Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah punya jejak yang tegang di bentangan tanah yang memanjang ini. Dataran ini mirip lembah yang kosong, tapi orang tak akan terkecoh: kosong bukan berarti damai.
Ini perbatasan Korea Selatan dengan Korea Utara. Ini saksi sebuah perang yang dilupakan: ”Perang Dingin” yang membelah dunia sejak akhir 1940-an. Di sini, konflik global yang dianggap sudah berakhir sejak lebih dari satu dasawarsa yang lalu itu masih berlangsung—dengan trauma, dendam, dan hantu-hantu masa silam, yang dalam kata-kata penyair Keith Wilson, ”masih mengarungi malam dan membisikkan kata ‘Korea’”.
Bila hantu itu akan lebih terasa hadir di sini, itu karena wilayah ini sebuah ruang kecemasan tersendiri. Ia penyekat tipis yang dibangun dengan kesepakatan yang tak meyakinkan di antara dua pihak yang lelah berperang—persisnya pada 17 Juli 1953.
Karena sebenarnya ada yang belum selesai. Perang tiga tahun yang dimulai tahun 1950 itu akhirnya tak menghasilkan kemenangan bagi siapa pun. Diniatkan oleh pemimpin Korea Utara, Kim Il-sung, untuk menyatukan jazirah itu dari perpecahan Utara-Selatan, perang yang ganas itu hanya mengembalikannya ke posisi sebelumnya: di Garis Lintang 38.
Di situlah kesia-siaan yang belum mau diakui itu ditandai: sebuah wilayah didirikan sepanjang 250 kilometer dengan lebar 4 kilometer untuk membatasi gerakan kedua belah pihak. Disebut ”DMZ”: ”Demilitarized Zone”, ”zona bebas militer”. Tapi betapa absurd nama itu: sebab di bagian bumi Korea inilah militer yang bermusuhan berjaga berhadap-hadapan. Senjata nuklir terang-terangan atau diam-diam disiapkan. Propaganda yang kuno atau baru disiarkan.
Kehancuran membuat manusia jera. Tapi ketegangan di DMZ itu menunjukkan, ada yang membuat jera hanya sebentar—yakni cita-cita, atau ambisi, atau tekad, yang disebut ”nasionalisme”. Sejarah Korea yang mengagumkan tapi tragis membuat nasionalisme itu merasuk dengan luka-lukanya.
Negeri ini bukan bangunan kemarin sore. Tiga kerajaan sudah berdiri sejak 65 sebelum Masehi. Dinasti-dinasti datang dan pergi, melalui perang, melewati penjajahan Kerajaan Mongolia, dan di abad ke-20, berakhir dengan kolonisasi Jepang.
Dan sepanjang sejarahnya yang sekitar 1.000 tahun itu, Korea melahirkan sesuatu yang tak ada bandingannya di Asia Timur: buat pertama kalinya dalam sejarah manusia, sekitar 1230, di sini diciptakan mesin cetak bergerak yang terbuat dari logam, 200 tahun sebelum Gutenberg menemukannya di Jerman. Buku agama Buddha, Jikji, terbit dengan mesin itu pada 1377, sekitar 100 tahun sebelum Injil dicetak di Eropa—dan jauh lebih di depan ketimbang Turki, di mana mencetak buku dianggap dosa oleh para ulama dan diancam hukuman mati oleh Sultan Salim I dalam sebuah titah bertahun 1515.
Tentu, seperti Eropa dan Turki, Korea punya penguasa yang paranoid dan agamawan yang mudah cemas. Ketika Raja Sejong memperkenalkan huruf Hangul yang mudah dipergunakan itu ke rakyat banyak (alfabet itu selesai diciptakan di akhir tahun 1443), lapisan elite dan pendeta Konghucu yang memakai huruf Cina, Hanja, menentang. Ketika rakyat menyatakan suaranya dengan huruf itu dalam menentang kesewenang-wenangan Raja Yeonsangun, Baginda melarang penggunaan aksara itu pada 1504.
Tapi kemudian Hangul dipulihkan kembali—dan dalam perkembangannya kemudian, aksara itulah yang mengukuhkan bahasa Korea, membangun kesadaran kebangsaannya, menyatukan rakyatnya, hingga, dengan nasionalisme yang utuh, menembus abad ke-20, juga ketika Jepang menguasai negeri mereka.
Tapi kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik tak menyebabkan nasionalisme itu mencapai cita-citanya: sebuah Korea yang merdeka. Seusai Perang Dunia II, kekuasaan dunia berada di tangan negara-negara pemenang. Tanpa persetujuan rakyat Korea, negeri mereka diletakkan di bawah pengawasan Amerika Serikat dan Uni Soviet, di dua sisi yang berbeda—dan terbelah sejak itu.
Tapi dengan itu pula hasrat penyatuan kembali ”meradang, menerjang” dan Perang Korea yang berdarah-darah meletus—karena hasrat nasionalisme yang bertaut dengan Perang Dingin antara ”Blok Komunis” dan ”Blok Barat”. Dalam arsip Soviet yang dibuka di pertengahan 1990 diketahui, bukan Stalin yang mendesak agar Kim Il-sung menyerang Korea Selatan, tapi justru sebaliknya. ”Saya tak bisa tidur sepanjang malam memikirkan penyatuan seluruh negeri,” kata Kim, Januari 1950, kepada utusan Stalin. Dan Stalin akhirnya memberkati. Pasukan Korea Utara memasuki wilayah Selatan—dan Seoul pun jatuh.
Tapi yang dicemaskan Stalin terbukti. Amerika, dengan memanfaatkan PBB, mengirim pasukan besar-besaran untuk mendeking pemerintah Seoul. Perang itu melibatkan sejumlah negara, bukan hanya Cina di pihak Komunis, tapi juga bahkan India dan Turki di pihak lawannya. Jengkal demi jengkal wilayah lepas dan direbut kembali. Dalam tiga tahun yang bengis itu terbunuh 33.600 tentara Amerika, 16.000 anggota pasukan PBB, 415.000 prajurit Korea Selatan, 520.000 prajurit Korea Utara, dan sekitar 900.000 tentara Cina.
Dan hasilnya? DMZ.
Tentu bukan cuma DMZ. Kemajuan Korea Selatan yang menakjubkan dalam tiga dasawarsa ini tak bisa dilepaskan dari ketakutan kalau akan dikalahkan musuhnya di Utara. Perpisahan itu bukan sepenuhnya tragedi.
Yang benar-benar tragedi ada di Utara. Di sana, selama lebih dari 40 tahun kekuasaan Partai menutup rakyat dalam sebuah penjara besar dan menyuruh mereka mengikuti semacam agama baru—dengan pemujaan, fanatisme, kekerasan, dan penguasaan yang tak pernah berhenti mengawasi.
Perang Dingin berlanjut dengan kebengisan lain di sini.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo