NUN di pinggang benua Afrika, gurun pasir. Sabara terus merambat
bagaikan kanker. Propinsi Kordoan di negara Sudan, merupakan
salah satu korban yang digerogotinya.
Satu-satunya cara untuk tetap bertahan di sana adalah dengan
hidup berpindah-pindah. Untuk itu onta dan keledai alias kapal
padang pasir adalah alat angkutan yang amat diandalkan. Tentu
saja bagi kalangan kaum saudagar. Sedangkan bagi rakyat jelata
yang hidup dalam kemiskinan, pengembaraan banyak didorong oleh
kondisi alam yang memang tak memungkinkan mereka terus bermukim
di situ.
Bila tanah sudah keliwat kurus, mereka boyong mencari tanah yang
rada subur. Perpindahan yang acap kali berlangsung, sementara
pertumbuhan penduduk kurang terkendali, tambahan pula ternak
mereka membabat rumput yang ada, apa boleh buat, membawa akibat
makin luasnya daerah gurun di tanah tumpah darah mereka.
Penggurunan juga terjadi lantaran mereka harus mengumpul kayu
bakar secara besar-besaran. Maklum, hanya inilah satu-satunya
sumber enerji yang mereka miliki, dan tak ada minyak seperti
terdapat di Lybia, Nigeria dan beberapa negara Timur Tengah,
Namun ketimbang mereka terus bermukim di satu tempat, beranak
pinak dan menghabiskan kayu, menurut para ahli ekologi padang
pasir: lebih baik mereka berpindah-pindah. Sehingga tekanan
penduduk terhadap tanah yang tandus itu dapat dikurangi. Tapi
akan lebib baik lagi mengatur cara bercocok tanam dan cara
ternak beroleh rumput - begitu kesimpulan para ahli dalam
konperensi internasional tentang penggunungan di Nairobi (Kenya)
tahun lalu. Singkatnya, yang dianjurkan adalah: bagaimana
caranya menyuburkan tanah kembali, agar gurun tidak kian
merambat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini