SECARA kultural boleh dibilang hanya program musik dan sandiwara yang memberikan warna Indonesia untuk TVRI. Selebihnya, Barat. TVRI bukan tidak menyadari bahwa program drama harus lebih ditingkatkan, tapi tampaknya terbentur pada soal: dari mana mereka harus mulai? Sebegitu jauh antara TVRI dan sekian banyak kelompok sandiwara tidak terjalin hubungan saling tergantung yang positif. Masing-masing jalan sendiri. Halim Nasir, koordinator Bidang Drama TVRI mengibaratkan hubungan itu bagaikan proses jual beli. Kelompok sandiwara menggarap semua: Ide cerita, naskah, kostum, latihan pemain. Bila semua itu dianggap memenuhi syarat, TVRI akan "membelinya" sesuai dengan tarif yang sudah ditentukan. Khusus sandiwara ringan untuk anak-anak dan remaja di samping Keluarga Marlia Hardi, ada Keluarga Darussalam, Sanggar Sketsa. dan Ratu Asia. Dulu pernah ada Keluarga Pak Is. Di segi akting, dua grup terakhir tampak dilatih untuk memberi isi pada perwatakan, sedangkan pada Keluarga Marlia Hardi dan Darussalam permainan tampak mengalir wajar, cuma kurang didukung analisa watak. Agaknya, ini bukan karena mereka kuno, tapi lantaran dibiarkan memerankan diri masing-masing. Untuk misi pendidikan, Keluarga Marlia boleh dibilang berhasil, tapi mutu aktingnya tidak istimewa. Mereka bermain tidak teatral, tapi itulah rupanya yang mengena di hati penonton Indonesia. Mengapa grup sandiwara tidak bisa hidup subur? Menurut Halim Nasir, karena kurangnya naskah yang bermutu, akibat dramatisasi dan logika cerita tidak kuat. Diakui oleh Pipiet Sandra bahwa semua itu tidak mudah. Dengan tandas pengasuh grup Ratu Asia ini berkata, "Dari penampilan di TVRI, paling-paling yang didapat cuma popularitas. Penghasilan? Mana cukup." Untuk bisa tampil secara rutin, seperti yang dilakukan Keluarga Marlia, menurut Pipiet, harus disediakan waktu dan dedikasi penuh. Itulah barangkali yang tak mungkin, karena risikonya besar, bisa-bisa periuk nasi terguling. Risiko itulah yang dihadapi Marlia Hardi dengan berani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini