SEJAK awal tahun ini, dunia perbankan di Indonesia mengalami pukulan bertubi-tubi. Belum sampai setahun bank-bank menurunkan suku bunga deposito, muncul isu kredit macet yang meledak dengan bobolnya dana Bapindo. Akibatnya, guncanglah kepercayaan masyarakat terhadap bank, khususnya bank pemerintah. Kemudian, merebak isu rush dolar, akhir Maret lalu. Selanjutnya, dua pekan silam, kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS ikut menaikkan suku bunga perbankan di sini. Dan pekan lalu, muncul cerita buruk tentang perbankan Indonesia. Sebuah lembaga pembuat rating dari AS, Standard & Poor's (S&P), melaporkan bahwa perbankan Indonesia kini tampak suram. "Gambaran perbankan Indonesia dalam jangka pendek diperkirakan akan tidak menentu dan tidak stabil," kata S&P. Dalam laporan Asean Banking Profiles yang baru diterbitkan S&P, dikatakan bahwa sejak deregulasi 1988, bank-bank di Indonesia bergumul dengan aset bermasalah serta kredit yang berpotensi merugikan. Disebutkan juga bahwa masih dibutuhkan beberapa tahun lagi, barulah industri perbankan secara umum bisa memenuhi standar kecermatan (prudential) yang lebih baik. S&P lalu menganjurkan agar pemilik modal (Amerika) hati-hati kalau investasi ke Indonesia. Graeme Lee, Direktur S&P cabang Melbourne, Australia, toh mengakui bahwa laporan dari S&P Tokyo tidaklah berlaku sama bagi semua bank di Indonesia. "Bank-bank pemerintah, yang menguasai 54% perkreditan, berada dalam posisi paling buruk. Kredit bermasalah mereka sangat tinggi. Pinjaman mereka juga sangat terkonsentrasi. Permodalan mereka rendah dan rentabilitas mereka menimbulkan tanda tanya," kata Lee, sebagaimana dikutip AP-Dow Jones News Service. Sebaliknya, menurut Lee, bank-bank swasta tampak lebih positif. Laba mereka yang terakhir serta tingkat permodalan mereka kuat. Kualitas aset mereka tampak lebih baik. "Maka, bank swasta berada dalam posisi lebih baik dan lebih luwes untuk ambil bagian dalam peluang pertumbuhan bisnis dalam beberapa tahun mendatang," begitu Lee menyimpulkan. Penilaian S&P itu ternyata tidak bisa diterima kalangan bankir asing. "Beberapa kesimpulannya tidak seimbang," kata seorang bankir asing, sebagaimana dikutip kantor berita Reuters dan koran Business Times dari Singapura (edisi 28 April 1994). Bankir asing itu membenarkan, Indonesia memang negara berisiko tinggi. "Tapi saya sangat tidak sepaham bahwa gambaran jangka menengah di Indonesia adalah tak menentu dan tak stabil. Yang benar, akan terjadi konsolidasi," ujar bankir yang tak mau disebut namanya ini. Bukan tidak mungkin, laporan S&P tadi dimaksudkan untuk merangsang spekulasi dolar demi kepentingan bank-bank yang berspekulasi valuta asing (valas) di Indonesia. Pasalnya, sejak berita S&P mencuat Rabu lalu, terjadi lagi gejolak permintaan terhadap dolar. Yang menggerakkan pembelian dolar adalah Bank of America cabang London, Barkeley Bank cabang Singapura, dan Nat West Bank cabang Singapura. Jumat lalu, kata seorang bankir swasta asing, Bank Indonesia terpaksa melakukan operasi pasar dengan melemparkan ratusan juta dolar lewat Bank Ekspor Impor Indonesia dan dua pialang pasar uang, yakni PT Penta dan PT AP Nusantara. "Dalam seketika, kurs turun 3 poin menjadi Rp 2.154," kata bankir asing tadi. Kendati ada kendali BI, diam-diam terjadi juga pelarian modal. Menurut Rijanto Sastroatmodjo, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mercubuana, hal itu tercermin dari beberapa indikator. Pertama, neraca valuta asing (valas) di Bank Indonesia antara awal Maret dan awal April susut US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 3,5 triliun. Indikator kedua, kata Rijanto, adalah susutnya sertifikat Bank Indonesia (SBI) sekitar Rp 1 triliun. SBI adalah alat investasi paling aman bagi bank-bank yang kelebihan likuiditas. Indikator ketiga adalah memuainya surat berharga pasar uang (SBPU) sebesar Rp 1,2 triliun. Ini berarti, bank- bank butuh dana untuk memperkuat posisi likuiditasnya. "Jadi, di satu pihak SBI turun, di pihak lain SBPU naik. Ini berarti, bank-bank perlu dana. Mungkin untuk membeli valas atau karena terjadi penarikan simpanan di bank," kata Rijanto, yang juga menjabat Preskom Bank Djakarta dan Bank Servitia. Dana perbankan sekarang memang sulit. Seperti dikatakan Direktur Utama Yama Bank, Winfried Tongken, banyak dana kini tertanam di apartemen. Investasi di sektor ini bukan cuma terjadi di Tanah Air. Sejumlah warga Indonesia, kabarnya, tampak berminat membeli apartemen di luar negeri. Rabu pekan lalu, misalnya, harian The Jakarta Post memberitakan bahwa ada 20 orang Indonesia telah memesan apartemen di Sydney. Apartemen berukuran 54 m2 sampai 210 m2 ditawarkan di Indonesia lewat PT Mahir Wahyu Indonesia, dengan harga Rp 260 juta hingga Rp 2,1 miliar. Sementara itu, adanya gejala penarikan simpanan di bank dipantau Rijanto dari data yang menunjukkan bahwa dana bank pemerintah (Desember 1993-Februari 1994) merosot Rp 500 miliar. "Ini boleh jadi karena bunga deposito di bank pemerintah terlalu rendah. Atau bank pemerintah memang tidak butuh dana," kata pengamat terkemuka ini. "Sebaliknya, dana di bank-bank swasta pada periode yang sama naik Rp 2 triliun. "Jelas karena bunga bank swasta lebih menarik," katanya lagi. Ada dugaan, bank pemerintah belum akan segera menaikkan suku bunga deposito. Soalnya, mereka belum bisa melakukan ekspansi kredit karena perbandingan modal dan asetnya rata-rata di bawah 8%. Yang memenuhi syarat baru Bank BNI, Exim, dan BTN. Ekspansi kredit bank pemerintah tahun ini baru sekitar 5%, jauh di bawah target pemerintah yang 16%. Sedangkan ekspansi kredit bank swasta mencapai 40%. Jika bank pemerintah hendak menggenjot perkreditan sampai 16%, mereka tentu harus berupaya menarik dana masyarakat. Dan jika bank pemerintah belum siap melakukan ekspansi kredit, berarti bank swasta harus lebih gencar melakukannya. Untuk itu mereka perlu lebih banyak dana. Caranya, ya, dengan menaikkan suku bunga deposito. Tapi, Presiden Direktur Bank Niaga, Robby Djohan, berpendapat bahwa menaikkan suku bunga tak perlu terburu-buru. "Kalau betul telah terjadi pelarian modal US$ 1,7 miliar, itu kan masih kecil," kata Robby tenang sekali. Seperti diketahui, sejak Februari lalu Federal Reserve (bank sentral AS) telah tiga kali mendongkrak suku bunga, demi mencegah inflasi dan mengerem pelarian modal AS ke luar negeri. Soalnya, karena suku bunga rendah, banyak pengusaha AS melarikan modalnya, antara lain ke Asia Tenggara. "Tapi kalau suku bunga di AS naik, apa kita mesti seperti orang kebakaran jenggot?" kata Robby Djohan setengah berkelakar. Dan situasi panik seperti itu memang belum terlihat di kalangan pengusaha di sini. Dengan tenang, Ketua Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) Herman Z. Latief menyatakan, kalau bunga naik, tak ada pilihan lain bagi pengusaha yang mau berekspansi, kecuali meninjau rencana itu kembali. Selain itu, jika bunga bank naik, diperkirakan pasar mobil mungkin tidak akan lebih baik dari tahun 1993. "Penjualan kendaraan niaga masih meningkat, tapi penjualan sedan lesu," kata Herman kepada Andi Reza dari TEMPO. Sementara itu, BI, yang memainkan peran sentral di pentas moneter Indonesia, tampaknya belum menunjukkan gelagat akan menaikkan suku bunga. Suku bunga SBI, yang menjadi indikator suku bunga perbankan, masih bertahan pada angka 12% per tahun. Sikap tangguh Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono ini tentu akan ditanggapi positif oleh dunia usaha dan kalangan investor di pasar modal. Lagi pula, manfaat penurunan suku bunga bagi dunia usaha, yang berlangsung belum sampai setahun, tentu tidak akan ada artinya bila sekarang tingkat bunga itu sudah harus naik lagi.Max Wangkar dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini