SAMPAH pun jadi urusan Bank Dunia. Karena ternyata Pemda Kodya
Surabaya makin kewalahan mengusir 5.000 m3 sampah tiap hari dari
satu setengah juta lebih warganya. Sedang sarana yang ada hanya
sepertiga dari yang diperlukan.
Karena itu di masa Walikota Soeparno, sank Dunia mengirim
konsultan ke kota ini, khusus untuk menelaah persampahan ini.
Hasilnya: perlu ada proyek percobaan penanggulangan sampah. Bank
itu pun bersedia memberi pinjaman Rp 2,5 milyar.
Proyek itu terwujud juga ketika Walikota Surabaya (yang
sekarang) Muhaji Wijaya pertengahan bulan lalu meresmikannya di
lima RW (rukun warga) di Kelurahan Simolawang, bagian utara
Surabaya. Sebagai tahap pertama, proyek ini menghabiskan Rp 100
juta dari seluruh pinjaman Bank Dunia tadi.
Tapi ternyata sistem pembuangan sampah dengan biaya bank itu
biasa saja. Setiap rumah diberi masing-masing sebuah ember
plastik besar dengan cuma-cuma. Setelah dilubangi di bagian
tengahnya (agar tak dipakai untuk keperluan lain, menyimpan air,
misalnya), ember-ember yang semua berwarna kuning itu diletakkan
di depan rumah masing-masing warga.
Ke dalam ember-ember plastik itulah sampah harus ditumpuk.
Sementara itu pada jam-jam tertentu, sebuah gerobak dorong
menguras isi ember-ember taJi dan memuatnya ke dalam sebuah
konteiner yang sudah menunggu. Setelah penuh, sebuah truk
menarik konteiner itu ke tempat pembuangan sampah di Keputih,
bagian timur kota. Dan selesai.
Sistem serupa itu akan diteruskan ke beberapa RW di tujuhbelas
kampung lainnya yang termasuk KIP (Kampung Improvement Program)
-- semacam proyek M. Husni Thamrin di Jakarta. Diharapkan dalam
waktu 4 tahun kampung-kampung yang direncanakan radi telah
berember semua.
Telanjur
Seperti terlihat di Kelurahan Simolawang, uang pinjaman Bank
Dunia tadi sebagian besar habis untuk membeli konteiner dan
truk-truk di samping gerobak dan ember-ember tadi. Tapi
berhasilkah?
Di lima RWI tadi memang sekarang tampak bersih. Malahan
produksi sampah di sana yang semula diperkirakan 30 m3 tiap
hari, hanya terdapat seperduanya -- sehingga semuanya
terangkut. Tinggal sekarang kepatuhan warga untuk mengganti
ember-ember itu apabila sekali waktu rusak atau hilang. Sebab
sudah ditentukan, ember-ember dan gerohak menjadi tanggungan
RT/RW setempat diambilkan dari iuran warga.
Tapi kalau hanya mengharapkan pinjaman sank Dunia dan dengan
sistem begitu, tentu saja kebersihan Kota Surabaya secara
keseluruhan diragukan. "Sebab kalau untuk lima RW saja
menghabiskan Rp 100 juta, berapa milyar yang diperlukan untuk
enamratus di Surabaya ini," kata seorang anggota DPRD Kodya
Surabaya, "karena itu sebenarnya saya tidak setuju pada pinjaman
itu -- tapi sudah telanjur."
Karena itu menurut Gubernur Ja-Tim Sunandar Priyosudarmo, dalam
mengurus kota tetap diperlukan kegotongroyongan. Artinya tidak
dapar sematamata tergantung pada pinjaman. "sagaimanapun,
pinjaman itu harus dikembalikan, ' kata Sunandar.
Walikota Muhaji sendiri tampaknya memang kurang senang dengan
pinjaman Bank Dunia untuk sampah itu. "Biarpun bukan saya yang
melakukan pinjaman itu," tuturnya kepada TEMPO, "tapi kan sudah
telanjur." Karena itu Muhaji masih ragu untuk menghabiskan
pinjaman yang Rp 2,5 milyar itu. "Masih lihat-lihat dulu,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini