Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Akhir hidup haji mustofa

Rodia di salagedang, cianjur selatan, membunuh pamannya, h. mustofa, 70. rodia bungkam ketika diperiksa polisi, lalu diperiksakan ke rumah sakit jiwa. ada dugaan dari sengketa warisan.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJI Mustofa, 70 tahun, tak berdaya menghadapi kebuasan itu. Kemenakannya itu berbadan tinggi kekar, berkulit kehitaman. Ia dibantai di tengah sawah di pagi hari. Lhernya digorok. Selesai menjagal, Rodia, 40 tahun, si kemenakan itu, lalu berkecak pinggang. "Beginilah akhirnya orang ini," katanya, setengah bergumam kepada Hajaruddin, 35 tahun. Ketua Rukun Warga Kampung Pasirpin, Desa Salagedang, Cianjur Selatan, itu adalah orang pertama yang memergoki. Hajaruddin gemetar, lalu lari sambil berteriak memberi tahu penduduk. Tapi mereka kemudian tak ada yang berani mendekat, sebelum si pembunuh pergi. Tak kurang dari 12 bacokan di tubuh kakek itu. Kepalanya di bagian belakang nyaris hancur. Tangan terpotong empat. Mukanya menganga dan lehernya hampir putus. Pembantaian itu pada pukul 06.30, 9 Desember lalu. Setelah menghabisi pamannya, dengan tenang ayah dua anak itu berlalu sambil menyandang golok berlumur darah. Ia pulang ke rumah, sekitar 50 meter dari tempat tadi. Di rumah itu ia langsung merebahkan badannya. Sejak bercerai dengan istrinya, ia sendiri di rumah berbilik gedek itu. Polisi dari Polsek Pagelaran, yang meringkusnya, tak menemui kesulitan. Rodia keluar tanpa golok, dan tak melawan. Ia langsung diikat lima orang penduduk. Ketika diperiksa, barulah polisi kesulitan. "Ia bungkam," kata sumber di Polres Cianjur. "Kami akan mengirim dia ke Rumah Sakit Jiwa Cilendek, Bogor, untuk diperiksa. Kami pusing, apa dia ini gila atau waras," keluh sumber itu. Penduduk menduga, petani itu menyembelih pamannya karena waris. "Dulu mereka pernah bersengketa soal tanah warisan. Tapi itu sudah selesai. Malah Bapak mengambil kakaknya jadi menantunya," tutur Haji Sukandar, 45 tahun, anak sulung Mustofa. "Ia terkadang seperti orang linglung, suka melamun dan ngomong sendin. Repotnya, kalau marah dia suka bawa golok," kata Haji Kosasih, kakak Rodia, kepada Hedy Susanto dari TEMPO. Keluarga Haji Mustofa tampak pasrah. "Rupanya, sudah nasib Ayah. Kami tak akan menuntut apa-apa," kata Haji Sukandar. Dan pihak keluarga korban boleh saja bersikap demikian. Karena bukan delik aduan, bagaimanapun juga Rodia akan berhadapan dengan meja hijau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus