JAKSA Agung Singgih pernah mengatakan, "Jangan kaget bila suatu waktu jumlah tersangka akan bertambah." Agaknya, ia tak main-main. Sejak hal itu dikemukakan Rabu pekan silam, tiba- tiba muncul berita baru. Memang tidak terlalu mengejutkan, namun tak kalah menarik dari yang sudah-sudah. Sebelumnya, tersangka Eddy Tansil diisukan menyuap Direksi Bapindo, dan kini ia juga disebut-sebut telah mencekoki empat pejabat menengah bank itu. Menurut sumber TEMPO, mereka adalah M. Apip Sjahabudin, Arief Budi Setiawan, Heru Santoso, dan Riswanto Hadi. Dana yang dialirkan Eddy kepada mereka memang tidak besar, tapi menggiurkan juga. Untuk melicinkan permohonan usance L/C sekitar Rp 260 miliar bagi PT Pusaka Warna Polypropylene milik Eddy, pengusaha Pecenongan itu membagi uang Rp 750 juta kepada keempat orang tadi. Seperti diketahui, Maman Suparman, Wakil Kepala Bapindo cabang Kuningan, Jakarta, sudah lebih dulu dicurigai ikut kecipratan juga. Tapi, mengapa empat sekawan itu dicurigai? Pasalnya, saat permohonan Eddy Tansil diajukan (8 Januari 1990), posisi mereka cukup strategis. M. Apip Sjahabudin menjabat kepala urusan pembiayaan proyek (UPP) II, sedangkan Arief Budi Setiawan adalah kepala urusan kredit. Dua orang lainnya adalah staf Apip Sjahabudin. Konon, Apip dan Arief masing-masing diberi Rp 200 juta. Sisanya untuk Heru dan Riswanto. Duit itu, menurut sumber tadi, disalurkan lewat cek - diteken oleh Indriani (istri Eddy) dan salah seorang bekas direktur keuangan Grup Golden Key, Ester Susianty - melalui Bank Industri dan BBD. Berkat kerja sama mereka dengan Maman, pada 26 Juni 1990 rapat direksi yang dihadiri oleh Bambang Kuntjoro, Adhi Soegondho, dan Towil Herjoto meluluskan kredit bagi Eddy. Direksi tak akan setuju jika saja Apip Sjahabudin (kini kepala biro direksi) dan Riswanto tak mengusulkan perubahan L/C. Sebab, pada rapat 9 Januari 1990 yang dipimpin langsung oleh Direktur Utama Subekti Ismaun, direksi menginstruksikan agar Apip dan Riswanto mengkaji dulu kelayakan proyek Eddy. Ternyata, pada 21 Juni 1990 keduanya menyatakan oke. Tak kalah penting adalah peran Heru Santosa dan Arief Budi Setiawan. Keduanya telah "membantu" Eddy, hingga direksi melunakkan sejumlah syarat tambahan bagi debitur ini. Namun, ketika oleh tim Kejaksaan mereka dipanggil sebagai saksi, keempatnya berlagak bodoh. Kepada tim pemeriksa, Apip, 55 tahun, menyalahkan direksi. Katanya, direksi tak dapat menyetujui perubahan L/C tanpa lebih dulu dibahas oleh UPP II. Padahal, Apip sendiri yang mengajukan permohonan perubahan itu. Anehnya, dalam kesaksian ia mengatakan, "Untuk proyek Eddy yang menggunakan sistem turn key, usance L/C tak perlu diubah menjadi red clause L/C." Lain lagi bunyi kesaksian Arief Budi Setiawan, yang kini menjabat kepala tim pengembangan produk pangan urusan perencanaan dan pengembangan Bapindo. Kendati sudah terlibat sejak awal, kepada penyidik Arief mengakui baru mengetahui berbagai kesalahan tadi pada 1992. "Saya baru tahu setelah membaca keputusan rapat direksi tanggal 16 Mei 1992," ujarnya. Bagaimanapun "aneh" bunyi pengakuan mereka, Kejaksaan tampaknya cukup waspada. Bahwa keempatnya masih belum "dibawa" ke Gedung Bundar, tampaknya itu hanya soal waktu. "Mereka masih berstatus sebagai saksi," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, A. Soetomo, kepada TEMPO. Tapi sebuah sumber lain di Kejaksaan menambahkan, "Kami tinggal menunggu perintah untuk menangkap."Andi Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini