Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT kerja Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dengan Dewan Perwakilan Rakyat, awal pekan lalu, berlangsung riuh. Sepucuk surat bertanggal 13 September 1999 yang diteken Muladi menjadi fokus pembicaraan di rapat itu.
Muladi, yang kala itu menjabat Menteri Sekretaris Negara, meminta kepada menteri terkait agar memberikan alokasi frekuensi untuk Global TV. Kontan, kontroversi pun meruap di gedung parlemen.
Permadi, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, menganggap surat itu sebagai ”surat sakti”, sebab permintaan itu jelas-jelas atas petunjuk Presi-den B.J. Habibie. Tak mengherankan, se-bulan setelah surat dilayangkan, izin pe-nyiaran Global TV turun dari Menteri Penerangan Yunus Yosfiah. ”Kalau- caranya seperti ini, cabut saja semua izin penyiaran televisi,” katanya bersemangat.
Sorotan tajam tak hanya tertuju pada soal proses pemberian izin siaran. Ihwal- berpindah tangannya kepemilikan saham perusahaan pengelola Global TV ke PT Bimantara Citra Tbk. pun turut- dipersoalkan. ”Sesuai dengan peratur-an, izin prinsip tidak boleh dipindah-tangankan,” kata Djoko Susilo dari Fraksi Partai Amanat Nasional.
Jika dirunut ke belakang, izin siaran Global TV yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1999 memang ditujukan untuk PT Global Informasi Bermutu. Perusahaan ini di kala itu mendapat sokongan penuh dari International Islamic Forum for Science Technology and Human Resources Development, lembaga- Islam internasional yang dikelola tokoh-tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.
Kendali perusahaan dipegang dua praktisi media: Nasir Tamara dan Ralie Siregar. Persoalan muncul ketika dana operasionalnya seret. Fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar ketika itu membuat kantong perusahaan kembang-kempis. Padahal, industri televisi rakus modal. ”Hitungan kami meleset,” kata Nasir.
Sebagai tindak penyelamatan, kata sum-ber Tempo, Nasir sesungguhnya per-nah mencoba menggamit berbagai pihak. Zuhal, tokoh ICMI yang juga Menteri Riset dan Teknologi kala itu, termasuk yang dimintai tolong. Tapi, Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia itu tak segera merogoh koceknya gara-gara Global TV tak kunjung siaran.
Nah, di saat itulah datang ”uluran tangan” dari Grup Bimantara. ”Bimantara menawarkan bantuan teknis,” kata Nasir. Dari semula hanya bantuan peralatan, pemancar, dan uji coba siaran pada 2001, Bimantara akhirnya per-la-han-lahan mengambil alih saham Glo-bal Informasi hingga 70 persen.
Terakhir, Bimantara melalui PT Media Nusantara Citra membeli sisa saham- Global dari PT Titian Paraputra- Sejahtera seharga US$ 5 juta pada Februari- 2005. Sejak itulah, kepemilikan saham PT Global sepenuhnya dikuasai Bimantara.
Pengalihan kepemilikan saham PT Global inilah yang kini kemudian dipersoalkan Komisi Penyiaran Indonesia. Sebab, mengacu pada Undang-Undang Penyiaran 1997 dan 2002, pemerintah dalam surat izin pendirian Global TV melarang lisensi dipindahtangankan ke pihak lain.
Direktur Bimantara, Edwin Kawilarang, membantah izin prinsip Global TV telah berpindah tangan. Izin tetap pada PT Global, hanya pemilik sahamnya yang berganti. ”Jadi, kami tidak melanggar,” katanya.
Alasan itu tak bisa diterima- begitu saja oleh Bimo Nugroho-. Menurut anggota Komisi Pe-nyiaran ini, hal itu tak lebih- dari bentuk penyiasatan hukum. Karena, bagaimanapun, aset yang dimiliki PT Global saat dibeli Bimantara hanyalah izin frekuensi. ”Ini seperti membeli tali dapat kerbau,” katanya.
Bimo juga menegaskan, jika ada perubahan kepemilikan saham, ”Seharusnya izin frekuensi dikembalikan kepada negara, kemudian dilelang.” Jika aturan ini diterapkan, tentu bukan hanya Global TV yang melanggar. Sebab, perubah-an kepemilikan saham juga pernah dialami Metro TV, TV7, Indosiar, TPI, dan SCTV.
Komisi Penyiaran kini juga -mem-persoalkan isi dan format siar---an Global TV, yang dinilai telah melenceng dari niat awalnya- untuk menyuguhkan tayangan bermuat-an pendidikan, riset, dan teknologi. ”Glo-bal TV malah jadi kos-kosan MTV,” kata Bimo. Bahkan Bimantara sebagai pemilik baru sudah memaklumat-kan Global TV seba-gai saluran televisi anak muda.
Bantahan kembali datang dari manajemen Global TV. Alasan mereka, dalam izin prinsip yang disebutkan hanyalah siaran bersifat terbuka untuk umum.
Melihat carut-marut ini, Sofyan Djalil mengakui pangkal persoalannya terletak pada pemberian izin frekuensi kepada perseroan terbatas, yang sewaktu--waktu bisa ganti pemilik. ”Padahal, ke-inginannya (pemerintah) izin frekuen-si jangan berpindah tangan,” katanya.
Yura Syahrul
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo