ALBERT Hasibuan memberikan gambaran seperti ini Secara
keseluruhan hukum acara pidana, kelak disebut KHAP (Kitab Hukum
Acara Pidana), "merupakan 'kemenangan' para penasihat hukum".
Sebab, perlindungan bagi pesakitan, tersangka atau terdakwa
perkara pidana menurut Albert, Ketua Persahi (Perhimpunan
Sarjana Hukum Indonesia), dijamin cukup.
Setidaknya begitulah dijanjikan Sigab (Komisi Gabungan Komisi I
dan III/DPR) yang berapat maraton dengan pemerintah di
Megamendung (Bogor). Rapat merupakan usaha "sinkronisasi",
membahas berbagai pendapat tentang RUU (Rancangan Undang-Undang)
KUHAP, kemudian merumuskannya menjadi undang-undang (TEMPO, 21
Juni).
Rapat Sigab direncanakan selesai akhir bulan ini. Tinggal lagi
membicarakan bagian-bagian akhir RUU. Yaitu mengenai acara di
pengadilan dan pelaksanaan putusan hakim. Sementara itu Ketua
Sigab, Andi Mochtar (Ketua Komisi Hukum di DPR), mengemukakan
"hal-hal baru" -- yang disebutnya merupakan kemajuan KHAP kelak
dibanding hukum acara lama buatan Belanda (HIR-Herzien Inlandsch
Reglement).
Berikut ini beberapa penjelasan Andi Mochtar tentang RUU itu.
Penangkapan. Baik HIR maupun RUU-KHAP merumuskan seorang
tersangka dapat saja langsung ditangkap dan ditahan hanya
berdasarkan dugaan semata. Sigab memberikan batas lain yang
lebih maju: Penangkapan baru boleh dikenakan bila polisi,
satu-satunya alat negara yang berwenang melakukannya, dapat
menunjukkan "bukti permulaan" atas sangkaannya. "ltu merupakan
peruhahan mendasar dalam sistem hukum yang kita pakai selama
ini ."
Penahanan Seorang tersangka boleh membantah penahanan atas
dirinya bila petugas yang menjemputnya tidak dapat menunjukkan
surat perintah yang ditandatangani pejabar penyidik perkara. Dan
pejabat itu haruslah seorang perwira polisi. Setidaknya dari
pembantu penyidik yang mengatasnamakan perwira atasannya.
Yang dijanjikan bagi si tertahan ialah hak untuk menghubungi
penasihat hukum dan memperoleh bantuan hukum. Bagi tersangka
yang tidak mampu menyewa penasihat hukum, sedangkan ia diancam
hukuman penjara 5 tahun ke atas, negara akan menyediakannya
secara gratis.
Polisi akan memberi kebebasan bagi tersangka untuk berhubungan
dengan keluarga, dokter maupun penasihat hukumnya. Pembicaraan
mereka tak akan didengarkan -- apalagi dicatat oleh petugas.
Polisi hanya boleh "melihat" saja.
Itu kemajuan -- karena selama ini tak ada peraturannya.
Sedangkan RUU-KHAP hanya merumuskan seorang tersangka boleh
dihubungi oleh penasihat hukumnya pada semua tingkat
pemeriksaan. Sedangkan pertemuan dan pembicaraan mereka harus
dapat dilihat dan didengar petugas. Bahkan petugas boleh
mencatat isi pembicaraan tersebut dan sekaligus diberkas "guna
kelengkapan pemeriksaan ".
Ganti Rugi. Tersangka tak akan dirugikan benar bila terjadi
salah tangkap atau salah tahan. Polisi dapat dituntut bila main
tangkap dan tahan tanpa cukup bukti sehingga terdakwa kemudian
dibebaskan.
Ganti rugi akan ditentukan sekaligus oleh hakim yang
membebaskannya. Bila tersangka dilepas dari tahanan -- sebelum
diadili -- ia dapat mengadukan halnya ke lembaga peradilan yang
disebut "pra-pengadilan" (pre-trial). Ini adalah lembaga baru.
Petugas yang sengaja menyalahi wewenang juga dapat dipidanakan.
Barang Bukti. Kelak tak akan terjadi lagi orang kehilangan
barang-barangnya yang pernah disita polisi atau jaksa sebagai
barang bukti. Tak ada lagi petugas mengendarai mobil yang sedang
menjadi bukti sesuatu perkara. Juga tak ada barang bukti yang
diam-diam terjual ke pihak lain. KHAP menentukan semua barang
bukti harus disimpan di rumah penitipan sampai perkara selesai.
Kecuali untuk barang bukti yang bisa rusak bila disimpan terlalu
lama atau memerlukan tempat khusus -- akan diatur tersendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini