PULUHAN bayi tanpa bapak berdesak-desakan di atas tempat tidur
yang sempit. Sesekali terdengar mereka merengek, bagaikan koor.
Tapi tak jarang juga jerit mereka melengking-lengking seperti
memanggil.
Manusia-manusia kecil itu bukanlah bayi tabung -- dan bukan
pula korban perang. Mereka, yang mulus maupun cacat, adalah
korban "kecelakaan" akibat hubungan gelap. Ibu mereka adalah
perawan desa anak petani, anak sekolah, babu, karyawan satu
instansi dan juga pelacur. "Wanita dari berbagai tingkat
sosial," tambah pimpinan klinik tempat khusus melahirkan dan
merawat bayi-bayi gelap di pinggir Kota Sukorejo, Pasuruan,
Ja-Tim itu.
Ida Bagus Agung, 54 tahun, pendiri dan pimpinan klinik itu
dengan bangga memperlihatkan sekitar 50 bayi yang kini sedang
dirawat di sana. Buyung-buyung itu tidur berjejer, hampir
berdesakan. Satu tempat tidur bayi, diisi oleh 4 sampai 5 si
kecil. Beberapa di antara mereka bertubuh montok dan tampak
lucu. Tapi tak sedikit pula yang kurus kering -- bahkan yang
cacat.
Diadopsi
Seorang di antaranya, berusia sekitar 1 tahun, tak memiliki
kedua belah kaki. Sambil menggigit dot susu, matanya menerawang
ke langit-langit, seperti ada yang hendak diingatnya. "Ibunya
seorang pelacur, yang mungkin mengidap penyakit kotor ketika
mengandungnya," tutur seorang perawat yang menungguinya.
Ida Bagus Agung sendiri tampaknya sudah begitu terbiasa
menyaksikan pemandangan di ruang bayi-bayi itu. Klinik ini
sendiri didirikannya sejak 1964, tak lama setelah Ida mencatat
dalam ingatannya bahwa di sekitar tahun itu di daerah Sukorejo
sering kedapatan gadis bunuh diri. Setelah diautopsi, pada
umumnya gadis-gadis itu diketahui dalam keadaan hamil muda.
Bahkan Ida, bekas mantri perawat CBZ (RSU) Simpang, Surabaya
pernah menjumpai seorang murid SMP Lawang menabrakkaan diri
pada kereta api yang sedang berlari kencang. Gadis kecil yang
malan ini ternyata sedang hamil 4 bulan.
Laki-laki kelahiran Pulau Dewata itu memang sejak kecil
bercita-cita terjun dalam bidang perawatan kesehatan -- meski
tak disebutkannya, kira-kira menjadi dokter. Tapi pendidikan
resminya yang hanya sampai kelas 5 Sekolah Rakyat zaman Belanda
(SR angka loro) Denpasar, membawa nasibnya sebagai mantri di RSU
Simpang (1939/1945).
Selama perang kemerdekaan ia juga memilih bertugas di pos-pos
kesehatan. Meskipun pernah mencapai pangkat letnan muda, ia
akhirnya mengundurkan diri dari dinas ketentaraan. Setelah
perang usai, ia menetap di Sukorejo dan mendirikan klinik khusus
tadi, sampai sekarang.
Klinik itu pada mulanya lebih banyak memberi obat berupa
nasihat-nasihat agar si calon ibu tidak bunuh diri untuk menahan
malu. Tapi ternyata itu tak cukup. Sebab bayi dalam kandungan
makin membesar dan memerlukan pertolongan. Perawatan medis pun
diberikan. Artinya kepada si calon ibu disanggupi untuk
menggugurkan bayi itu. Tapi secara diam-diam selama dalam
perawatan ia diberi suntikan vitamin, sekaligus menampungnya
untuk tinggal di klinik.
Dan sementara kandungan makin membengkak, si calon ibu
diyakinkan agar tidak menggugurkan bayinya. Umumnya mereka
setuju. Maka, setelah bayi lahir, si ibu diperkenankan
menungguinya sekaligus menyusukannya. Selanjutnya, ibu muda
tadi boleh pergi dengan meninggalkan anaknya -- tanpa biaya
sedikit pun. "Sejak usaha klinik ini dikenal orang, saya hampir
tak pernah mendengar lagi ada gadis hamil yang bunuh diri,"
ungkap Ida Bagus Agung.
Karena itu, usaha Ida kemudian berkembang pula. Selain klinik,
ia mendirikan juga panti asuhan, Panca Dharma namanya, khusus
untuk mengasuh dan membesarkan bayi-bayi tanpa orang tua itu.
Anak-anak itu sebagian kemudian diadopsi oleh
keluarga-keluarga yang berminat melalui Pengadilan Negeri.
Bahkan sampai sekarang, sudah 100 bayi lebih diadopsi
orang-orang di Negeri Belanda," tambah Ida.
Kalau pada waktu bayi-bayi itu lahir dan dirawat tak dipungut
bayaran, biaya justru dikenakan kepada para pengangkat anak. Ida
tak mau menyebutkan jumlah biaya itu. "Hanya sekedarnya, tidak
sebanding dengan biaya yang telah kami keluarkan," itu saja
pengakuan Ida.
Dengan usahanya itu, mula-mula Ida dituduh membantu gadis-gadis
yang ingin menggugurkan kandungan. Kemudian, karena makin banyak
orang yang mengangkat anak dari klinik itu, ia dituduh pula
memperjual-belikan bayi. "Setelah dicek pihak berwajib, ternyata
memang tidak terbukti," kata Ida. Padahal, tambahnya, "semua
usaha ini saya lakukan untuk menolong gadis-gadis, sekaligus
menyelamatkan bayi-bayi yang tak berdosa itu."
Gadis-gadis yang mengalami "kecelakaan" itu datang dari berbagai
penjuru Jawa Timur, bahkan dari Jawa Tengah. Terbanyak di
antaranya dari Tretes (daerah rekreasi tak jauh dari Kota
Malang), Malang sendiri dan Surabaya. Usia mereka mulai 15 tahun
sampai 30 tahun. Menurut Ida, sebelum mereka datang ke klinik
ini, berbagai obat tradisional maupun modern telah dicoba
calon-calon ibu itu untuk menggugurkan kandungannya.
Januari-Maret, 59 Bayi
Ida Bagus Agung yang mempunyai 4 anak dan 12 orang cucu itu,
menduga, usaha-usaha untuk menggugurkan kandungan itulah
penyebab banyak di antara bayi yang lahir di sana cacat. Bahkan
beberapa di antaranya hanya dapat lahir dari perut ibunya
setelah mendapat perawatan khusus di RSU Dr. Sutomo Surabaya.
Sebagai contoh, kata Ida Bagus Agung, "dari 59 bayi yang lahir
di klinik saya sejak Januari hingga Maret 1981, 14 di antaranya
meninggal dunia karena keadaannya sangat lemah dan tak normal."
Jumlah kelahiran bayi tanpa bapak yang sah di klinik itu
tampaknya makin meningkat. Ida menyebut angka kelahiran pada
1976 hanya 13 bayi. Tapi tahun berikutnya menjadi 23, pada 1978
sebanyak 21, pada 1979 naik jadi 57 dan pada 1980 melonjak
menjadi 85 bayi.
Seorang gadis, 23 tahun, tanpa mau menyebut namanya, pekan lalu
terlihat hilir mudik di beberapa ruangan klinik itu. Dengan
perut yang membengkak karena menyandang janin berusia 9 bulan,
sambil menunggu hari-hari kelahiran anaknya, ia membantu
beberapa pekerjaan di klinik itu. Seperti menyodorkan dot susu
di mulut seorang bayi, mengganti popok, bahkan tak segan-segan
mencuci pakaian bayi.
Gadis yang berasal dari Kota Malang itu mengakui, yang
dikandungnya adalah calon manusia sebagai hasil hubungan gelap
dengan seorang laki-laki kenalannya. "Dan karena melahirkan di
sini tidak membayar, saya turut membantu pekerjaan," ungkapnya.
Menurut dia, sebelumnya ia memang sudah mendengar adanya klinik
bersalin ini dari pembicaraan beberapa orang temannya.
Setelah pada 1978 memiliki bangunan sendiri yang cukup memadai,
klinik itu diresmikan Mayjen Sugandhi menjadi Rumah Sakit MKGR
(Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong) pada 12 Maret lalu.
"Malahan direncanakan menjadi RS Pusat MKGR se Indonesia,"
tambah Ida Bagus Agung.
Memiliki 10 buah lokal, RS ini sekarang sedang bersiap-siap
untuk memperbesar bangunannya.
RS itu kini mempekerjakan 37 orang, yaitu pembantu perawat,
bidan, analis dan seorang dokter. Ida sendiri bertindak sebagai
pimpinannya. Tak sedikit di antara pembantu perawat di sana
adalah anak-anak asuhan dari panti asuhan itu sendiri.
Pembiayaan sehari-hari RS itu, selain bayaran pasien umum (bukan
melahirkan karena "kecelakaan"), juga didapat dari
sumbangan-sumbangan, antara lain dari Dinas Sosial. Menurut Ida,
biaya paling besar adalah menyekolahkan anak-anak asuhan yang
masih tinggal di sana karena belum ada yang memungutnya sebagai
anak angkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini