DESA Sentonorojo, berada di bawah Kecamatan Trowulan, sekitar 10
km sebelah barat Mojokerto (Ja-Tim). Penduduk kecamatan yang
lebih 1000 KK itu tidaklah tergolong miskin benar, walaupun
sebagian besar menjadi buruh tani. Lebih dari separuh penduduk
desa itu sudah mengenyam listrik. Sebagian besar penduduknya
beragama Islam .
Di Trowulan terdapat dua buah candi yang sudah lama tidak
terurus, yaitu Wringinlawang dan Candi Brahu. Karena terbuat
dari batu bata, candi Wringinlawang yang berbentuk pintu gapura
telah kropos, begitu pula Candi Brahu. Semuanya adalah
peninggalan Kerajaan Majapahit (1294-1521).
Karena itulah pemerintah menetapkan areal seluas 56.000 m2 --
luas dugaan pusat Kerajaan Majapahit -- sebagai situs purbakala
dan termasuk tanah "perlindungan cagar budaya nasional."
Terutama Desa Sentonorojo yang berpenduduk 1.927 jiwa.
Setiap kendaraan yang masuk ke kawasan Trowulan harus berhenti
dahulu di mulut Senronorojo. Tanpa surat izin dari kantor Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala, palang pintu tidak bisa
dibuka. Denda atau hukuman badan adalah hukuman bagi siapa yang
melanggar peraturan ordonansi cagar budaya. Tetapi apa yang
dilakukan oleh penduduk desa itu sendiri?
"Ini untuk tambahan belanja, mas," ujar Sutrisno sambil
tangannya tetap asyik menghancurkan gumpalan-gumpalan batu bata
berwarna kuning di pekarangan rumahnya. Sudut-sudut lain dari
pekarangan rumahnya, terdapat tumpukan pecahan bata. Pemuda Desa
Senronorojo ini telah dua tahun melego batu bata hasil
tumbukannya. Yang paling halus Rp 2.500/m 3, sedikit kasar Rp
2.000/m3. Sedangkan kalau dia bisa mendapat batu bata yang masih
utuh, harga lebih tinggi lagi.
Batu bata warna kuning memang banyak terdapat di desa-desa
Trowulan. Sedikit saja pacul dihunjamkan ke tanah selalu mata
pacul bertemu dengan bata. Dan batu-batu bata ini adalah
sisa-sisa bangunan yang pernah berdiri megah di pusat Kerajaan
Majapahit itu. "Kami perkirakan batu bata itu bikinan abad
ke-14," kata Drs. Tjokro Suhandono, Kepala Kantor Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Jawa Timur. Dua tahun lalu sebelum ada
larangan secara pasti, banyak penduduk melakukan pengumpulan
bata di mana saja di desa tersebut. Tetapi kini hanya pekarangan
mereka yang masih terus digali.
Sutrisno atau penduduk desa lainnya tidak merasa bersalah kalau
menggali di tanah miliknya. Kata Sutrisno lagi: "Yang dilarang
'kan membongkar bekas bangunan. Dan yang saya lakukan,
mengumpulkan yang berserakan." Dan anehnya, truk-truk besar
masih bebas keluar masuk di kawasan ini untuk membeli batu bata
hasil galian penduduk.
"Pada musim paceklik, pencurian jadi meningkat," kata salah
seorang petugas suaka. Tetapi apa daya? Kekuasaan mereka hanya
ada di atas kertas. "Masalahnya perut." ujar Drs. Uka
Tjandrasasmita, Direktur Perlindungan-Pembinaan Peninggalan
Sejarah dan Purbakala, Departemen P & K, "lurah-lurah di sana
pun sudah tidak sanggup menghentikannya."
Bukan Hanya Batu Bata
Soeratman yang telah jadi lurah Sentonorojo selama 43 tahun,
bukannya tidak tahu hal ini. "Tapi ini sudah berlangsung lama
sekali," katanya. Bahkan ketika ayahnya masih jadi lurah di
tempat yang sama, membongkar dan menjual batu bata telah
terjadi. Menurut ceritera orang-orang tua di desa itu, cerobong
asap pabrik gula yang ada di Krian, Mojokerto atau Jombang,
dibuat dari batu bata dari Trowulan. Kekuatannya jauh lebih
sempurna dari batu bata bikinan masa kini. Karena itu Soeratman
terpaksa angkat tangan dan membiarkan warganya menggali terus.
Tapi yang dicari penduduk di sana ternyata bukan hanya batu
bata. Juga batu akik, emas halus atau lempengan kecil tipis,
uang logam kuno -- dan selalu diincar pembeli dengan harga
tinggi sebagai barang antik. Beberapa penduduk mengungkapkan,
mereka tak jarang menemukan benda-benda berharga itu dan
menjualnya di Mojokerto atau kepada pemburu-pemburu barang kuno
yang diam-diam sering masuk ke desadesa di sana.
Trowulan secara keseluruhan mulai dipugar awal 1981 nanti.
Menurut Uka Tjandrasasmita bulan mendatang, baru akan
dilaksanakan pemotretan dari udara. Pemugaran itu kelak, kata
Uka, akan sanggup mempekerjakan tenaga rakyat secara
besar-besaran. "Pada saat itu, saya kira penggali liar akan
hilang dengan sendirinya," tambah Uka.
Di Trowulan kini ada sebuah museum yang telah berhasil
mengumpulkan sekitar 4.000 macam barang-barang kuno -- termasuk
celengan yang katanya bertampang muka Gajahmada dan sebuah
patung Menakjinggo. "Bendabenda tersebut rencananya akan
dikembalikan ke tempat asal, kalau pemugaran telah rampung,"
kata Tjokro Suhandono. Sedang penduduk Trowulan, mungkin harus
dipindahkan ke tempat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini