PENYUSUNAN RAPBN 1988/1989 agaknya masih digoda turunnya harga minyak dan nilai dolar. Kesepakatan 0PEC di Wina 14 Desember lalu dan melonjaknya permintaan minyak dalam musim dingin di belahan bumi bagian utara ternyata tidak bisa menahan penurunan harga minyak. Harga minyak di bursa New York, London, dan Dubai merosot tiap hari. Jenis West Texas Intermediate -- patokan yang dipaksa di pasaran New York -- turun 18% dalam empat hari. Harganya Kamis pekan lalu tercatat US$ 14,90 per barel: terendah sejak Desember 1986, dan sudah melewati "batas psikologis" US$ 15 per barel. Harga di bawah US$ 15 per barel juga dialami minyak Dubai, yang pada hari yang sama turun US$ 1 menjadi US$ 14,15 per barel. Lalu harga Brent, jenis minyak mentah ringan yang paling jempolan dari Laut Utara, Inggris, selama seminggu juga merosot tiga dolar. Pekan lalu Brent masih bertahan pada US$ 18,51 sebarel. Tapi Senin minggu ini mendadak merosot menjadi US$ 15,51 sebarel. "Ini peristiwa yang mengejutkan," kata Menteri Subroto. Ia berkata begitu dalam acara penandatanganan kontrak bagi-hasil antara Pertamina dengan Chevron International Ltd. dan Texaco Exploration Manui Inc. di lantai 10, Departemen Pertambangan dan Enerji, Senin sore lalu. Tapi Prof. Subroto, yang barusan kembali dari sidang OPEC di Wina, tak yakin penurunan harga-harga minyak disebabkan suplai yang berlebihan. Sampai Senin itu, menurut Subroto, produksi total minyak dunia masih tetap berjumlah 48,4 juta barel sehari. Dari jumlah tersebut, bagian non-OPEC meliputi 29,4 juta barel sehari. Sisanya, 18 juta barel, adalah produksi OPEC. Itu sebabnya Menteri Subroto berkesimpulan, "Penurunan harga-harga minyak lebih bersifat spekulatif, karena baru terjadi di future market, baik di New York maupun London." Ia tak menutup kemungkman harga minyak akan begerak naik lagi. "Yah, kita lihat saja setelah Tahun Baru," katanya. Tapi beberapa kalangan minyak asing beranggapan, penurunan harga tak saja terjadi dalam future market, namun juga di pasaran tunai (spot). Mereka mengakui, penurunan yang cukup keras itu tak terlepas dari faktor spekulasi. Sekalipun begitu mereka melihat biang keladi turunnya harga lebih disebabkan ketidakpastian dalam tubuh OPEC sendiri untuk memperbaiki harga. Seorang kontraktor minyak asing di Jakarta menunjuk pada peristiwa gelap yang tiba-tiba menghajar pasaran minyak pada awal Januari 1986, ketika harga turun di bawah US$ 10. Ia agaknya khawatir, ketidakpastian seperti itu akan kembali melanda para pedagang minyak: mereka sama-sama menjual stoknya untuk menghindari kerugian lebih besar. Mudah-mudahan saja ramalan Subroto benar. Sehingga reaksi berantai yang menyeret harga minyak ke bawah tak akan terulang. Bagaimanapun, OPEC memang belum bebas dari ancaman. Dan ancaman itu, antara lain, datang dari masih banyaknya stok. Laporan Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan, stok minyak dunia sekarang berjumlah 465 juta ton, 15 juta ton lebih tinggi daripada stok akhir 1985. Kelebihan stok ini, menurut para analis IEA, diperkirakan akan terus berlanjut sampai tahun depan, karena ekonomi dunia yang masih resesi tak akan menambah permintaan. Masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah: tingkat harga minyak berapa yang akan dijadikan dasar perhitungan RAPBN 1988/1989, yang sudah harus selesai sebelum tutup tahun ini. Seperti diketahui, penurunan tiap 1 dolar harga minyak berarti kerugian US$ 480 juta tiap tahun bagi Indonesia, atau pengurangan penerimaan pemerintah sebesar Rp 800 milyar. Pemerintah bisa saja menggunakan harga US$ 17,50 sebagai dasar perhitungan RAPBN mendatang. Tapi apakah harga ini akan realistis tahun depan? Sebaliknya, apabila pemerintah menggunakan harga yang iauh di bawah US$ 18 sebagai patokan, OPEC mungkin akan menilai kita meragukan konsensus yang dengan susah payah telah tercapai di Wina, meskipun tanpa ikut sertanya Irak. Andai kata harga minyak hanya berkisar pada US$ 15 tahun depan, tampaknya bukan saja APBN akan menjadi lebih ketat dari yang diperkirakan. Tapi neraca pembayaran boleh jadi akan mengalami tekanan yang cukup besar. Pada tingkat harga minyak sebesar itu, surplus pada transaksi berjalan (current account) diperkirakan tak akan cukup untuk menutup defisit pada neraca modal (capital account), kecuali apabila ekspor di luar migas mengalami pelonjakan yang luar biasa. Dengan demikian, cadangan devisa yang kini US$ 6,3 milyar, sebagian akan harus digunakan untuk menutup transaksi pada neraca modal. Ini bisa menimbulkan spekulasi. Maka, ada baiknya pemerintah mulai sekarang memikirkan cara untuk mengatasi hal ini, apabila skenario yang jelek itu terjadi. Tapi apakah kita harus terikat benar dengan konsensus di Wina, untuk menetapkan ancer-ancer harga minyak dalam RAPBN mendatang? Seorang pejabat ekonomi yang tahu beranggapan tak usah demikian. Dia lalu mengingatkan, konsensus OPEC yang tanpa Irak cuma berlaku untuk enam bulan, sejak 1 Januari 1988. "Maka, untuk menentukan harga rata-rata ekspor minyak Indonesia, perlu diperkirakan perkembangan pasaran minyak per 1 April sampai akhir tahun 1988," katanya. Ia setuju ancer-ancer harga minyak masih perlu ditentukan secara "konservatif". Berapa itu? "Ya, sekitar 16 dolar per barel," katanya. Pejabat tadi tak terlalu khawatir dengan penurunan harga minyak. Tapi dalam kaitannya dengan penentuan anggaran, dia merasa lebih prihatin melihat gengsi nilai dolar yang semakin merosot. Nilai dolar memang sempat turun dua yen minggu lalu, menjadi 126 yen, setelah diumumkannya defisit neraca perdagangan AS pada Oktober tahun ini mencapai US$ 17,6 milyar, bulan sebelumnya defisit perdagangannya mencapai US$ 14 milyar. Penurunan dolar terjadi, sekalipun Bank Sentral Jepang melakukan pembelian dolar besar-besaran minggu lalu. Kepercayaan pasar uang terhadap dolar ternyata masih rapuh, karena mereka belum melihat adanya tekad negara-negara industri untuk menstabilkan dolar. Belum adanya kepastian pertemuan para menteri keuangan kelompok negara industri (G7), menandakan AS belum secara tegas menentukan beleidnya terhadap nilai dolar. AS agaknya masih mempunyai prioritas lain dalam beleid ekonominya. Akibatnya, dolar, yang sekarang tinggal setengah dari nilainya dua tahun lalu, masih belum menentu. Gubernur Bank Sentral AS (Federal Reserve) Alan Greenspan mengemukakan bahwa defisit neraca perdagangan AS pada Oktober itu merupakan kekecualian, dan sebenarnya tidak konsisten dengan meningkatnya hasil industri, dan kesempatan kerja di AS. Dia memperkirakan, angka defisit bulan November tahun ini akan merupakan titik balik. Dan pada 1988, Menteri Greenspan optimistis, "Ekonomi AS akan mengalami surplus pada neraca perdagangannya, ketika pengaruh dolar yang rendah mulai terasa," katanya di depan Komite Perbankan Kongres minggu lalu. Sebaliknya, bekas salah seorang penasihat ekonomi Presiden AS, Martin Feldstein, dalam pidatonya di depan Japan Society di New York Kamis lampau, meramalkan dolar akan turun terus terhadap yen, dan nilainya akan merosot sampai 100 yen dua tahun mendatang. Menurunnya nilai dolar terhadap yen dan DM sebesar 18%selama setahun ini dengan sendirinya akan meningkatkan pembayaran utang luar negeri Indonesia, dan otomatis akan menekan neraca pembayaran. Apabila harga minyak tetap lembek, dan kalau saja pemerintah tidak mau menutup transaksi neraca modal dengan pengambilan cadangan devisa, maka alternatif lain untuk mendongkrak anggaran yang baru adalah menambah pinjaman luar negeri. Alternatif tersebut tampaknya cukup menarik sekarang ini, karena turunnya suku bunga di luar negeri. Satu hal yang pasti tak akan dilakukan -- bila keadaan menjadi parah -- adalah menunda pencicilan utang yang jatuh tempo. Menteri/Ketua Bappenas Sumarlin, akhir pekan lalu, menegaskan lagi bahwa Indonesia akan menghindari penundaan pembayaran utangnya. Sebab, Indonesia harus mempertahankan kelayakan kreditnya di mata para kreditor luar negeri. Sikap tak ingin menunda-nunda pencicilan utang luar negeri, yang berulang kali juga sudah ditegaskan Presiden, justru dinilai sebagai kredibilitas RI di mata luar negeri. Winarno Zain dan Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini