Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tiada tempat bagi pembunuh

Di balikpapan, jaksa herman prawira menuntut hukuman seumur hidup bagi pembunuh keluarga jaksa itu. (hk)

30 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH Haji Nur, yang membantai keluarga mertuanya, dihukum mati oleh Pengadilan Negeri Ujungpandang, awal Juni lalu, glliran Tarmizl, pekan lalu, dihukum seumur hidup di Pengadilan Negeri Medan. Tarmizi, 24, terbukti menghabisi sahabatnya, Syafei, beserta istri dan anaknya, hanya untuk menguasai sebuah sepeda motor. Putusan-putusan hakim yang berat itu, rupanya, "mempengaruhi" pula penuntutan perkara pembantaian keluarga Jaksa Gugun Hutapea di Balikpapan. Kamis pekan lalu Jaksa Herman Prawira menuntut hukuman seumur hidup bagi Iskandar, 40 dan, Amiruddin, 45, yang dituduh berkomplot membantai keluarga Jaksa itu. Sehari sebelumnya, Jaksa Herman Prawira bahkan memperbaiki tuntutannya atas Muis, yang juga dituduh terlibat dalam pembunuhan Gugun itu, dari 20 tahun penjara menjadi seumur hidup. "Kejaksaan mendapat protes masyarakat karena hanya menuntut 20 tahun penjara buat Muis, padahal perkara semacam itu di Ujungpandang - perkara Haji Nur divonis dengan hukuman mati," ujar Asisten I Bidang Intel Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, P. Tambunan. Jaksa Herman Prawira memberi alasan bahwa tuntutan 20 tahun ternyata tidak akan cukup membuat Muis menyesal. "Ia malah menertawakan tuntutan saya itu," ujar Herman. Bahkan, menurut Herman, ketika ia selesai membacakan tuntutan itu, di luar ruang sidang, Muis bercanda dengan istrinya: cubit-cubitan. "Jelas, orang semacam itu harus dijauhkan dari pergaulan masyarakat," kata Herman lagi. Muis, Iskandar, Amiruddin bersama Sarimpi dan Dohang - dua nama belakangan itu dituntut 20 tahun penjara - menurut Herman, dituntut hukuman seberat itu karena benar-benar merencanakan pembunuhan terhadap Jaksa Gugun Hutapea. Motifnya, kata Herman, hanyalah karena Gugun pernah membentak-bentak Iskandar yang menjadi ketua RT di Gunung Barakan. Selain itu Gugun mengusut ketua RT itu, yang diduga menjadi otak pencurian-pencurian di daerah itu. Dendam itulah, tuduh Herman, yang membuat Iskandar bersama komplotannya membantai keluarga Gugun, 25 September lalu. Dalam peristiwa itu, selain Gugun, komplotan Iskandar membunuh putri korban, Juwita, 15 dan melukai istri dan dua anak korban yang lain. "Mereka telah meruntuhkan masa depan kami," kata Nyonya Hasoloan Gugun Hutapea, mengenang peristiwa itu. Berbeda dengan perkara Tarmizi, di Medan, yang motifnya murni perampokan. Suatu hari, akhir Oktober lalu, Tarmizi bertamu ke rumah temannya, Syafei, untuk meminjam uang untuk biaya menikahi pacarnya yang telanjur hamil. Syafei tak bisa memenuhi permintaan itu, bukan apa-apa, karena memang tidak mempunyai persediaan uang untuk membantu temannya itu. Hanya saja sebagai sahabat lama, Syafei memperkenankan Tarmizi menginap di rumahnya di Kelurahan Denai, Pasar IV, Medan. Beberapa hari di rumah temannya, Tarmizi tergoda untuk merampok sepeda motor Syafei, guna menutupi kebutuhannya. Dinihari, 5 November 1983. Tarmizi membangunkan temannya itu dengan golok terhunus. Ia mencoba memaksa Syafei menyerahkan surat-surat motor. Ketika permintaan itu ditolak, tanpa pikir panjang, Tarmizi menebas leher Syafei sehingga hampir putus. Istri Syafei, yang lagi hamil, menyusul menjadi korban berikutnya. Begitu pula putri Syafei, Juliani, yang baru berusia dua tahun. Bocah itu meninggal akibat bacokan di kepalanya (TEMPO, 19 November 1983, Kriminalitas). Menurut Jaksa T. Napitupulu, perbuatan itu merupakan pembunuhan yang direncanakan. Sebab, sebelum membangunkan Syafei, Tarmizi masih sempat merokok dan merenungkan perbuatan yang akan dilakukannya. "Ia paling tidak merencanakan pembunuhan itu selama 30 menit," ujar Napitupulu. Sebab itu, Napitupulu menuntut Tarmizi dihukum mati. Tapi Hakim Hartomo, yang mengadili perkara itu, tidak sependapat bahwa pembunuhan itu dilakukan secara berencana. "Ia membunuh agar leluasa merampok harta korban," ujar Hartomo mendukung pendapat pembela, Makmur Hasugian. Sebab itu Hakim memutuskan Tarmizi hanya terbukti merampok dan membunuh dan menghukumnya seumur hidup. Hukuman itu, menurut Hartomo, terpaksa dijatuhkannya karena perbuatan itu tidak berperi kemanusiaan, dan agar dijadikan contoh dari orang yang tidak tahu membalas budi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus