Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Cermat Berbagi Beban Agar Selamat

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM tempo hanya dua bulan, pemerintah terpaksa merevisi lagi anggaran secara kilat lewat peraturan presiden. Itulah dampak wabah Covid-19 yang sangat membebani keuangan negara. Defisit anggaran pun membengkak luar biasa. Aslinya, anggaran 2020 hanya merencanakan defisit Rp 370,2 triliun. Pada revisi pertama 3 April lalu, lewat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020, defisitnya Rp 852,9 triliun. Kini, menurut Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 yang terbit pada 25 Juni, Kamis pekan lalu, defisit meledak menjadi Rp 1.039 triliun, hampir tiga kali lipat dibanding sebelum wabah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Defisit baru satu soal. Selain untuk menutup defisit, yang merupakan selisih pendapatan dan pengeluaran, pemerintah masih harus membiayai beberapa pos lain. Ada kebutuhan investasi secara neto Rp 181 triliun. Selain itu, ada utang jatuh tempo sebesar Rp 426 triliun. Maka, sepanjang 2020 ini, pemerintah harus mencari utang baru sebesar Rp 1.647 triliun untuk membiayai semua kebutuhan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak Januari hingga Mei, pemerintah telah menarik utang baru senilai Rp 569 triliun. Dus, hingga akhir tahun nanti pemerintah harus menggali utang Rp 1.078 triliun lagi. Sebagian kecil bisa berasal dari pinjaman luar negeri, seperti dari lembaga-lembaga multilateral. Namun sebagian besarnya akan berasal dari penjualan surat utang alias obligasi dalam rupiah. Ini bukan perkara mudah. Ketika likuiditas mengetat, apakah pasar finansial mampu menyerap obligasi yang nilainya sangat besar itu?

Sebagai gambaran, per 25 Juni, nilai seluruh obligasi pemerintah dalam denominasi rupiah yang beredar di pasar mencapai Rp 3.106 triliun. Dari jumlah itu, Rp 937 triliun di antaranya sudah berada di tangan investor asing. Banjir pasokan obligasi baru sebesar itu bisa jadi akan menenggelamkan pasar. Apalagi saat ini perbankan nasional justru sedang mengalami kesulitan likuiditas karena banyak kredit yang mulai seret pembayarannya.

Ada jalan pintas untuk mengatasi masalah ini, yakni Bank Indonesia yang bertindak menjadi penyelamat. Bank sentral mencetak uang untuk membeli obligasi langsung dari penerbitnya, yakni pemerintah. Dus, bank sentral membeli obligasi yang masih “segar” alias baru terbit di pasar perdana, bukan obligasi yang sudah beredar dan diperdagangkan di pasar finansial. Ini dapat meringankan beban pemerintah yang tak usah repot menjual obligasi ke pasar dan bisa membayar bunga lebih rendah.

Sebelum wabah, bank sentral memang tidak boleh membeli obligasi pemerintah di pasar perdana. Undang-Undang Bank Indonesia melarangnya. Namun terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020—belakangan ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020—menggugurkan larangan itu. Kini BI boleh membeli obligasi pemerintah langsung di pasar perdana. Hingga Juni ini, total pembelian BI sudah Rp 29,4 triliun. Seberapa banyak lagi bank sentral akan memborong surat utang pemerintah, hingga akhir pekan lalu perundingan antara Kementerian Keuangan dan BI masih berlangsung.

Istilahnya, inilah mekanisme pembagian beban antara otoritas fiskal dan moneter demi memulihkan ekonomi yang tergebuk pagebluk Covid-19. Ini jelas bukan perkara ringan. Ibarat obat keras, pembelian obligasi di pasar perdana oleh BI juga punya efek samping sangat serius. Jika tidak berhati-hati menjalankannya, solusi ini justru bisa menimbulkan masalah lebih berat daripada persoalan yang diobatinya. Suntikan rupiah dalam jumlah yang berlebihan sudah pasti akan menggoyahkan nilainya.

Berbeda dengan dolar Amerika Serikat, rupiah bukanlah mata uang global yang bisa diekspor. The Federal Reserve bisa saja mencetak dolar yang kemudian akan merambah ke seluruh dunia. Semua negara di dunia dengan senang hati menerima dolar Amerika yang masih laku sebagai alat pembayaran transaksi internasional dan cadangan devisa. Sebaliknya, rupiah kita hanya laku di republik ini.

Jika BI menyuntikkan likuiditas melampaui batas, ekses rupiah itu hanya akan menggenang di dalam negeri, tak bisa ke mana-mana. Selain berpotensi menimbulkan lonjakan inflasi, keseimbangan nilai tukar rupiah dengan mata uang asing akan terganggu. Bisa saja kurs rupiah merosot tajam. BI dan Kementerian Keuangan harus berhitung dengan cermat dalam berbagi beban agar ekonomi Indonesia bisa selamat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus