Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis laporan terbaru terkait Keputusan Pemerintah ihwal pembukaan kembali keran ekspor pasir laut. Studi itu menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, yang dinilai dapat memicu kehancuran ekosistem laut, meningkatkan erosi pantai, merusak terumbu karang, dan menimbulkan hilangnya biodiversitas laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain memicu kehancuran ekosistem laut, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menganggap, penambangan pasir laut juga mengakibatkan Indonesia mengalami krisis karbon biru. Ia mengatakan adanya kerusakan itu sulit untuk diperbaiki dalam jangka panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Indonesia akan kehilangan potensi blue carbon dan ekosistem ekonomi biru jika eksploitasi pasir laut dilanjutkan," ucap Bhima.
Dia mengatakan, saat ini pemerintah sedang menggagas pengoptimalan kredit karbon sebesar US$ 65 atau setara Rp994,5 triliun. "Padahal diperkirakan Indonesia memiliki potensi 17 persen karbon biru dari total seluruh dunia, setara 3.4 giga ton," ujarnya.
Bhima menyarankan, agar pemerintah melakukan opsi pembangunan pesisir dan kelautan secara berkelanjutan. Ia menilai jika hal tersebut justru lebih menguntungkan dibandingkan praktik ekspor pasir laut yang merusak ekosistem ekonomi biru.
Dikutip dari Koran Tempo edisi Selasa, 01 Oktober 2024, Bhima mengatakan laut Indonesia berpotensi menyumbang 17 persen dari total cadangan karbon biru. Menurutnya, kegiatan tambang pasir laut akan merusak wilayah pesisir seperti daerah pantai yang ditanami mangrove.
"Artinya, kalau ada eksploitasi pasir laut, potensi karbon biru itu pasti berkurang. Penambangan pasir laut pasti berdampak pada ekosistem pesisir mangrove," kata Bhima ketika dihubungi pada Senin, 30 September 2024.
Dia mengatakan pemerintah sedang giat dalam mengurangi emisi gas rumah kaca atau GRK nasional. Berdasarkan data Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menetapkan target pengurangan emisi sebesar 32 persen atau 912 juta ton setara dengan karbondioksida (CO2e) pada tahun 2030.
Adanya ihwal pembukaan kembali keran ekspor pasir laut, Bhima menilai upaya pemerintah dalam mengurangi emisi itu dianggap mustahil. "Karena tidak mungkin mengejar kredit karbon dengan ambisius ketika pemerintah membuat kebijakan yang merusak laut dan pesisir," kata dia.