IRAN: FROM RELIGIOUS DISPUTE TO REVOLUTION
Michael M.J. Fischer, Harvard University Press, Cambridge, 1980,
314 halaman, bibliografi dan indeks.
REVOLUSI Iran sudah dua tahun umurnya bulan Februari yang lalu.
Tapi arahnya masih sama kaburnya sekarang dan setahun yang
lewat. Dibandingkan dengan saat awalnya, memang sudah ada
beberapa kemajuan kelembagaan. Sudah ada Parlemen dan kabinet,
yang kedua-duanya dipimpin tokoh dari Partai Rebublik Islam
(PRI), partainya ulama Syi'ah. Bani Sadr sudah terpilih dengan
suara mayoritas sebagai Presiden dan Islam adalah ideologi
negara.
Salah satu sumber utama ketidakpastian revolusi Iran berasal
dari pemakaian Islam sebagai ideologi negara dan kemudi
revolusi. Iran adalah negara pertama di dunia yang menjadikan
Islam berperan sebagai obor revolusi. Memang benar Islam dan
kaum ulama memiliki appeal pemersatu yang kuat dalam
menumbangkan Syah, apalagi dengan bantuan tokoh karismatis
Ayatullah Khomeini. Tapi, apakah Islam sudah punya 'cetak biru'
yang serasi untuk revolusi sosial, yang cukup mampu menampung
semangat egalitariannya?
Sebelum revolusi Iran, pada dasarnya hanya ada dua ideologi
universal yang mampu mengadakan pembaharuan sosial. Pertama,
ideologi liberal Barat melalui sistem kapitalisme, seperti
terjadi di Inggris, Amerika dan Jepang. Yang kedua adalah
ideologi Marxisme, seperti terjadi di Uni Soviet, RRC dan
Vietnam. Pengalaman dua tahun revolusi Iran menunjukkan bahwa
Islam sebagai ideologi pembaharuan sosial masih sangat terbatas
pengaruhnya tanpa bantuan dari kedua ideologi yang berasal dari
Barat itu.
Keterbatasan inilah yang juga dipertanyakan Dr. Michael Fischer
dalam bukunya yang secara kronologis dan terperinci membahas
sumber ideologi revolusi Iran. Dia adalah profesor antropologi
pada Universitas Harvard di Amerika Serikat dan simpatisan
revolusi Iran. Menurutnya, masalah pokok dalam revolusi Iran
sekarang adalah diperlukannya tokoh yang mampu menjembatani kaum
ulama Syi'ah dengan pemikiran revolusioner Barat.
Peran itu dulu dilakukan oleh seorang cendekiawan reformis
Syi'ah terkenal, Dr. Ali Shariati, yang meninggal pada 1977. Ini
meninggalkan lowongan yang belum sepenuhnya terisi dalam
kepemimpinan politik Iran. Pada tahun pertama revolusi, Fischer
juga menganggap Ayatullah Mahmud Taleghani dan Ayatullah
Motahhari sebagai penghubung antara kaum ulama dan golongan
sekuler, tapi kemudian juga kosong setelah meninggalnya
Ayatullah Taleghani dan terbunuhnya Motahhari.
Golongan sekuler di Iran tidaklah dapat diartikan sebagai
golongan anti-Islam. Bedanya dengan golongan ulama dari PRI,
golongan sekuler mengakui dan menyadari akan keterbatasan Islam
serta menghargai kebebasan pribadi dan hak minoritas, sebagai
harkat manusiawi yang juga dijamin oleh Islam. Bahkan organisasi
Mujahiddin, yang merupakan pewaris ideologi Shariati, sangat
bernapaskan Islam walaupun sudah mencampur ideologinya dengan
semangat Marxisme. Organisasi yang dominan di kalangan mahasiswa
Universitas Teheran, Fedayeen, berorientasi Marxis juga walaupun
sangat nasionalistis. Organisasi sekuler yang kuat adalah Front
Nasional dari dua bekas PM, Shahpour Bahtiar dan Mehdi Bazargan.
Faham kiri juga sangat kuat pengaruhnya pada buruh minyak, yang
pernah menolak perintah dari Khomeini.
Buku Fischer belum mencakup tahun 1980, saat Presiden Bani Sadr
tampaknya sudah mulai mengisi kekosongan intelektual revolusi
Iran. Seorang ekonom lulusan Prancis, Bani Sadr mulai mampu
memberikan kombinasi antara semangat egalitarian Islam dengan
pengalaman Barat. Bani Sadr pulalah yang menghapuskan bunga dari
bank, karena bertenungan dengan prinsip antiriba dari Islam.
Sebagai gantinya, ia menetapkan 4 persen ongkos administrasi.
Perkembangan setahun terakhir menunjukkan bahwa Bani Sadr sudah
memegang pimpinan dari kaum sekuler dalam kompetisinya dengan
kaum ulama Syi'ah dalam PRI. Latarbelakangnya sebagai anak
seorang Ayatullah terkenal dan keturunan langsung Ayatullah
Sadr-al-Din Sadr (seorang tokoh masyarakat Qum, serta
persahabatannya dengan putra Khomeini, Ahmad Khomeini,
menempatkannya dalam peran penghubung yang sangat penting itu.
Bani Sadr ikut pula berperan dalam membuat sawah bekas pejabat
Syah sebagai batulmal, yang digunakan untuk kepentingan umum.
Penguasaannya akan teori kapitalisme dan Marxisme, membuatnya
mampu memperluas horison para ulama Syi'ah tentang bidang yang
mereka tidak kuasai, tapi mutlak untuk suatu revolusi:
landreform, kontrak sosial baru untuk buruh, redistribusi
kekayaan, hak kaum wanita dan kebebasan untuk golongan
minoritas.
Jaringan Intel
Salah satu perbedaan antara Bani Sadr dan kaum ulama PRI adalah
mengenai perlunya tentara. Kaum ulama PRI lebih seNju
melembagakan pengawal revolusi (pasdaran) menjadi tentara. Bani
Sadr setuju diaktifkannya perwira bekas Syah yang dapat
dipercaya. Sebab, mendidik perwira itu butuh waktu dan lebih
baik memakai yang sudah ada melalui saringan. Menurut Fischer,
salah satu kesulitan Iran sekarang adalah kekurangan tenaga
berusia menengah di semua lapangan, -- dari 30 sampai 45 tahun.
Sebab, kebanyakan dari mereka pernah terlibat rezim Syah,
sedangkan 50 persen penduduk berusia 17 tahun ke bawah.
Akibatnya, pimpinan berusia 40-an sangat susah dicari.
Uraian Fischer mengenai demoralisasi tentara Syah merupakan
salah satu karangan Barat yang terbaik mengenai hal itu, dan
menunjukkan benarnya pandangan Bani Sadr. Dalam masa revolusi,
antara 1978 sampai Januari 1979, moral tentara sangat merosot.
Ini membuktikan bahwa pada saat yang paling genting dalam
kehidupannya, seorang prajurit yang bagaimanapun disiplin dan
mutakhir persenjataannya, pada akhirnya adalah seorang manusia
yang punya hatinurani sendiri dan yang mendasari tindakannya
pada kata moral hatinya.
"Di Tabriz, seorang perwira bertanya kepada 300 anak buahnya,
berapa orang yang mau menembak massa jika diperintahkan. Seratus
limapuluh orang maju ke depan. Ia kemudian bertanya berapa
orang yang rela menembak keluarganya sendiri. Seratus orang maju
ke depan. Akhirnya, ia, bertanya berapa orang yang bersedia
menembak orangtuanya sendiri jika dipaksa komandannya, dan 60
orang maju ke depan. Perwira tersebut kemudian menembak ke-60
prajurit itu dan dirinya sendiri," tulis Fischer. Cerita ini
sudah menjadi legenda dari revolusi Iran.
Seorang spesialis lain tentang Iran dari Universitas Chicago,
Dr. Marvin Zoni, pernah meneliti bahwa mulai dari pangkat Mayor
ke atas, promosi tentara Iran dulu dilakukan oleh Syah sendiri.
Ini untuk mencegah adanya kudeta militer. Tapi Syah tidak
menduga bahwa tradisi martir dari Islam Syi'ah membuat kaum
oposisi tidak takut mati dalam menentangnya dan justru menjadi
bumerang bagi prajuritnya, yang bagaimanapun ternyata tidak tega
untuk selalu membantai orang yang sebangsanya. Fischer juga
memperlihatkan bagaimana nasib rezim yang memelihara kekuatan
rezim Syah yang pertama-tama dihukum mati oleh para pimpinan
SAVAK (dinas intelijen). Sedangkan bekas tahanan SAVAK diangkat
sebagai martir dan tokoh besar sekarang, termasuk PM Alirajai
dari PRI.
Sandera
Fischer hanya sempat menulis tentang permulaan saja dari
penahanan sandera AS oleh mahasiswa militan Teheran, yang
dibebaskan setelah ditahan 444 hari. Penahanan sandera Kedutaan
Besar AS ini juga mencerminkan perbedaan pandangan antara kaum
sekuler pimpinan Bani Sadr dan ulama PRI. Bani Sadr berpendapat,
bahwa revolusi Iran justru membutuhkan teman di dunia Barat dan
penahanan sandera hanya akan membuat Iran kehilangan teman.
Revolusi di Nikaragua (Amerika Tengah) membuktikan bahwa kaum
liberal Barat, khususnya AS, banyak yang simpati dengan
pembaharuan sosial di Dunia Ketiga, yang sebagian merupakan
refleksi setelah Perang Vietnam. Setelah sandera ditahan pun,
Bani Sadr mengusulkan agar dibebaskan menjelang pemilu Presiden
AS 4 November 1980, agar Iran dapat mengambil keuntungan yang
maksimal.
Sudah ternyata bahwa kaum ulama PRI -- yang kurang begitu
mengetahui mekanisme demokrasi domestik negara Barat seperti
Bani Sadr -- tidak memperoleh banyak keuntungan dari penahanan
tersebut. Bukan saja Iran kehilangan teman di kalangan kaum
liberal Barat, tapi bayaran yang diperolehnya dari pertukaran
sandera juga tidak banyak. Jika nasihat Bani Sadr dituruti maka
Iran akan memperoleh US$ 21 milyar, sedangkan yang diperoleh
hanyalah US$ 12 milyar (hanya 6 milyar tunai). Iran harus pula
membayar penahanan sandera yang tidak perlu itu -- dengan
terjadinya perang melawan Irak -- dengan stagnasi ekonomi dan
kesulitan perdagangan dengan Barat, di samping alasan dasar
kemanusiaan. Dalam menerangkan perbedaan ini, buku Fischer jelas
sesuatu yang patut dibaca.
Burhan Magenda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini