BELAKANGAN ini keras dikabarkan bahwa ban-ban dari Muangthai akan menggelinding ke sini. Lalu laju ekspor ban kita tahun ini juga behenti di angka 21 juta dari 26 juta dolar yang ditargetkan Tapi, agaknya, para pengusaha tak usah buru-buru berpikir untuk gulung tikar seperti dikhawatirkan Sjahfiri Alim, Presiden Direktur Goodyear, yang diungkapkannya pekan lalu kepada Komisi VI DPR. Karena ada beberapa hal yang masih bisa diperhitungkan untuk bersikap optimistis. Paling tidak buat Goodyear sendiri. Ban produksi Bogor itu sudah mendapat pengakuan kualitas dari Department of Land Transportation, Amerika, sebagai modal untuk menembus pasar AS yang terkenal alot. Goodyear Amerika pun, sebagai pemegang merk, membuka peluang: minta dipasok ban-ban truk ringan sebanyak 2.000 unit sehari. Dengan begitu, "Untuk tahun depan, kami yakin bisa mengekspor ke sana sedikitnya 600 ribu unit," kata Sjahfiri Alim. Enam pabrik ban lainnya, yang menjangkau pasar di 36 negara, juga punya harapan besar. Begitu yakinnya, sehingga kapasitas produksi akan ditingkatkan, dari 7,4 juta menjadi 8,8 juta unit per tahun. Pokoknya, tiga tahun mendatang, diperkirakan ekspor ban akan mencapai 156 juta dolar. Yakin, si, boleh-boleh saja. Tapi beberapa lubang masih perlu ditutup. Misalnya soal bahan baku utama, karet alam, yang makin hari makin kenyal di pasar dalam negeri. Itu disebabkan, menurut Sjahfiri, produsen karet lebih suka menjual dagangannya ke luar negeri. Maklum, seperti komoditi lainnya, ekspor karet dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang 10%, dan dirangsang dengan fasilitas kredit ekspor yang bunganya hanya 9%. Akibatnya harga karet di pasar lokal lebih mahal. Harga jenis SIR, misalnya, sekilo hanya 1,05 dolar, ditambah bunga 5% untuk kredit 3-6 bulan, plus pajak impor yang hanya 5%. Untuk jenis yang sama, di sini harganya sudah Rp 1.800, belum termasuk PPN 10% dan pembayarannya paling lama satu bulan dengan bunga 18% --22%. Ditambah lagi, suplai sangat dikendalikan orang-orang Singapura, karena hampir 60% modal yang tertanam di sektor pemrosesan karet alam memang dikuasai pemodal-pemodal dari sana. Para pengusaha ban sebenarnya menginginkan suasana seperti di Malaysia yang menguasai 40% suplai karet dunia. Pengusaha di sana merasa dijaga kelangsungan pengadaan bahan bakunya dengan potongan harga 20 sen dolar Malaysia. Muangthai, yang mengusai 18% karet dunia, kurang lebih juga demikian dalam memperlakukan pengusaha ban. Suku bunga kredit di sana juga jauh lebih rendah dibanding di sini. Sehingga tak mengherankan bila mereka bersiap untuk memproduksi 30.000 ban setiap hari, sementara kebutuhan di dalam negerinya hanya 5.000. Mahalnya karet lokal yang sekitar 19% dibandingkan di Malaysia dan Muangthai itu -- terus terang diakui juga oleh Direktur Eksekutif Gapkindo (Gabungan Pengekspor Karet Indonesia) Harry Tanugraha. Juga tak dibantahnya kenyataan bahwa para anggotanya lebih suka menjual karetnya ke luar negeri. Tapi, katanya, hal itu bukan semata-mata kesalahan eksportir. "Tapi kita harus juga melihat kebijaksanaan yang berlaku sekarang." Pengembangan sektor karet, begitu dikatakannya, ternyata memang belum diarahkan untuk kepentingan para petani produsen karet atau pengusaha ban. Baru para pemroseslah, yang banyak dikuasai modal asing, yang mendapatkan banyak insentif. Makanya, tidak aneh, bila produksi karet kita yang jumlahnya sekitar 1,25 juta ton itu, kurang lebih satu juta ton yang diekspor. Memang, semuanya itu belum sampai melumpuhkan kemampuan ekspor ban. Tapi hal itu, menurut Sjahfiri Alim, semata-mata masih mengandalkan dampak devaluasi beberapa waktu lalu. "Maka, sebelum dampak devaluasi itu habis, perlu segera dicari sistem insentif yang pasti dan praktis." Budi Kusumah dan Bacthiar A. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini