Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSAMUHAN yang semestinya digelar di kantor pusat Perusahaan Daerah Pasar Jaya di Jalan Pramuka, Jakarta, Rabu pekan lalu, lagi-lagi batal. Untuk kedua kalinya manajemen Priamanaya tak memenuhi undangan perusahaan pelat merah itu. Keduanya berencana bertemu untuk membicarakan sengketa kontrak kerja sama mereka di Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta. Tuan rumah sudah menyiapkan senjata pamungkas: hasil audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalam suratnya, Rabu dua pekan lalu, Direktur Priamanaya Djan International Onto Wiryo meminta pertemuan ditunda sepekan. Namun seminggu berikutnya dia tetap absen. Alhasil, rapat ditunda kembali selama sepekan. Tidak ada alasan khusus yang disampaikan. āBerhalangan hadir,ā kata Direktur Utama Pasar Jaya Djangga Lubis.
PT Priamanaya Djan International adalah perusahaan properti milik pengusaha Djan Faridzākini Menteri Negara Perumahan Rakyat. Perseroan itu mendapatkan hak membangun kembali pasar yang pernah terbakar pada 2003 tersebut berdasarkan perjanjian kerja sama Nomor 1 Tahun 2003.
Sesuai dengan perjanjian, Pasar Jaya menyiapkan lahan kosong seluas 8.900 meter persegi. Sedangkan Priamanaya menyediakan pendanaan, yang diperkirakan sekitar Rp 800 miliar. Perseroan diminta menyertakan surat pernyataan dari bank bereputasi bahwa perusahaan mempunyai kemampuan finansial.
Atas penyediaan tanah, Pasar Jaya berhak menerima kompensasi Rp 150 miliar yang dibayar di muka, mendapatkan 75 persen bagi hasil dari pendapatan pengelolaan pasar, dan menerima kembali seluruh bangunan ketika perjanjian berakhir. Sedangkan Priamanaya membangun Blok A, memasarkan dan menerima hasil penjualan tempat usaha alias kios, mengelola pasar selama lima tahun, serta mendapat 25 persen bagi hasil.
Hubungan Pasar Jaya dengan Priamanaya di Tanah Abang kini retak. Badan Pengawasan mengungkap potensi kerugian negara akibat penyimpangan dalam pembuatan ataupun pelaksanaan perjanjian. Hasil audit investigatif yang terbit 26 Maret 2012 menunjukkan adanya pendapatan yang tidak dapat direalisasi sekurang-kurangnya Rp 179,56 miliar dan tertundanya kesempatan Pasar Jaya untuk mengelola Blok A.
Hubungan kemitraan Pasar Jaya-Priamanaya sebenarnya telah memburuk sejak akhir 2009, ketika Djangga menjadi direktur utama menggantikan Uthan Sitorus. Djangga menilai pasal-pasal perjanjian tidak adil dan lebih menguntungkan Priamanaya. Makanya ia meminta āfatwaā BPKP. Pada 19 Mei 2010, BPKP melaporkan hasil evaluasi yang membeberkan sederet kelemahan perjanjian kerja sama.
Evaluasi itu berlanjut dengan audit investigatif. BPKP menilai pemilihan pengembang mengabaikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan tidak akuntabel. Indikasinya, tidak dibentuk tim pembangunan kembali pasar serta tidak disiapkan dokumen persyaratan teknis dan administratif. Padahal persyaratan itu penting sebagai acuan bagi swasta untuk mengajukan penawaran (baca: āAkad Janggal Priamanayaā).
BPKP menilai salah satu kelemahan perjanjian adalah tidak ada pengaturan yang tegas tentang batas waktu pengelolaan. Berdasarkan pasal 11.3, perjanjian bisa berakhir bila kios terjual 95 persen. Artinya, tak ada tenggat yang pasti kapan penjualan sebesar itu akan tercapai. Pasal 7 dan adendum kelima butir 1-b, bahwa harga jual dan pemasaran kios ditentukan Priamanaya, terkesan mendukung. Dengan dua klausul itu, Priamanaya diduga dapat mengatur waktu kapan penjualan 95 persen direalisasi.
Prabowo, Direktur Utama Pasar Jaya 2003-2006, mengatakan targetnya saat itu adalah mengoptimalkan pendapatan Pasar Jaya. Hal itu tertuang dalam bagi hasil. Pasar Jaya mendapat 75 persen dari penerimaan kotor, sedangkan Priamanaya kebagian 25 persen. Prabowo juga mempertimbangkan kondisi perusahaannya yang belum berpengalaman mengelola pusat belanja atau mal. Sebagai kompensasi atas porsi penerimaan Pasar Jaya yang besar, Priamanaya mendapat izin mengelola hingga kios terjual 95 persen. āDua poin itu merupakan paket yang saling terkait,ā kata Prabowo.
Celakanya, kata Prabowo, poin bagi hasil justru diubah oleh Uthan Sitorus, Direktur Utama Pasar Jaya berikutnya. āSaya tidak tahu pertimbangannya bagaimana,ā Prabowo menambahkan. Melalui adendum kelima, konsep bagi hasil yang semula berbasis penerimaan kotor diubah menjadi basis penerimaan bersih. Adapun Uthan menolak berkomentar dengan alasan belum membaca hasil audit BPKP.
Prinsipnya, menurut Uthan, yang dilakukan adalah memperjelas pasal-pasal yang berkaitan, yang tidak sinkron. Dalam perjanjian disebutkan Pasar Jaya menerima 75 persen bagi hasil dari penerimaan pengelolaan. Di klausul lain dijelaskan bahwa yang dimaksud penerimaan pengelolaan adalah pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya, misalnya ongkos pemeliharaan dan pajak. āJadi saya tidak mengubah gross menjadi nett, api meluruskan pemahaman.ā
BPKP mencatat kelemahan perjanjian lain, masih di adendum kelima, Priamanaya dapat mengalihkan hak pengelolaan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan Pasar Jaya. Berdasarkan itu, kue Blok A dibagi-bagi. Urusan listrik, misalnya, dipegang oleh PT Priamanaya Layanan Energi, pemasaran ditangani PT Priamanaya Media Promosi, dan parkir dikelola PT Priamanaya Parkir. Ada pula PT Priamanaya Telekomunikasi, yang mengurus telepon, dan PT Priamanaya Kelola, yang menggarap servis pemeliharaan. BPKP menilai pola pengelolaan ini menyebabkan biaya tinggi.
Djan Faridz, yang meneken perjanjian dan saat itu menjabat Direktur Utama Priamanaya, tidak bersedia memberi tanggapan. āSaya tidak ada waktu,ā kata Djan kepada wartawan Tempo Bobby Chandra dalam beberapa kesempatan. Kuasa hukum Priamanaya, Sartono dari kantor pengacara Hanafiah Ponggawa dan Partners, pun bungkam.
Beberapa waktu lalu, Sartono pernah memberikan klarifikasi kepada Tempo. Ia menilai pemahaman BPKP keliru. Menurut dia, Priamanaya sudah berusaha menjual. āUntuk apa menahan-nahan? Bila bisa menjual lebih cepat, kenapa tidak? Balik modalnya lebih cepat.ā
Soal adendum bagi hasil, Sartono pernah menyebutkan, dilakukan karena ada pasal-pasal yang tidak jelas. Dalam dunia mana pun, kata dia, tidak ada praktek bagi hasil berbasis pendapatan kotor. āInvestor bisa nombok.ā
Celakanya, bagi hasil itu tak pernah bisa terealisasi. Sebab, Priamanaya selalu mengaku dalam kondisi merugi, sehingga tak ada margin yang bisa dibagi. Maka Pasar Jaya kembali mengajukan adendum. Intinya, Pasar Jaya meminta kompensasi minimal Rp 100 juta per bulan, apa pun kondisi neraca. Setoran pertama diberikan pada Januari 2009. Tapi Djangga menghentikannya mulai Mei 2010. Bukan cuma seĀtoran yang disetop, kontrak yang berat sebelah itu pun diterminasi. āArtinya, Priamanaya saat ini mengelola Blok A secara ilegal,ā kata Djangga.
Sayang, tak ada aksi yang dilakukan Pasar Jaya setelah memutuskan kontrak. Padahal pasal 28 perjanjian jelas mengatur soal penyelesaian perselisihan. Apabila musyawarah tak mufakat, hingga 90 hari, para pihak bisa menempuh jalur hukum.
Kabarnya, gonjang-ganjing pengelolaan Blok A sempat mencuri perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sumber Tempo mengatakan Presiden pernah menanyakan hasil audit BPKP terhadap Pasar Tanah Abang Blok A dalam sebuah pertemuan dengan Gubernur Jakarta Fauzi Bowo belum lama ini. Fauzi menolak memberi konfirmasi. āKonfirmasi ke Dirut PD Pasar Jaya saja karena ini aset yang dipisahkan, dan urusan BPKP dengan PD Pasar Jaya,ā katanya.
PASAR Tanah Abang Blok A riuh oleh pengunjung, Selasa siang pekan lalu. Di area lobi dan pintu masuk utama, sejumlah pria berotot berlalu-lalang memanggul karung ukuran jumbo. Di pusat tekstil terbesar se-Asia Tenggara inilah pedagang retail pakaian dan kain kulakan. Banyak yang berasal dari luar Jakarta, tak sedikit pula yang dari Ibu Kota. āBapak Fulan dari Plaza Cirebon ditunggu di lobi utama segera,ā terdengar panggilan dari pengeras suara.
Menyusuri kios demi kios, dari lantai B2 hingga lantai tujuh (12 lantai), Tempo tak menemukan lapak yang belum berpenghuni. Rasanya semua toko telah ditempeli papan nama, di dinding bagian atas pintu. Hanya ada tiga kios berderet kosong di salah satu sudut lantai tujuh. Di lantai ini lebih banyak dijajakan tas dan dompet. āItu masuk Blok B, bukan Blok A,ā seorang petugas keamanan menceletuk. Rupanya bangunan itu berada di perbatasan kedua blok.
Blok A terdiri atas 15 lantai di atas tanah dan basement tiga lantai di bawah tanah. Lantai B2, B1, SLG, LG, G, dan lantai 1-7 merupakan lantai komersial yang terdiri atas kios-kios. Penjualan penganan dipusatkan di lantai delapan. Lima lantai di atasnya adalah tempat parkir mobil, termasuk kantor perwakilan Priamanaya dan kantor PD Pasar Jaya, serta masjid di bagian puncak.
Tingkat hunian Blok A tergolong tinggi. Harganya pun mahal. Seorang pedagang, yang meminta namanya tidak disebut, mengatakan dua posisi yang menjadi favorit pedagang adalah lantai SLG dan LG karena memiliki akses terdekat dengan pintu masuk. āSewa kios di dua lantai itu bisa Rp 100-150 juta setahun.ā
Tapi Priamanaya menyebutkan penjualan kios baru mencapai 84,89 persen. Dalam suratnya kepada Pasar Jaya, 11 Mei 2011, Priamanaya melaporkan penjualan kios atau tempat usaha per April 2011 sebanyak 6.657 unit dari total yang dibangun 7.842 unit. Sayangnya, laporan itu tidak dilengkapi dengan data terperinci kios yang terjual.
Angka penjualan tersebut, menurut berita acara permintaan klarifikasi tim audit terhadap manajemen Priamanaya, 29 November 2011, tidak termasuk tempat usaha yang disewakan.
I Gusti Made Ariagunaāsaat itu Direktur Utama Priamanayaāmengatakan pengertian terjual atau terpasarkan di dalam perjanjian kerja sama adalah terjualnya hak pemakaian tempat usaha selama 20 tahun.
Sejauh ini tidak ada catatan terperinci sewa-menyewa kios yang dilaporkan ke Pasar Jaya. Tapi BPKP menemukan laporan keuangan pengelolaan Blok A tahun buku 2008, yang diaudit kantor akuntan publik Tasnim Ali Widjanarko dan Rekan pada Desember 2009. Priamanaya telah meneken nota kesepahaman dengan pengelola Pasar Tanah Abang Blok B, PT Putra Pratama Sukses, pada 25 April 2006 tentang penyewaan 2.244 kios di Blok A. Rental kios itu dilakukan untuk menampung sementara pedagang Blok B, C, D, dan E selama dua setengah tahun dengan nilai sewa Rp 29 miliar.
Pendapatan itu, dalam laporan keuangan, tidak dimasukkan sebagai pendapatan dari sewa kios yang belum terjual. Pasar Jaya menyoal kebijakan sewa-menyewa itu, yang tidak diatur dalam perjanjian. Sedangkan, menurut Priamanaya, rental ini merupakan bagian dari proses pemasaran. Pasar Jaya memperkirakan nilai sewa yang tidak disetor sekurang-kurangnya Rp 156 miliar.
Ada pula persoalan perbedaan jumlah kios. Tim inventarisasi Pasar Jaya pernah mendata total kios mencapai 7.995 unit, sedangkan Priamanaya melaporkan 7.842 unit. Artinya, terdapat selisih 153 unit. Ketika tim Pasar Jaya menginventarisasi pada 29 November 2011, terdapat 54 unit yang tidak aktif alias belum digunakan.
Pasar Jaya bertekad terus menggugat kerja sama yang timpang ini. Apalagi kini telah ada hasil audit investigatif BPKP yang membuat manajemen perusahaan pelat merah itu lebih percaya diri. Pekan lalu Pasar Jaya menyampaikan hasil audit investigatif BPKP ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Djangga berharap dukungan politis dari anggota Dewan untuk menyelesaikan masalah ini.
Paling tidak sesuai dengan rekomendasi BPKP, yakni melakukan negosiasi ulang butir-butir perjanjian yang berat sebelah. Bila langkah ini tak sukses, masalah bakal diusung ke ranah hukum pidana ataupun perdata. Apalagi ada catatan kerugian negara. Pasar Jaya juga berencana melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. āItu rekomendasi dari BPKP. Kalau diam saja, saya salah,ā kata Djangga.
Retno Sulistyowati, Bobby Chandra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo