Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa Para Eksil Peristiwa 1965 Tak Mau Pulang?

Para eksil korban pelanggaran HAM berat masa lalu menuntut pelurusan sejarah dan permintaan maaf. Banyak yang enggan pulang.

17 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYETIR mobil dari Aachen, Jerman, menuju Diemen di pinggiran Amsterdam, Belanda, Sri Budiarti mengajak tiga koleganya sesama eksil. Hari itu, Ahad, 27 Agustus lalu, mereka menghadiri pertemuan bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly. Di sebuah ruangan khusus, mereka membicarakan penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat.

Dua menteri itu melawat ke Eropa untuk berjumpa dengan para eksil yang sampai kini tak bisa kembali ke Tanah Air, sekaligus meresmikan layanan keimigrasian bagi mereka. Di hadapan Mahfud dan Yasonna, Sri Budiarti menyebutkan kebijakan itu tak cukup untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. “Saya menuntut pengungkapan kebenaran,” katanya kepada Tempo, Kamis, 14 September lalu.

Acara di Amsterdam merupakan salah satu tindak lanjut rekomendasi penuntasan kasus HAM di luar jalur pengadilan. Pada Agustus 2022, Presiden Joko Widodo membentuk tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu. Lima bulan kemudian atau 11 Januari 2023, Jokowi mengakui ada 12 kasus pelanggaran hak asasi berat. Salah satunya peristiwa 30 September 1965, yang membuat Sri Budiarti menjadi eksil di Aachen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menko Polhukam Mahfud MD bertemu dan berdialog dengan para eks Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) di Amsterdam, Belanda, 27 Agustus 2023. polkam.go.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budiarti dikirim kuliah oleh Presiden Sukarno pada 1963. Ia mengambil studi ekonomi perusahaan di Karl Marx University, Budapest, Hungaria—kini Corvinus University. Setelah terjadi peristiwa 1965, Kedutaan Besar Indonesia melakukan screening terhadap para mahasiswa, termasuk Budiarti. Namun ia tak lolos.

Kala itu Budiarti menolak mengutuk peran Bung Karno dalam peristiwa 1965 melalui selembar dokumen yang disorongkan kedutaan. “Masak, kami dikirim sekolah sama Bung Karno lalu bilang begitu,” ujarnya. Paspor Sri Budiarti kemudian dicabut.

Dalam pertemuan di Amsterdam, para eksil juga mempersoalkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia yang belum dicabut pemerintah. “Kami juga menagih permintaan maaf negara secara resmi,” tutur perempuan 79 tahun itu.

Mahfud, sebagaimana diceritakan Sri Budiarti, merespons dengan menyebutkan penyelesaian di jalur yudisial tetap berjalan. Namun Mahfud mempertanyakan tuntutan permohonan maaf karena pemerintahan Orde Reformasi justru yang melengserkan Soeharto. Mahfud menilai rezim Orde Baru yang semestinya meminta maaf.

Baca: Data Semrawut Pelanggaran HAM Berat

Tuntutan serupa telah disampaikan Sri Budiarti saat menerima Tim Pemulihan Korban dan Pencegahan Pelanggaran HAM (PKPHAM) di apartemennya di Aachen pada 23 Agustus lalu atau empat hari sebelum berjumpa dengan Mahfud. Anggota Tim PKPHAM yang hadir antara lain dua mantan pengurus Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara dan Ifdhal Kasim.

Berteman sayur lodeh dan rendang, Budiarti berdiskusi selama tiga jam dengan Tim PKPHAM. Ia juga meminta pemerintah meluruskan sejarah di buku sekolah. Tujuannya, menghapus stigma yang melekat kepadanya. Ia sering disebut sebagai antek Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani, yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia.

Dalam pertemuan itu, Budiarti juga menuntut pemerintah bisa memberikan paspor Indonesia dan para eksil tak harus melepas kewarganegaraan saat ini. Budiarti memegang paspor Jerman sejak 1993. “Saya meminta pemerintah membuat terobosan regulasi yang memberi kewarganegaraan ganda bagi eksil yang berminat,” kata Budiarti.

Anggota Tim PKPHAM, Beka Ulung Hapsara, menyebutkan memang ada permintaan dari para eksil soal dwikewarganegaraan. Namun pemerintah saat ini baru bisa melayani pemberian visa berkunjung dan izin tinggal. “Fasilitas itu sudah bisa diakses para eksil di semua kantor kedutaan besar kita,” ucap Beka.

Pertemuan antara perwakilan pemerintah dengan para eks Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) di Amsterdam, Belanda, 27 Agustus 2023. polkam.go.id

Peserta lain dalam pertemuan di Amsterdam adalah Tom Iljas, 85 tahun. Bermukim di Stockholm, Swedia, ia mengikuti pertemuan melalui telekonferensi video. Tom bersiap melawat ke Negeri Kincir Angin, tapi undangan acara telat sampai di rumahnya. “Teman-teman di Belanda menolak acara digelar di kantor kedutaan dan harus diadakan di tempat netral,” ujarnya.

Tom berasal dari Kampung Salido di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat—sekitar 70 kilometer di selatan Padang. Di Salido, ia aktif di Pemuda Rakyat, sayap organisasi Partai Komunis Indonesia. Menurut Tom, Pemuda Rakyat merupakan salah satu kelompok yang ikut menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Sumatera.

Bergabung dengan Pemuda Rakyat saat duduk di bangku sekolah menengah atas, Tom ikut dalam pertempuran. Ia lalu mendapat surat rekomendasi dari Gubernur Sumatera Barat untuk bersekolah ke luar negeri. Warkat itu dikirim ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Surat itu mengantar saya ke luar negeri tapi juga menyebabkan saya terlunta-lunta,” kata Tom.

Pada 1960, Tom mendapat beasiswa ke Institut Mekanisasi Pertanian di Beijing, Cina. Ia sebenarnya sudah merampungkan kuliah pada Agustus 1965—sebulan sebelum prahara 30 September. Tapi ia menunda kepulangan karena bervakansi ke Eropa untuk menghadiri undangan komunitas mahasiswa Indonesia di sana.

Di Beijing, mahasiswa tak menghadapi screening karena Djawoto, Duta Besar Indonesia untuk Cina waktu itu, adalah loyalis Presiden Sukarno. Tapi, sebelum peristiwa 1965 terjadi, paspor Tom akan kedaluwarsa. Ia lalu menyerahkannya ke kedutaan untuk diperpanjang masa berlakunya. Sialnya, Djawoto kemudian mengundurkan diri. Paspor Tom tak dikembalikan.

Baca: Generasi Kedua Eksil Indonesia

Tom terjebak selama tujuh tahun di Beijing. Revolusi Kebudayaan di sana membuat orang asing seperti Tom dikawal dan diawasi ke mana pun pergi. Tom pun tak bisa melamar pekerjaan meski berkali-kali mengajukan permohonan izin kepada pemerintah Cina. “Saya diberi makan tapi dibilang tamu pemerintah tak boleh bekerja,” ujarnya.

Tak kerasan di Beijing, Tom hijrah ke Swedia. Di negara Skandinavia itu, ia mendapat suaka politik dan menerima paspor Swedia. Ia bisa bebas bekerja dan pensiun di Scania, perusahaan otomotif yang produk busnya dipakai Transjakarta.

Tatkala sesi curah pendapat di hadapan Menteri Mahfud Md. dan Menteri Yasonna Laoly, Tom mengkritik tajuk program yang memakai kata “penyelesaian”. Bagi Tom, penuntasan perkara harus mengungkap kebenaran dan menyeret pelaku ke pengadilan. “Semestinya diberi saja judul pemberian santunan,” ucap Tom menceritakan lagi isi audiensi dengan Mahfud Md. dan Yasonna.

Meski demikian, Tom telah memanfaatkan layanan keimigrasian untuk para eksil. Itu pun setelah Tom mempertanyakan motif pemberian visa dan berkorespondensi dengan Sugeng Purnomo, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Dalam warkatnya, Tom menyampaikan menolak pemberian visa jika harus menyetujui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang pelaksanaan rekomendasi penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. “Mending tak menerima visa jika harus menerima penyelesaian non-yudisial,” ujarnya. Kepada Tom, Sugeng memastikan pemerintah tak meminta syarat apa pun.

Sehari setelah beracara di Amsterdam, Mahfud dan Yasonna pergi ke Praha, ibu kota Republik Cek. Ada 14 eksil di bekas negara sosialis itu. Sebagian besar tinggal di Praha, sementara yang lain terpencar di Brno dan Ostrava. Mereka adalah mahasiswa Indonesia yang kuliah di Eropa Timur ketika peristiwa 1965 pecah dan paspornya dicabut karena tak lolos screening. 

Salah satunya Soegeng Soejono. Sesudah peristiwa 30 September meletus, ia dipanggil ke kantor Kedutaan Besar Indonesia di Praha. Ditanyai sikapnya terhadap Orde Baru, Soejono menolak mendukung Soeharto karena dia belum pernah tahu kiprahnya. Ia berangkat ke Cek pada September 1963, ketika Sukarno masih berkuasa. “Saya dicap komunis dan kehilangan paspor,” katanya.

Baca: Cara Negara Lain Mengenang Pelanggaran HAM Berat

Bermukim di Praha, Soejono cuma diberi izin tinggal oleh pemerintah setempat. Surat itu bisa dipakai Soejono untuk mencari pekerjaan dan kuliah lagi setelah lulus dari Charles University. Namun ia tak boleh keluar dari Cek karena tak punya paspor. Ia pernah dicegat polisi perbatasan ketika hendak mengantarkan keluarganya beranjangsana ke rumah kerabat di Polandia.

Sekitar 1998, Soejono baru mendapat paspor Republik Cek. Ia awalnya mengira Orde Baru hanya akan bertahan seumur jagung. Karena itu, Soejono yakin akan kembali memperoleh kembali paspornya. Rupanya, ia menjadi tak bernegara selama Orde Baru berkuasa.

Saat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyampaikan tawaran penyelesaian non-yudisial kasus HAM masa lalu, Soejono menyambut dingin. Dalam persamuhan di Wisma Duta pada Senin, 28 Agustus lalu, ia menyebutkan fasilitas imigrasi untuk para eksil hanya sebagian kecil dari tuntutan. “Penyelesaian yudisial harus jalan,” tuturnya.

Soejono belum memutuskan untuk melamar visa ke Indonesia setelah diberi kemudahan oleh pemerintah. Meninggalkan Praha bukan perkara gampang. Ia harus bertanya kepada istri dan anak-anaknya jika hendak menengok kampung halamannya. Soejono mengaku sudah kepalang nyaman bermukim di Cek. “Negara ini yang melindungi ketika saya di-bully,” ujarnya.

Alasan lain adalah kondisi fisik. Lahir di Madiun, Jawa Timur, ia berusia 84 tahun sekarang. Ia mengaku masih bugar, tapi pendengarannya sudah surut. Bercakap-cakap dengan Soejono harus agak berteriak. Bekas anggota Pemuda Rakyat, organisasi yang terafiliasi dengan PKI, ini juga bilang tak kuat lagi bepergian jauh dan tak betah tinggal di daerah tropis yang bikin gerah.

Beda perkara jika pemerintah punya skema lain untuk para eksil. Soejono pernah mengusulkan opsi agar eksil bisa memiliki kewarganegaraan ganda. Tapi itu pilihan yang mustahil lantaran Indonesia tak menganut asas dwipaspor. “Saya tak mau kalau harus melepas paspor Cek,” ucap Soejono, pensiunan pegawai perpustakaan Strahov dan pengajar di Charles University.

Soejono kini tinggal bersama istri di sebuah flat di Eledrova, kawasan hunian di tepi Sungai Vltava yang memecah Praha. Dengan bininya yang orang Cek itu, ia mendapat dua anak laki-laki. Mereka hidup dari uang pensiun Soejono yang diklaim cukup untuk kebutuhan saban bulan. Ia pun memiliki sepetak lahan di perkebunan Bohnice yang ditanami pohon aprikot.

Baca: Kontroversi Penghancuran Rumoh Geudong

Dimintai konfirmasi melalui WhatsApp pada Jumat, 15 September lalu, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi enggan berkomentar mengenai permintaan para eksil untuk menyandang status kewarganegaraan ganda. Ia meminta penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi masa lalu ditanyakan kepada Mahfud Md. Tapi Mahfud tak menanggapi permintaan wawancara Tempo.

Harapan para eksil untuk memperoleh kewarganegaraan ganda agaknya tertutup. Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Silmy Karim menyebutkan status itu tak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pemerintah hanya bisa menawarkan pemberian visa dan izin tinggal tetap untuk para eksil.

“Tidak dimungkinkan ada pengecualian soal status kewarganegaraan,” kata bekas Direktur Utama PT Krakatau Steel itu lewat pesan WhatsApp, Jumat, 15 September lalu.

Eksil lain di Praha, Rachmy Soebajo, tengah bersiap pulang ke Tanah Air. Ia menggunakan fasilitas visa kunjungan untuk para eksil dan akan terbang ke Jakarta pada akhir tahun ini. Tak seperti para koleganya, ia berpikir untuk menetap cukup lama di kampung kelahirannya di Banjarnegara, Jawa Tengah.

Dibantu keluarganya, Soebajo sedang menyiapkan tempat tinggal dan mencari sebidang tanah kebun. Ia akan menanami ladang itu dengan pohon pisang dan membuat empang yang bakal diisi mujair. “Itu mimpi saya,” tuturnya. Soebajo pun mengaku sedang menyusun rencana pendirian fasilitas kesehatan di Banjarnegara.

Soebajo meninggalkan Indonesia pada 1963. Ia mendapat beasiswa dari pemerintah Orde Lama untuk kuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi Praha. Di sana Soebajo mengambil jurusan manajemen perbankan. Setelah peristiwa 1965 meletus, Soebajo diminta meneken pernyataan yang bertentangan dengan sikapnya.

Pria 82 tahun itu cukup lama menjadi pendukung Sukarno. Soebajo mengaku aktif di Gerakan Siswa Nasional Indonesia, Gerakan Pemuda Marhaenis, dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia—ketiganya adalah onderbouw Partai Nasional Indonesia yang didirikan Bung Karno. Tak lulus screening, paspor Soebajo ditarik. Ia memperoleh kewarganegaraan Cek pada 1994.

Baca: Pelanggaran HAM Berat dan Sesal Jokowi

Seperti eksil lain, Soebajo sudah pensiun. Tapi ia masih berfokus membimbing atlet karate. Di bidang bela diri asal Jepang ini, Soebajo mendapat posisi terhormat di Cek. Ia pernah memimpin organisasi karate di sana.

Menerima bantuan keimigrasian dari pemerintah Indonesia, Soebajo tak lantas merelakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melenggang di jalur non-yudisial. Ia berharap para pelaku yang masih hidup dapat diadili di pengadilan. “Hukum tak boleh tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Lagi Berharap Pulang"

Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus