Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Ke trowulan mencari sisa majapahit

Trowulan yang merupakan situs purbakala/letak kerajaan majapahit ditetapkan sebagai tanah perlindungan cagar budaya nasional seluas 56.000 m2.(ds)

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Ke trowulan mencari sisa majapahit
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DESA Sentonorojo, berada di bawah Kecamatan Trowulan, sekitar 10 km sebelah barat Mojokerto (Ja-Tim). Penduduk kecamatan yang lebih 1000 KK itu tidaklah tergolong miskin benar, walaupun sebagian besar menjadi buruh tani. Lebih dari separuh penduduk desa itu sudah mengenyam listrik. Sebagian besar penduduknya beragama Islam . Di Trowulan terdapat dua buah candi yang sudah lama tidak terurus, yaitu Wringinlawang dan Candi Brahu. Karena terbuat dari batu bata, candi Wringinlawang yang berbentuk pintu gapura telah kropos, begitu pula Candi Brahu. Semuanya adalah peninggalan Kerajaan Majapahit (1294-1521). Karena itulah pemerintah menetapkan areal seluas 56.000 m2 -- luas dugaan pusat Kerajaan Majapahit -- sebagai situs purbakala dan termasuk tanah "perlindungan cagar budaya nasional." Terutama Desa Sentonorojo yang berpenduduk 1.927 jiwa. Setiap kendaraan yang masuk ke kawasan Trowulan harus berhenti dahulu di mulut Senronorojo. Tanpa surat izin dari kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, palang pintu tidak bisa dibuka. Denda atau hukuman badan adalah hukuman bagi siapa yang melanggar peraturan ordonansi cagar budaya. Tetapi apa yang dilakukan oleh penduduk desa itu sendiri? "Ini untuk tambahan belanja, mas," ujar Sutrisno sambil tangannya tetap asyik menghancurkan gumpalan-gumpalan batu bata berwarna kuning di pekarangan rumahnya. Sudut-sudut lain dari pekarangan rumahnya, terdapat tumpukan pecahan bata. Pemuda Desa Senronorojo ini telah dua tahun melego batu bata hasil tumbukannya. Yang paling halus Rp 2.500/m 3, sedikit kasar Rp 2.000/m3. Sedangkan kalau dia bisa mendapat batu bata yang masih utuh, harga lebih tinggi lagi. Batu bata warna kuning memang banyak terdapat di desa-desa Trowulan. Sedikit saja pacul dihunjamkan ke tanah selalu mata pacul bertemu dengan bata. Dan batu-batu bata ini adalah sisa-sisa bangunan yang pernah berdiri megah di pusat Kerajaan Majapahit itu. "Kami perkirakan batu bata itu bikinan abad ke-14," kata Drs. Tjokro Suhandono, Kepala Kantor Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur. Dua tahun lalu sebelum ada larangan secara pasti, banyak penduduk melakukan pengumpulan bata di mana saja di desa tersebut. Tetapi kini hanya pekarangan mereka yang masih terus digali. Sutrisno atau penduduk desa lainnya tidak merasa bersalah kalau menggali di tanah miliknya. Kata Sutrisno lagi: "Yang dilarang 'kan membongkar bekas bangunan. Dan yang saya lakukan, mengumpulkan yang berserakan." Dan anehnya, truk-truk besar masih bebas keluar masuk di kawasan ini untuk membeli batu bata hasil galian penduduk. "Pada musim paceklik, pencurian jadi meningkat," kata salah seorang petugas suaka. Tetapi apa daya? Kekuasaan mereka hanya ada di atas kertas. "Masalahnya perut." ujar Drs. Uka Tjandrasasmita, Direktur Perlindungan-Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Departemen P & K, "lurah-lurah di sana pun sudah tidak sanggup menghentikannya." Bukan Hanya Batu Bata Soeratman yang telah jadi lurah Sentonorojo selama 43 tahun, bukannya tidak tahu hal ini. "Tapi ini sudah berlangsung lama sekali," katanya. Bahkan ketika ayahnya masih jadi lurah di tempat yang sama, membongkar dan menjual batu bata telah terjadi. Menurut ceritera orang-orang tua di desa itu, cerobong asap pabrik gula yang ada di Krian, Mojokerto atau Jombang, dibuat dari batu bata dari Trowulan. Kekuatannya jauh lebih sempurna dari batu bata bikinan masa kini. Karena itu Soeratman terpaksa angkat tangan dan membiarkan warganya menggali terus. Tapi yang dicari penduduk di sana ternyata bukan hanya batu bata. Juga batu akik, emas halus atau lempengan kecil tipis, uang logam kuno -- dan selalu diincar pembeli dengan harga tinggi sebagai barang antik. Beberapa penduduk mengungkapkan, mereka tak jarang menemukan benda-benda berharga itu dan menjualnya di Mojokerto atau kepada pemburu-pemburu barang kuno yang diam-diam sering masuk ke desadesa di sana. Trowulan secara keseluruhan mulai dipugar awal 1981 nanti. Menurut Uka Tjandrasasmita bulan mendatang, baru akan dilaksanakan pemotretan dari udara. Pemugaran itu kelak, kata Uka, akan sanggup mempekerjakan tenaga rakyat secara besar-besaran. "Pada saat itu, saya kira penggali liar akan hilang dengan sendirinya," tambah Uka. Di Trowulan kini ada sebuah museum yang telah berhasil mengumpulkan sekitar 4.000 macam barang-barang kuno -- termasuk celengan yang katanya bertampang muka Gajahmada dan sebuah patung Menakjinggo. "Bendabenda tersebut rencananya akan dikembalikan ke tempat asal, kalau pemugaran telah rampung," kata Tjokro Suhandono. Sedang penduduk Trowulan, mungkin harus dipindahkan ke tempat lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus