditekan untuk tetap
bertahan. Tapi hal yang paling memberatkan bagi semua perusahaan
ialah iuran dan pungutan resmi yang berjumlah 13, termasuk
simpanan wajib. Biaya produksi tak langsung inilah rupanya yang
sedang diusahakan MPI supaya diturunkan pemerintah. Sekarang ini
iuran-pungutan resmi yang 13 itu berlaku sama untuk semua
kwalitas kayu bulat, sedang pihak MPI meminta supaya diadakan
pembedaan terhadap berbagai kwalitas. Sepatutnya, menurut MPI,
pungutan resmi itu supaya dikenakan sedikit untuk kayu kwalitas
rendah karena harga penjualannya pun lebih rendah.
Khusus terhadap kenaikan pajak ekspor menjadi 20%, MPI
tampaknya sudah menyadari bahwa ini tak akan mungkin bisa
ditawar lagi. 'Kalau bisa, kami cuma minta waktu pelaksanaannya
ditunda 3 bulan lagi," kata Ketua Umum MPI, Taswin A.
Natadiningrat kepada Yunus Kasim dari TEMPO. "Mbok kasihlah
tenggang waktu."
Tiga bulan lagi, demikian diramalkan, harga mungkin akan naik
lagi ke atas US$50. Merosotnya harga dewasa ini bersifat
musiman. Sementara itu MPI mengusulkan kepada para anggotanya
supaya produksi kayu bulat dikurangi dengan 10%. Malaysia sudah
terlebih dulu mengurangi produksi dan ekspor log-nya dengan
tujuan meningkatkan industri kayunya secara bertahap. Menurut
rencana Malaysia, ekspor log itu dikuranginya 5% pada tahun
1977, dan persentasenya naik secara progressif pada tahun tahun
berikutnya sampai 1982 hanya mencapai 50%. Dari Malaysia Barat
bahkan ekspornya sudah dilarang alila sekali. Pilipina pun
pernah menang tapi ekspornya diizinkan kembali dari 1976 cuma
25% dari seluruh produksi kayu bulatnya.
Pengurangan bertahap itu belum direncanakan di Indonesia. Tapi
pasti ekspor log Indonesia akan turun dengan sendirinya setelah
adanya kenaikan pajak itu.
MPI menaksir bahwa pada tahun 1977 Indonesia mengekspor kayu
bulat sebanyak 18 juta M3, di antaranya lebih 51% ke Jepang dan
sisanya ke Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Eropa. Sehanyak
7 juta M3 lagi produksi kayu bulat itu dijual untuk industri
kayu (penggergajian dan plywood) di dalam negeri. Menjadi
persoalan ialah bagaimana jika jumlah 25 juta M3 itu tidak
dipertahankan untuk tahun 1978 ini. "Kami khawatir," kata
Direktur Eksekutif MPI, Sadikin Djajapercunda. "Para anggota MPI
secara drastis mungkin akan mengurangi tenaga kerja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini