DUA jam sebelum Sopir Suwarno, 54, menemukan Bu Mar menggantung diri, Amadi, 30, tukang becak, masih melihat aktris itu menyiram bunga, lalu bercakap-cakap dengan tetangga. Kesibukan ini terjadi antara pukul 7.00 dan 7.30 pagi. Tapi sekitar pukul 9.00, ketika Suwarno kembali dari Jalan Maluku, Jakarta Pusat, ia melihat pekarangan sepi. Lima anjing pendek, jenis Pekingese, kesayangan Bu Mar rupanya sudah dirantai di halaman belakang, dan beberapa pasang sandal telah pula disingkirkan dari pintu depan. Rapi. Di atas meja kemudian ditemukan tujuh pucuk surat perpisahan, bukti tertulis hidup Marlia Hardi yang tragis. Pada Senin pagi, hari ke-18 Puasa, pemain watak Marlia Hardi, 57, telah tiada. Rentetan fakta di atas memberi petunjuk kuat bahwa ia menyongsong maut secara sadar dan tenang. Bahkan agaknya, Almarhumah menempuh detik-detik ketegangan itu dalam sikap dingin, tegar, penuh perhitungan. Mungkin saja ia, dengan daya khayalnya yang tinggi, telah dapat membayangkan secara persis bagaimana perbuatan sesat itu akan terjadi. Kini penggemar televisi kehilangan seorang figur ibu idaman, dan dunia seni peran di negeri ini akan sulit mencari penggantinya. Ribuan orang mengantarnya ke Pekuburan Karet siang itu, dan ribuan orang bertanya: "Mengapa Bu Mar harus pergi?" Khalayak ramai rupanya masih penasaran walaupun Kamis pekan lalu pihak polisi secara resmi memastikan bahwa pemimpin grup sandiwara televisi itu meninggal karena bunuh diri. Jika ditelusuri ke belakang, Marlia sudah berpikir serius tentang mati sejak dua tahun berselang. Dalam wawancara dengan majalah Dharma Wanita (30 November 1982) Almarhumah berkata, "Apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Saya ingin menutup mata di depan kamera, di tengah rekan-rekan saya." Minggu malam sebelum kejadian. Ny. Masmirah, tetangga Alarmhumah, berbincang-bincang agak lama dengan Marlia. "Malam itu kelihatan Bu Mar amat gelisah," tutur Masmirah. "Ia akan membayar uang arisan besok, sekitar Rp 5 juta." Menurut Masmirah, yang membuat Marlia kalut ialah berbagai ancaman lewat surat dan telepon. Tidak jelas siapa pengirim surat kaleng itu, tapi isinya, mereka akan melaporkan Almarhumah ke polisi. Ancaman itu sedemikian menghantui Marlia, hingga naskah sandiwaranya terakhir, yang sudah direkam dan akan disiarkan 8 Juli depan, diberinya judul: Surat Kaleng. Dalam keadaan tertekan, rupanya Marlia tetap kreatif, sanggup pula menuangkan penderitaannya dalam bentuk naskah. Ada kesan, sampai detik itu mentalnya masih kuat. Tapi pengaduan ke polisi kalau itu sampai terjadi - dirasakan sebagai aib yang paling mengerikan bagi wanita malang ini. "Nama baik saya tidak bisa ditukar cuma dengan Rp 15 juta," begitu ledakan Marlia yang sampai ke telinga Masmirah. Baginya, "nama baik" itu penting, karena "akan dikenang orang selalu". Kendati begitu, dalam surat pendek kepada Bu Mira (yang ditulis tangan) bertanggal 18 Juni 1984, kemarahan Marlia berganti dengan sikap menyerah. "Terpaksa jalan ini yang saya tempuh. Saya sudah tidak tahan lagi," tulisnya. Kalimat selanjutnya lebih memelas: "Tolong ngaji dan mintakan ampun/tobat kepada Tuhan. Langkah saya sudah sesat. Titip Era, jangan sampai dia ditekan orang-orang. Dia tidak tahu apa-apa." Era adalah anak perempuan Marlia. Dalam surat kepada Ruri, pemeran dengan nama sama dalam grup sandiwara Keluarga Marlia Hardi, tertera: "Sekian saja ya Rur, mengajilah untuk Ibu. Temani Era. Jangan takut. Ibu tidak akan menakut-nakuti." Naluri keibuannya terwakili dengan hangat dalam surat-surat itu. Ia memang siap untuk "pergi", tapi merasa berutang tanggung jawab pada Era. Dalam surat kepada ketua Parfi Ratno Timoer, Marlia mengaku: "Terlibat utang banyak sekali, termasuk uang arisan yang seharusnya sudah selesai tapi terpakai oleh Bu Mar . . . Ibu tidak bisa mengembalikan lagi . . . terjadi perang mulut dan gosip . . . Bu Mar sangat tidak tahan." Jadi, utang itulah biang duka cerita Marlia. Dan utang itu berkaitan erat dengan arisan call yang disalurkan Almarhumah lewat dua kelompok Keluarga Marlia Hardi dan Mekar Sari - seluruhnya beranggotakan 135 orang. Pada mulanya, arisan dikabarkan berjalan lancar. Tapi belakangan banyak anggota menunggak setoran yang jumlahnya Rp 10.000 dan Rp 100.000. Akibatnya, Marlia kewalahan, dan untuk menutupnya terpaksa meminjam kepada orang lain. Anggota yang berhak menerima tentu tidak tahu kesulitan ini. Ny. Sofia Rahman (pemeran Bi Supi), yang seharusnya menarik arisan Mei lalu. misalnya baru memperoleh uangnya pertengahan Juni. Sofia W.D., bintang film dan sutradara, pernah tertunda juga uang tarikannya sebesar Rp 1,8 juta. Kegiatan arisan bukan baru bagi Almarhumah. Bahkan ia sempat menanggung akibatnya yang pahit sekitar tahun 1973, seperti yang dikisahkan Sofia W.D. "Gara-gara arisan pula Marlia sampai sakit dan dirawat di rumah sakit," tuturnya. "Rumahnya pun kena beslah." Rumahnya yang sekarang sudah pula terjual, tapi boleh dihuni sampai 1986. Oleh Sofia, Almarhumah sudah diperingatkan supaya melupakan arisan. Tapi Marlia rupanya belum jera. "Nggak kok Sof, saya akan lebih berhati-hati," begitu janjinya. Tapi ia rupanya terjerumus makin dalam. Menurut Ny. Masmirah, selain berutang Rp 35 juta pada Ny. Tatty Soendoyo, Almarhumah juga berutang pada beberapa wanita lain. Agaknya mereka inilah (atau siapa?) yang melancarkan teror surat kaleng. Tidak heran jika banyak tagihan masuk, bahkan sesudah Marlia meninggal. Di antara yang meminjamkan uang, Ny. Soendoyo mungkin merupakan kecuali. Kepada harian Merdeka (20 Juni 1984), istri pejabat Bea Cukai yang tinggal di daerah Tebet ini berkata bahwa karena Bu Marlia sudah tidak ada, ia rela piutangnya tidak dibayar oleh ahli warisnya. Padahal, dalam surat perjanjian di atas segel jelas disebutkan bahwa Prihara Rifiyanti (Era) bersedia mengambil alih tanggung jawab bila terjadi musibah/panggilan Tuhan atas dirinya. Tidak pernah terlintas dalam pikiran rekan-rekan Marlia dari kalangan film dan televisi bahwa ia pergi dengan meninggalkan setumpuk utang. Aktor Soekarno M. Noor mengingatnya sebagai orang yang ramah dan gampang menolong. Pemenang Citra Nani Wijaya mengenangnya sebagai orang yang tahu agama dan tidak ingin orang lain ikut merasakan penderitaannya. Koordinator Bidang Drama TVRI Jakarta, Halim Nasir, yang mengenalnya lama, menyatakan bahwa Marlia adalah pribadi jujur, spontan, sangat baik, dan siap menolong. Singkatnya, Marlia di mata mereka sehari-hari adalah Bu Mar yang tampil di layar televisi: ramah tegur sapa, akrab, hangat, tempat bertanya bagi anak-anak, tempat mengadukan nasib bagi mereka yang dalam keadaan sulit. Pribadi tempat orang berguru, begitu kata seorang penggemarnya. Sebaliknya, kalau ia sendiri sulit, Marlia tidak punya tempat mengadu. Yang ada hanya lima anjing lucu dan sekawan burung. Sejak belasan tahun silam ia hidup menjanda. Marlia resmi menikah dengan Hardi (1945-1956) dan Zaenal Arifin (1958-1964). Dengan suami pertama ia bercerai baik-baik. Tapi suami kedua, yang tidak setuju Marlia main film, telah , meninggalkan Marlia tanpa surat - talak. Ia berangkat ke Jepang, menikah lagi, dan bermukim di sana sampai sekarang. Beberapa sumber menambahkan, dalam hidup pribadi aktris yang terbilang manis tapi wataknya tertutup ini pernah singgah tiga pria lain: Achmad, seorang polisi (yang tidak diketahui namanya), dan H. Taba, juru kamera PFN. Perkawinannya dengan Zaenal dikaruniai seorang anak: Era. Tapi sumber TEMPO menyatakan bahwa baik Era, 24, maupun Tunggul Baskoro, 27, keduanya anak angkat Marlia. Era kini bekerja di TVRI, Tunggul, yang namanya sering tercantum sebagai penulis naskah sandiwara Keluarga Marlia, kini hidup luntanglantung di Desa Ngembik, Magelang. Ketika diberitahu Ibunya meninggal ia menjawab, "Ya sudah, biarlah." Kendati demikian, pemuda yang cacat mental ini berniat juga ke Jakarta, melayat ibunya. Tunggul, yang bloon, mengingatkan orang pada tokoh Didu (yang diperankan Musa Sanjaya) dalam sandiwara televisi Keluarga Marlia Hardi. Tampil pertama kali di layar televisi, 1 Juni 1973, dengan judul cerita Keluarga Baru, yang dipersiapkan untuk mengisi acara anak-anak tingkat SD-SMP. Dalam waktu singkat, sandiwara yang diolah dan dipimpin langsung oleh Marlia ini berhasil menawan hati penonton dari segala lapisan. Sandiwara mereka yang ringan, tapi adat, semula diduga tidak akan panjang umurnya lantaran kehabisan ide. Ternyata, Marlia bersama anak asuhannya membuktikan lain. Dalam pasang surut 11 tahun, "keluarga" itu pertama kehilangan tokoh Ika (Azizah Yusuf), kemudian tokoh ayah, Pak Awal (Awaluddin, karena meninggal), dan Didu (menarik diri). Diseling kepergian tokoh-tokoh itu, di samping Kiki (Tuti Haryani) keluarga sandiwara itu kemudian dimeriahkan oleh Ruri, si gadis bandel, manja tapi kreatif, Bi Supi, pembantu yang lucu, sok tahu, dan cerewet bukan main, dan belakangan ada pula figuran, sopir. Tokoh sentral tetap Bu Mar, yang sehari-hari adalah juga motor untuk grup itu. Dialah yang mencari ide cerita, menulis naskah, menyutradarai, dan main sekaligus. Sesuai dengan perkembangan para tokoh, sandiwara anak-anak itu ditingkatkan jadi sandiwara remaja, dan belakangan mengisi acara Selamat Pagi Indonesia. Pemunculannya yang dulu satu kali seminggu, tiga tahun terakhir menjadi satu kali sebulan. Berkat kerja keras Marlia, grup ini menghasilkan repertoar sampai 200 judul, di samping pengakuan pihak TVRI yang menempatkannya sebagai sandiwara standar, semacam tolok ukur untuk semua drama lain yang dimunculkan televisi. Ini adalah prestasi cemerlang bagi usaha swadaya yang hanya berbekal sejumput pengalaman dan kemauan keras. DIBANDINGKAN honorarium televisi (cuma sekitar Rp 300.000) yang diakui Halim Nasir sebagai "jumlah yang tidak bisa diandalkan", jangkauan Keluarga Marlia Hardi meloncat amat jauh ke seluruh pelosok Nusantara, ke relung jiwa jutaan penonton. Dan menyatu dengan mereka, lewat kesederhanaan setting, kewajaran bermain, tema biasa sehari-hari, dan pesan atau nasihat yang halus, tidak kentara menggurui. Sumber semua kelebihan ini: Marlia Hardi. Memang dia bisa keras menggembleng anak asuhannya. Tapi mereka tahu, dialah Bu Mar yang berhati emas. Yang hanya mau membagi suka, bukan duka. Karena itu Bu Mar sering terlihat mengajak mereka makan enak di restoran, memberi hadiah yang mahal-mahal, hingga terkesan gaya hidup "besar pasak dari tiang". Biaya untuk mobil hijau Holden Premier, telepon, mencucikan baju ke hotel bintang lima, termasuk pengeluaran Marlia yang lain, di samping perawatan rutin untuk lima anjing dan sejumlah burung: robbin, cucakrawa, pokshai. Total Bu Mar membutuhkan sekitar Rp 500.000 per bulan. Sejak merintis karier di bidang film, 35 tahun lalu (film-filmnya, antara lain, Untuk Sang Merah Putih, Si Pincang, Terimalah Laguku, Busana dalam Mimpi) Marlia sudah bermain dalam puluhan film dan selalu dipercaya membawakan peran wanita budiman. Citra dirinya yang kemudian tercetak mapan ialah citra seorang wanita budiman pula. Dalam dasawarsa terakhir, sebagai bintang televisi dengan honor Rp 50.000, citra itu kemudian menjadi beban. Marlia tidak kuat mendukungnya. Ekonomi rumah tangganya yang "gali lubang tutup lubang" adalah juga refleksi dari dunia pertunjukan yang satu sisinya gemerlapan, satunya lagi compang-camping. Dan tragedi Marlia Hardi mengajak kita lebih berani melihat kenyataan ini, bukan untuk menyesali dan kemudian menutup-nutupi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini