PENGADILAN Negeri Jakarta Pusat sepintas mirip teater dengan repertoar yang kaya tontonan spektakuler. Di sini, persidangan atas mahasiswa yang dituduh menghina Presiden RI belum lagi usai, dalam waktu dekat akan disusul oleh pergelaran "terbesar" sepanjang tahun 1994. Seorang "megabintang" akan ditampilkan, namanya Eddy Tansil. Sabtu pekan lalu, berkas perkara manusia Rp 1,7 triliun ini telah dilimpahkan Kejaksaaan Agung ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Upaya pengacara Eddy, Gani Djemat, S.H., menawarkan aset kliennya yang dinilai seharga Rp 1,5 triliun itu agaknya tidak mempengaruhi sikap Kejaksaan dalam menyusun berkas perkara tersebut. Untuk menyeretnya ke meja hijau, tim penyidik perlu mendengar keterangan 60 orang saksi, termasuk tiga pejabat tinggi negara (Sudomo, Sumarlin, dan Nasrudin Sumintapura). Karena begitu banyak saksi, berkas perkara Eddy mencatat rekor baru: 3.110 halaman. Itu berarti, tiga kali lebih tebal dari buku telepon Jakarta. Namun, untuk rekornya itu, Eddy harus membayar mahal. Jaksa Lukman Bachmid menuduhnya telah menyalahi Undang-Undang Anti Korupsi (3/71) dan KUHP tentang pemalsuan surat-surat. Akibatnya, pria kelahiran Ujungpandang ini terancam hukuman penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun. Sebab, menurut Jaksa Lukman Bachmid, setidaknya sejak pertengahan 1989 hingga awal tahun ini, Eddy telah merugikan negara sebesar US$ 436,4 juta atau Rp 960 miliar lebih (tanpa bunga dan dana bank sindikasi). Juga, "Proyek terdakwa Graha Swakarsa Prima (GSP) dan Pusakawarna Polypropylene (PP) telah menghalang-halangi program pemerintah," begitu tuduhan Lukman. Kredit sebanyak itu, menurut Jaksa, telah disalahgunakan pemakaiannya oleh Eddy. Dana yang semestinya dipakai untuk membiayai proyek PT PP malah dimanfaatkan untuk membayar utang PT Materindo - salah satu perusahaannya - ke Bank Bumi Daya. Di bank tersebut, Eddy berutang US$ 19 juta. Ia juga memanfaatkan duit itu untuk proyek PT Hamparan Rejeki dan PT Cilegon Multi Prima Services. Selain itu, tim kejaksaan juga berhasil menemukan bukti bahwa Eddy telah mentransfer uang Bapindo ke rekeningnya sendiri di Bank Danamon cabang Jalan Tamansari Jakarta sebesar US$ 160,8 juta. Dan kekayaan negara itu ia kirim juga ke perusahaannya di Hong Kong (Golden Step), Wu Ta Hsing dan Farmer Bank of China, rekening Wah Sek and Co. di DBS Bank Singapura, serta untuk membayar banker's acceptance yang telah jatuh tempo untuk GSP dan Pusakawarna Polyethylene. Tak hanya itu. Duit negara tersebut dipakainya juga untuk membeli sejumlah rumah, tanah, dan sebuah pulau - semua sudah disita Kejaksaan Agung. Bahkan, menurut pengakuan Eddy, "rezeki" tersebut dibagikannya ke saudara, ipar, dan kerabat lainnya. Namun belum terungkap, siapa saja kerabatnya yang turut menikmati uang negara itu. Tapi, berdasarkan penyidikan, jaksa yakin bahwa penipuan gaya Eddy hanya bisa sukses karena bantuan orang Bapindo juga. Dan hal itu disebut jelas dalam surat dakwaan. Di situ tercantum, permainan Eddy bisa mulus, selain berkat bantuan koleganya di Golden Key (Koesno Achzan Jein, Antonius Wijaya, Indriani Tansil), juga karena dukungan bekas wakil Bapindo cabang Jakarta Maman Suparman dan empat bekas direksi bank itu (Subekti Ismaun, Towil Herjoto, Sjahrizal, Bambang Kuntjoro). Menurut jaksa, aksi Eddy bermula pada Juni 1989. Ketika itu ia mengajukan permohonan kredit bagi proyek Graha Swakarsa Prima senilai US$ 225,9 juta, yang hingga Mei 1993 membengkak menjadi US$ 476,4 juta. Eddy bisa berhasil setelah Maman Suparman "ditekuknya". Maman diperalat untuk mengubah usance L/C menjadi red clause L/C. Dengan cara itulah, Eddy bisa mencairkan kredit, walau akad kreditnya sendiri belum diteken. Maman, yang juga dituduh korupsi dan memberi bantuan untuk suatu tindak pidana, hingga kini tetap membantah bahwa ia menerima suap dari Eddy. Pertengahan bulan ini Maman akan diminta pertanggungjawabannya di PN Jakarta Selatan. Ia bersikeras mengatakan, perubahan usance L/C menjadi red clause L/C itu direstui kantor pusat Bapindo. Akan halnya bukti rekening Rp 150 juta yang ditemukan Kejaksaan, Maman menyatakan bahwa uang itu berasal dari pencairan 10 lembar deposito dolarnya untuk membeli rumah di Pulomas, Jakarta - sudah disita Kejaksaan Agung. Tapi, menjelang sidang, tim penyidik tiba-tiba saja berhasil menemukan bukti baru, berupa rekening Rp 100 juta di BDN atas nama Komariah, istri Maman. Temuan baru ini didapatkan secara tak sengaja. Ketika tim penyidik mengobrak-abrik rekening Eddy di berbagai bank, mereka mendapatkan sebuah titik terang. Pada masa-masa Maman mengubah L/C itu, Eddy ternyata telah mengirim uang Rp 750 juta ke sejumlah pejabat menengah Bapindo (lihat Rp 750 Juta...). Dan saat memberi kesaksiannya kepada penyidik, para pejabat Bapindo tadi pun berkicau: "Maman juga dapat uang dari Eddy Tansil." Keterangan mereka agaknya wajar. Sebab, kata sebuah sumber TEMPO, setiap Maman ditanyai soal perubahan L/C, nama keempat pejabat tadi selalu disebut-sebut. "Paduan suara" pada tingkat lebih tinggi juga diperlihatkan oleh empat bekas direktur Bapindo yang masih terus diperiksa oleh tim Kejaksaan Agung. Walau santer disebut-sebut menerima suap US$ 40 juta, mereka tetap setia pada kesepakatan semula: "Pengucuran kredit bagi Eddy Tansil tak terlepas dari pengaruh serta tekanan dari Sudomo dan Sumarlin." Bagaimana pengadilan menguji kebenaran saksi-saksi bersama "paduan suaranya" masing-masing, pasti akan sangat menarik untuk disimak. Inilah pergelaran terbesar tahun 1994, sekaligus merupakan batu ujian terberat bagi integritas lembaga peradilan.Andi Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini