Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Revolusi iran & keterbatasan...

Cambridge: harvard university, 1980 resensi oleh: burhan magenda. (bk)

18 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRAN: FROM RELIGIOUS DISPUTE TO REVOLUTION Michael M.J. Fischer, Harvard University Press, Cambridge, 1980, 314 halaman, bibliografi dan indeks. REVOLUSI Iran sudah dua tahun umurnya bulan Februari yang lalu. Tapi arahnya masih sama kaburnya sekarang dan setahun yang lewat. Dibandingkan dengan saat awalnya, memang sudah ada beberapa kemajuan kelembagaan. Sudah ada Parlemen dan kabinet, yang kedua-duanya dipimpin tokoh dari Partai Rebublik Islam (PRI), partainya ulama Syi'ah. Bani Sadr sudah terpilih dengan suara mayoritas sebagai Presiden dan Islam adalah ideologi negara. Salah satu sumber utama ketidakpastian revolusi Iran berasal dari pemakaian Islam sebagai ideologi negara dan kemudi revolusi. Iran adalah negara pertama di dunia yang menjadikan Islam berperan sebagai obor revolusi. Memang benar Islam dan kaum ulama memiliki appeal pemersatu yang kuat dalam menumbangkan Syah, apalagi dengan bantuan tokoh karismatis Ayatullah Khomeini. Tapi, apakah Islam sudah punya 'cetak biru' yang serasi untuk revolusi sosial, yang cukup mampu menampung semangat egalitariannya? Sebelum revolusi Iran, pada dasarnya hanya ada dua ideologi universal yang mampu mengadakan pembaharuan sosial. Pertama, ideologi liberal Barat melalui sistem kapitalisme, seperti terjadi di Inggris, Amerika dan Jepang. Yang kedua adalah ideologi Marxisme, seperti terjadi di Uni Soviet, RRC dan Vietnam. Pengalaman dua tahun revolusi Iran menunjukkan bahwa Islam sebagai ideologi pembaharuan sosial masih sangat terbatas pengaruhnya tanpa bantuan dari kedua ideologi yang berasal dari Barat itu. Keterbatasan inilah yang juga dipertanyakan Dr. Michael Fischer dalam bukunya yang secara kronologis dan terperinci membahas sumber ideologi revolusi Iran. Dia adalah profesor antropologi pada Universitas Harvard di Amerika Serikat dan simpatisan revolusi Iran. Menurutnya, masalah pokok dalam revolusi Iran sekarang adalah diperlukannya tokoh yang mampu menjembatani kaum ulama Syi'ah dengan pemikiran revolusioner Barat. Peran itu dulu dilakukan oleh seorang cendekiawan reformis Syi'ah terkenal, Dr. Ali Shariati, yang meninggal pada 1977. Ini meninggalkan lowongan yang belum sepenuhnya terisi dalam kepemimpinan politik Iran. Pada tahun pertama revolusi, Fischer juga menganggap Ayatullah Mahmud Taleghani dan Ayatullah Motahhari sebagai penghubung antara kaum ulama dan golongan sekuler, tapi kemudian juga kosong setelah meninggalnya Ayatullah Taleghani dan terbunuhnya Motahhari. Golongan sekuler di Iran tidaklah dapat diartikan sebagai golongan anti-Islam. Bedanya dengan golongan ulama dari PRI, golongan sekuler mengakui dan menyadari akan keterbatasan Islam serta menghargai kebebasan pribadi dan hak minoritas, sebagai harkat manusiawi yang juga dijamin oleh Islam. Bahkan organisasi Mujahiddin, yang merupakan pewaris ideologi Shariati, sangat bernapaskan Islam walaupun sudah mencampur ideologinya dengan semangat Marxisme. Organisasi yang dominan di kalangan mahasiswa Universitas Teheran, Fedayeen, berorientasi Marxis juga walaupun sangat nasionalistis. Organisasi sekuler yang kuat adalah Front Nasional dari dua bekas PM, Shahpour Bahtiar dan Mehdi Bazargan. Faham kiri juga sangat kuat pengaruhnya pada buruh minyak, yang pernah menolak perintah dari Khomeini. Buku Fischer belum mencakup tahun 1980, saat Presiden Bani Sadr tampaknya sudah mulai mengisi kekosongan intelektual revolusi Iran. Seorang ekonom lulusan Prancis, Bani Sadr mulai mampu memberikan kombinasi antara semangat egalitarian Islam dengan pengalaman Barat. Bani Sadr pulalah yang menghapuskan bunga dari bank, karena bertenungan dengan prinsip antiriba dari Islam. Sebagai gantinya, ia menetapkan 4 persen ongkos administrasi. Perkembangan setahun terakhir menunjukkan bahwa Bani Sadr sudah memegang pimpinan dari kaum sekuler dalam kompetisinya dengan kaum ulama Syi'ah dalam PRI. Latarbelakangnya sebagai anak seorang Ayatullah terkenal dan keturunan langsung Ayatullah Sadr-al-Din Sadr (seorang tokoh masyarakat Qum, serta persahabatannya dengan putra Khomeini, Ahmad Khomeini, menempatkannya dalam peran penghubung yang sangat penting itu. Bani Sadr ikut pula berperan dalam membuat sawah bekas pejabat Syah sebagai batulmal, yang digunakan untuk kepentingan umum. Penguasaannya akan teori kapitalisme dan Marxisme, membuatnya mampu memperluas horison para ulama Syi'ah tentang bidang yang mereka tidak kuasai, tapi mutlak untuk suatu revolusi: landreform, kontrak sosial baru untuk buruh, redistribusi kekayaan, hak kaum wanita dan kebebasan untuk golongan minoritas. Jaringan Intel Salah satu perbedaan antara Bani Sadr dan kaum ulama PRI adalah mengenai perlunya tentara. Kaum ulama PRI lebih seNju melembagakan pengawal revolusi (pasdaran) menjadi tentara. Bani Sadr setuju diaktifkannya perwira bekas Syah yang dapat dipercaya. Sebab, mendidik perwira itu butuh waktu dan lebih baik memakai yang sudah ada melalui saringan. Menurut Fischer, salah satu kesulitan Iran sekarang adalah kekurangan tenaga berusia menengah di semua lapangan, -- dari 30 sampai 45 tahun. Sebab, kebanyakan dari mereka pernah terlibat rezim Syah, sedangkan 50 persen penduduk berusia 17 tahun ke bawah. Akibatnya, pimpinan berusia 40-an sangat susah dicari. Uraian Fischer mengenai demoralisasi tentara Syah merupakan salah satu karangan Barat yang terbaik mengenai hal itu, dan menunjukkan benarnya pandangan Bani Sadr. Dalam masa revolusi, antara 1978 sampai Januari 1979, moral tentara sangat merosot. Ini membuktikan bahwa pada saat yang paling genting dalam kehidupannya, seorang prajurit yang bagaimanapun disiplin dan mutakhir persenjataannya, pada akhirnya adalah seorang manusia yang punya hatinurani sendiri dan yang mendasari tindakannya pada kata moral hatinya. "Di Tabriz, seorang perwira bertanya kepada 300 anak buahnya, berapa orang yang mau menembak massa jika diperintahkan. Seratus limapuluh orang maju ke depan. Ia kemudian bertanya berapa orang yang rela menembak keluarganya sendiri. Seratus orang maju ke depan. Akhirnya, ia, bertanya berapa orang yang bersedia menembak orangtuanya sendiri jika dipaksa komandannya, dan 60 orang maju ke depan. Perwira tersebut kemudian menembak ke-60 prajurit itu dan dirinya sendiri," tulis Fischer. Cerita ini sudah menjadi legenda dari revolusi Iran. Seorang spesialis lain tentang Iran dari Universitas Chicago, Dr. Marvin Zoni, pernah meneliti bahwa mulai dari pangkat Mayor ke atas, promosi tentara Iran dulu dilakukan oleh Syah sendiri. Ini untuk mencegah adanya kudeta militer. Tapi Syah tidak menduga bahwa tradisi martir dari Islam Syi'ah membuat kaum oposisi tidak takut mati dalam menentangnya dan justru menjadi bumerang bagi prajuritnya, yang bagaimanapun ternyata tidak tega untuk selalu membantai orang yang sebangsanya. Fischer juga memperlihatkan bagaimana nasib rezim yang memelihara kekuatan rezim Syah yang pertama-tama dihukum mati oleh para pimpinan SAVAK (dinas intelijen). Sedangkan bekas tahanan SAVAK diangkat sebagai martir dan tokoh besar sekarang, termasuk PM Alirajai dari PRI. Sandera Fischer hanya sempat menulis tentang permulaan saja dari penahanan sandera AS oleh mahasiswa militan Teheran, yang dibebaskan setelah ditahan 444 hari. Penahanan sandera Kedutaan Besar AS ini juga mencerminkan perbedaan pandangan antara kaum sekuler pimpinan Bani Sadr dan ulama PRI. Bani Sadr berpendapat, bahwa revolusi Iran justru membutuhkan teman di dunia Barat dan penahanan sandera hanya akan membuat Iran kehilangan teman. Revolusi di Nikaragua (Amerika Tengah) membuktikan bahwa kaum liberal Barat, khususnya AS, banyak yang simpati dengan pembaharuan sosial di Dunia Ketiga, yang sebagian merupakan refleksi setelah Perang Vietnam. Setelah sandera ditahan pun, Bani Sadr mengusulkan agar dibebaskan menjelang pemilu Presiden AS 4 November 1980, agar Iran dapat mengambil keuntungan yang maksimal. Sudah ternyata bahwa kaum ulama PRI -- yang kurang begitu mengetahui mekanisme demokrasi domestik negara Barat seperti Bani Sadr -- tidak memperoleh banyak keuntungan dari penahanan tersebut. Bukan saja Iran kehilangan teman di kalangan kaum liberal Barat, tapi bayaran yang diperolehnya dari pertukaran sandera juga tidak banyak. Jika nasihat Bani Sadr dituruti maka Iran akan memperoleh US$ 21 milyar, sedangkan yang diperoleh hanyalah US$ 12 milyar (hanya 6 milyar tunai). Iran harus pula membayar penahanan sandera yang tidak perlu itu -- dengan terjadinya perang melawan Irak -- dengan stagnasi ekonomi dan kesulitan perdagangan dengan Barat, di samping alasan dasar kemanusiaan. Dalam menerangkan perbedaan ini, buku Fischer jelas sesuatu yang patut dibaca. Burhan Magenda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus