Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SARDJONO Jhony Tjitrokusumo sedang asyik berbincang dengan beberapa anak buahnya di ruang tunggu kantor direksi PT Merpati Nusantara Airlines, Gedung Pusat Badan SAR Nasional, Kemayoran, Jakarta Pusat, ketika kurir Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengantarkan sepucuk surat. Malam itu, Jumat dua pekan lalu, belum genap pukul sembilan. Bersama Direktur Utama Merpati, hadir Ery Wardhana, Senior Vice President Corporate Planning Division, yang sudah bersiap meninggalkan kantor.
Suasana membeku saat Jhony membacakan isi surat dari Deputi Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik Kementerian BUMN Sumaryanto Widayatin tersebut. Jhony diundang menghadiri acara penyerahan surat keputusan pergantian direksi dan komisaris Merpati yang akan digelar tiga hari kemudian. ”Malam itu juga kami sudah mengira Kapten Jhony yang akan diganti,” kata Ery kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Benar saja. Senin pekan lalu, Kementerian resmi mencopot Jhony dan menunjuk Rudy Setyopurnomo, yang baru menjabat Komisaris Utama Merpati satu setengah bulan lalu, sebagai penjabat sementara direktur utama. Acara serah-terima jabatan yang berlangsung tertutup di kantor pusat Merpati tetap digelar tanpa kehadiran Jhony.
Desas-desus perombakan direksi Merpati sebenarnya sudah berembus sepekan sebelumnya. Sumaryanto telah memanggil Jhony ke kantor Kementerian BUMN pada Senin dua pekan lalu untuk membahas dua hal: memburuknya kinerja Merpati dan pengunduran diri Jhony yang pernah disampaikannya pada Januari lalu.
Singkat kata, rapat diakhiri dengan penandatanganan berita acara bahwa Kementerian memberi waktu 14 hari kepada Direktur Utama untuk menyusun pembelaan diri. Opsi pembelaan diri seorang direktur biasanya menjadi syarat sebelum dia dipecat. Rupanya, belum juga Jhony menyampaikan pembelaan diri—bahkan waktu 14 hari baru berjalan sepekan—pemegang saham keburu memberhentikan Direktur Utama.
Ditemui Tempo, Senin malam pekan lalu, Jhony mengaku sengaja tak hadir dalam serah-terima jabatan. ”Bukan saya yang ingkar janji,” katanya. Dia tak tahu persis alasan Kementerian memberhentikannya. ”Kinerja Merpati buruk, ya. Tapi harus dilihat mengapa demikian.” Memperbaiki kinerja Merpati bukan perkara mudah. Menggantikan Bambang Bhakti (almarhum) pada Mei 2010, Jhony berhadapan dengan kondisi keuangan yang merugi puluhan miliar rupiah. Belum lagi total utang perseroan sebesar Rp 2,5 triliun dan tunggakan sewa pesawat US$ 24 juta.
Sumaryanto tak mau ambil pusing. Bagi Kementerian BUMN, pergantian pimpinan Merpati tak bisa ditunda-tunda lagi. Jhony, yang mengawali karier sebagai pilot Merpati dan telah beberapa kali pindah ke beberapa maskapai penerbangan internasional, dianggap gagal meningkatkan kinerja perseroan. Tahun lalu kerugian Merpati sekitar Rp 745 miliar. Kekayaan perseroan dibandingkan dengan total utang perseroan sudah mencapai negatif Rp 2,79 triliun.
Belum lagi, sepanjang caturwulan pertama tahun ini, perseroan sudah tekor hingga Rp 350 miliar. Dari 120 rute yang dijalani, hanya sekitar 20 yang untung. ”Direktur utama yang baru kami beri waktu enam bulan untuk memperbaiki itu semua,” kata Sumaryanto.
HUBUNGAN antara Kementerian BUMN dan Jhony mulai retak akhir tahun lalu. Jhony mempersoalkan dana penyertaan modal negara sebesar Rp 561 miliar yang baru cair menjelang tutup tahun 2011. Padahal, sesuai dengan program restrukturisasi, duit itu seharusnya diterima sejak Maret. Akibat kas minus, perseroan tak bisa memperbaiki dan merawat beberapa pesawatnya. Tahun lalu Merpati rata-rata hanya menerbangkan empat dari sembilan jet yang ada. ”Delapan belas bulan saya menjabat, Merpati bertahan tanpa suntikan dana apa pun,” kata Jhony, yang menakhodai Merpati sejak 26 Mei 2010.
Dalam kondisi perseroan semakin berdarah, Jhony sekali lagi meminta tambahan penyertaan modal negara Rp 200 miliar sebagai bagian dari rencana kerja dan anggaran perusahaan 2012. Tujuannya menambah lagi sedikitnya delapan pesawat jet agar bisnis ekonomis. Proposal ditolak, yang kemudian disambut pernyataan Jhony dalam rapat umum pemegang saham pada Januari lalu di kantor Kementerian bahwa dia akan mundur selambatnya pada April jika permintaannya tak dipenuhi.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan sempat mengumpulkan semua pimpinan Merpati di Plaza Mandiri, kantor pusat Bank Mandiri, Februari lalu. Dalam pertemuan itu, Dahlan mengisyaratkan akan menerima jika Jhony mengundurkan diri. Kementerian sudah menyiapkan seseorang yang sanggup menyelamatkan Merpati tanpa tambahan dana dari pemerintah.
Sumber Tempo di Kementerian BUMN mengungkapkan, sedari awal, orang yang dimaksud Dahlan mampu menuntaskan persoalan di tubuh Merpati adalah Rudy. Sejak awal tahun, Dahlan dan Sumaryanto telah merayu Rudy untuk menangani Merpati, yang mulai tak bisa diselamatkan. Namun Rudy, yang saat itu menjabat Komisaris Utama PT Nusantara Turbin dan Propulsi—anak perusahaan PT Dirgantara Indonesia—menolaknya.
Persoalan muncul lagi setelah Februari lalu dalam Singapore Airshow, yang juga dihadiri Menteri Dahlan, Jhony meneken nota kesepahaman dengan Commercial Aircraft Corporation of China (Comac) untuk rencana pembelian 40 pesawat jet ARJ 21-700 senilai total US$ 1,2 miliar. Perjanjian awal ini dinilai bermasalah karena tak satu pun dokumen rencana bisnis perseroan yang mencantumkan rencana pembelian pesawat. Meski begitu, dalam rencana kerja 2010-2020, Merpati akan bertransformasi secara bertahap dari maskapai 150 kursi menjadi 100 kursi.
Secara teoretis, dengan kondisi keuangan minus ratusan miliar rupiah, tak mungkin bagi Merpati merogoh kocek atau meminjam dana dari lembaga keuangan. ”Ujung-ujungnya pasti minta duit lagi kepada pemerintah,” kata sumber tadi.
Tak perlu waktu lama, Kementerian BUMN kembali membujuk Rudy, yang akhirnya bersedia dengan syarat diberi waktu mempelajari kondisi internal Merpati terlebih dulu sebagai komisaris perseroan. Jadilah mantan Presiden Direktur PT Indonesian Airlines ini sebagai komisaris menggantikan mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu.
Sejak awal kedatangannya sebagai komisaris utama, Rudy langsung bergerak cepat. Dia membentuk lima tim, yang dinamainya tim patriotik, untuk memperbaiki kinerja Merpati. Menurut sumber Tempo di Merpati, beberapa kali gebrakan Rudy sebagai komisaris memancing persoalan dengan Jhony dan timnya. ”Sejak awal, Rudy bertindak layaknya direktur utama,” katanya.
Rudy mengakui sering mengecek kinerja langsung kepada pegawai di lapangan sebagai bagian dari fungsi pengawasan. Dia menilai penyebab terpuruknya Merpati ialah semrawutnya pengelolaan bisnis yang dijalankan manajemen lama. Perseroan sama sekali tak memiliki panduan mengeruk laba, dari menggaet konsumen, menetapkan rute potensial, hingga mengkaji jenis pesawat apa yang paling cocok.
Bagi Rudy, Merpati bahkan kalah dibanding metromini, yang sudah mengetahui berapa duit yang harus diperoleh sopir agar bisa membayar setoran dan membagi jatah dengan kernetnya. ”Kok, bisa-bisanya mau mendatangkan pesawat, padahal yang ada saja masih rugi?” kata alumnus Institut Teknologi Bandung yang mengaku sulit tidur sejak menginjakkan kaki di Merpati ini.
Pupus sudah ambisi Jhony menjadi satu-satunya Direktur Utama Merpati yang sukses menyelamatkan maskapai milik negara ini dari krisis selama dua dekade terakhir. Dia legawa, meski tetap kecewa tak diberi kesempatan membela diri. ”Kalau memang ada yang bisa menyelamatkan perusahaan ini dalam enam bulan, silakan. Tapi jangan bilang selama ini saya tak bekerja.”
Agoeng Wijaya, Sutji Decilya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo