Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Rencana Kominfo Blokir Akun Media Sosial Bakal Memberangus Keragaman Pendapat

Rencana Kementerian Kominfo menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) untuk memblokir akun media sosial penyebar hoaks menuai kritik masyarakat.

21 Oktober 2020 | 09.43 WIB

Logo Youtube, Instagram, dan Facebook. wikipedia.org
Perbesar
Logo Youtube, Instagram, dan Facebook. wikipedia.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika bersiap untuk menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) untuk pemblokiran akun media sosial penyebar hoaks. Rencana ini dikritik karena berpotensi memberangus alias membredel keragaman pendapat di masyakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Yang justru menghidupkan demokrasi," kata peneliti bidang politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, Rifqi Rachman dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa, 20 Oktober 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana penerbitan Permen ini disampaikan Kominfo kemarin, Senin, 19 Oktober 2020. Tujuannya untuk memperjelas tahapan pemblokiran sebuah akun media sosial yang terbukti menyebarkan hoaks.

"Kami akan mempunyai Permen (Peraturan Menteri) baru baru dimana tahapannya lebih jelas," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan.

Aturan ini terbit karena maraknya informasi hoaks seputar Covid-19. Semuel menggunakan istilah Infodemic dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Itu sebabnya, pemerintah dinilai perlu mengontrol informasi yang ada seputar Covid-19 ini.

Semuel memasikan pengendalian informasi ini bukan bertujuan untuk membatasi kebebasan berpendapat di masyarakat. "Tapi di situasi pandemi ini, kami perlu untuk meluruskan informasi yang salah, agar tidak membuat keonaran di masyarakat," kata dia.

Namun, Rifqi mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan Permen Kominfo ini terhadap kebebasan berekspresi warga negara di dunia maya. “Pernyataan Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani menggambarkan bagaimana ekspresi kita di media sosial sesungguhnya tidak lepas dari pengawasan pemerintah,” kata dia.

Seakan, kata dia, pemerintah memiliki otoritas untuk memilah dan menilai semua ekspresi yang tersebar secara masif itu. Sebab, mekanisme pemblokiran dimulai oleh pemerintah yang melaporkan konten yang mereka nilai telah melanggar peraturan.

Menurut Rifqi, kemampuan menilai ini juga jadi soal. Sebab, bertendensi untuk mempermasalahkan suara-suara yang tidak menguatkan atau sesuai. "Dengan keputusan dan tindakan pemerintah," ujarnya.

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus