SUATU perundingan 4 hari mengenai tataniaga tekstil
internasional, baru saja rampung diselenggarakan Departemen
Perdagangan di Bali Room Hotel Indonesia Sheraton (10 April).
Sehari setelah dibuka Menperdag Radius Prawiro, dari Asosiasi
Pertekstilan Indonesia (API) keluar pernyataan. Mereka meminta
agar 26 negara sedang berkembang yang duduk dalam perundingan,
mengeluarkan sikap tegas untuk menghadapi negara industri yang
sering berlaku tidak adil karena melakukan pembatasan terhadap
tekstil negara-negara sedang berkembang.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menuding beberapa anggota
negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) sebagai contoh negara
industri yang melakukan tindakan tidak adil itu. "Tahun 1980
ekspor kami ke MEE belum lagi mencapai 0,5% dari seluruh total
impor MEE, tapi kuota sudah diberlakukan," kata Atam
Surakusumah, Ketua Umum API. Dengan sengit, ia mengatakan,
tindakan itu tidak saja memukul kepentingan konsumen di
negara-negara maju -- yang ingin tekstil murah -- tapi juga
merugikan pertumbuhan industri tekstil di negara yang baru
tumbuh.
Atam tidak secara khusus menyebut korban itu Indonesia. Tapi
kepada TEMPO, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Dr. Suhadi
Mangkusuwondo membenarkan ia telah menerima laporan, ada
beberapa perusahaan tekstil dalam negeri yang menghentikan usaha
mereka akibat kuota itu. "Jadi, kalau asosiasi bersuara keras,
itu wajar," katanya kepada Marah Sakti dari TEMPO.
"Konsentrasi ekspor tekstil kita hingga kini memang masih lebih
berat ke MEE dan AS," kata Suhadi. Dengan MEE, jumlah ekspor
Indonesia tahun 1979 sekitar US$ 35 juta atau sepertiga dari
keseluruhan ekspor tekstil. "Tahun 1980, belum dihitung, tapi
saya kira lebih besar," tambahnya.
Setelah beberapa negara anggota MEE melaksanakan kuota, ia
kemudian menyerukan para eksportir agar melakukan
penganekaragaman pasar dan produk. "Agar tidak bergantung pada
satu dua pasar saja," sambungnya. Ini dibenarkan Rusman A.
Muthallib, Dir-Ut PT Cotexi Inas -- sebuah perusahaan pakaian
jadi di Jakarta yang kini aktif menerima pesanan kemeja dari
luar negeri. "Kami memang terus mengusahakan tempat pelemparan
baru. Selain Eropa juga ke Asia, seperti Irak," ujarnya.
"Dengan Hungaria, masih dalam penjajakan. Belum ada kontak
secara resmi," ucap Rusman. Tapi dia mengakui pernah mengirim
tawaran ke negeri itu. Ia tampak sungkan membicarakan bisnis
dengan negara Eropa Timur tersebut. Tetapi, seorang staf di
bagian perdagangan kedutaan Hungaria di Jl. Rasuna Said,
Jakarta, membenarkan bahwa mereka memang bermaksud membeli
tekstil Indonesia. Robert Paar, staf Kedubes Hungaria malah
mengatakan, pihak Hungaria telah mengadakan pembicaraan dengan
PT Cotexi Inas dan PT Samputra. Perusahaan garment yang
berkantor di Jakarta.
Cari Pasar
"Saya kira Hungaria bisa jadi tempat pelemparan baru buat kami.
Ini memang rezeki baru setelah pukulan kuota dari Prancis bulan
Januari lalu," ujar Rusman. Dengan beberapa perusahaan pakaian
jadi yang lain, PT Cotexi Inas mendapat pesanan dari Prancis
berupa 11.000 lusin kemeja untuk kontrak 1981. Tapi, akhir
Januari 1981, pemerintah Prancis memberlakukan larangan impor.
"Untunglah belum sempat dibuat. Tapi saya tahu ada satu
perusahaan di Semarang dan dua di Tanjungpriok (BWI) yang sudah
sempat membuat dan barang mereka itu hingga kini menumpuk, tak
terjual," kata Rusman.
Ia tampak optimistis meskipun ada kuota MEE perusahaannya akan
dapat berkembang: "Tunggu saja, dua tiga tahun ini," Akan ada
pasar baru, yang mengimbangi MEE? "Kami memang harus terus cari
pasar. Jangan diam saja menunggu. Eksportir harus bisa kirim
misi dagang. Atau minimal menghubungi pembeli yang ada
perwakilannya di sini," Suhadi Mangkusuwondo menimpali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini