Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan rokok diselipkan di ujung gitar, Harry Stojka menyampaikan bahwa lagu ber-i-kutnya yang akan dimainkan- adalah swing ala dia: My Own Swing. Lalu terdengar jazz gypsy yang enak di kuping, membikin kaki tak kuasa bergoyang. Padahal formasi kelompok ini sederhana. Stojka hanya di-bantu seorang pemain gitar, seorang pembetot double bass, dan seorang pe-na-buh snare drum.
”Kami meneruskan warisan Django Reinhard,” kata Ivana Ferenocava, penyanyi mereka yang berasal dari Slova-kia, yang mengenakan kostum ala gypsy pengembara itu. Reinhard, bagi peng-gemar jazz, dikenal sebagai gitaris- gypsy asal Belgia pada 1930-an yang meng-gabungkan tradisi musik gypsy yang disebut ”Rom and Sinti” dengan swing.
Kala itu di Amerika, setelah era dep-re-si pulih, meledak sejumlah big band yang melahirkan jazz bersemangat keriangan. Di Eropa, Reinhard meleburkan gairah baru yang disebut swing itu dengan musik trubadur gypsy. Reinhard meninggal pada 1953. Tapi ekspe-ri-mennya tidak mati.
Salah satu penerusnya adalah Ha-rry Stojka, pemuda kelahiran Austria be-rambut panjang sepunggung yang bermain larut malam pada hari pertama Java Jazz. Penonton Stojka di lobi Jakarta Hall Convention Center, Senayan, Jakarta, yang dekat dengan pintu keluar-masuk pada pukul 24.00 itu adalah ”sisa-sisa penonton”. Tapi penampilannya justru bisa disebut salah satu pertunjukan paling memikat.
Seperti juga tahun lalu, Java Jazz yang diselenggarakan pada 3-5 Maret- ini didominasi oleh penampilan band yang mengusung groove based funky yang sarat dengan instrumen tiup. Se-mentara Java Jazz pertama menda-tangkan Earth Wind Fire, kini Kool and The Gang dan Tower of Power yang diperkuat barisan horn. Tower di-kenal luas sejak 1970-an. Para peniup- terompetnya sering dipinjam oleh Ja-mes Brown. Setelah James Brown mang-gung di Java Jazz tahun lalu, kini gilir-an mereka tampil.
Para ”solois” saksofon dan terompet yang pertama kali memberikan konfirmasi keikutsertaannya adalah Michael Paulo—yang dikenal bertahun-tahun men-jadi motor pertunjukan Al Jarreau.- Lalu Gerard Albright, salah satu dari 10 peniup saksofon Amerika yang pernah diundang khusus oleh Presiden Clinton.
Bahkan pertunjukan Patti Austin pun penuh dengan polesan saksofon. ”Lihat ada asap di panggung,” kata Patti. Lalu meluncurlah lagu Smoke Gets in Your Eyes yang terkenal itu. Tapi kemudian- Dave Koz muncul ”menyepuh” lagu Aus-tin dengan alunan saksofon mautnya itu.
Dari musisi kita yang menarik adalah penampilan kakak-beradik saksofonis cilik, Gadiz, 13 tahun, dan Bass, 11 tahun. Sang ayah, Denis Sibbald, adalah kolektor saksofon. Ia melihat akhirak-hir ini minat masyarakat terhadap saksofon terhitung besar. ”Penjualan saksofon meningkat,” katanya.
Tahun lalu, Glenn Fredly bernyanyi bersama George Duke, dan kini Glenn dengan Jeff Lorber. Sementara Dave Koz All Stars mengiringi Indonesian Idols dan Lee Ritenour manggung bersama Balawan dan Dwiki Dharmawan. Menurut Peter Gontha, pendekatan kolaborasi sengaja diadakan, karena- itu ca-ra termurah mempromosikan a-rtis Indonesia. ”Su-pa-ya mereka tahu In-do-nesia banyak memiliki musisi ber-kuali-tas,” katanya.
Mengikuti sebuah festival jazz- memang sebuah tantang-an. Discus, kelompok progressive rock, sampai men-ciptakan sebuah komposisi khusus berjudul Corruptor Jazz untuk tam-pil di sini. ”Bergaya seper-ti- Centebury,” kata Khrisna Prameswara, sang pemain keyboard, menyebut aliran rock di London 1970-an yang banyak menyerap jazz.
Sebuah festival jazz pada ha-ki-kat-nya juga adalah ”fes-tival taf-sir”. Lihatlah ba-gai-mana Doug Cameron, pe-main biola AS yang de-ngan band Universitas Pelita Ha-rapan mengaransemen seca-ra unik lagu Caravan milik Duke Ellington. Atau Luis Giraldo, pianis asal Kolombia, memainkan Oye Como Va, lagu terkenal Santana.
Selama tiga hari, di tengah- dominasi ”dance music”, grup-grup yang memberikan- penga-laman bunyi lain, seperti Har-ry- Stojka, menawarkan kesegaran ter-sendiri. Atau juga Bob James yang ber-kolaborasi de-ngan Angels of Shanghai, musisi-mus-isi dari Conservatory- Music Shanghai yang memainkan alat musik gesek, petik, tiup tradisional Cina se-perti erhu, pipa, zheng, dizi.
”My next song... it’s blues... but without name,” kata Harry Stojka. Ia tertawa, karena tak bisa memberikan judul lagu ciptaannya. Dan kembali kaki ini tak kuasa bergerak. Moto Java Jazz adalah Better, Bigger and Bolder. Dua pertama harus diakui sudah terpenuhi. Yang ketiga, Bolder—petualangan mu-sikal yang mendatangkan para pemu-sik dari wilayah-wilayah ”jazz tak terduga”—itu yang masih terus ada dalam harapan.
Seno Joko Suyono, Evieta Fadjar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo